BERITA

Gugatan Ganti Rugi Ledakan Kilang Montana Rp 27 T Dinilai Kurang

Gugatan Ganti Rugi Ledakan Kilang Montana Rp 27 T Dinilai Kurang


KBR, Jakarta- Pemerintah mengklaim memiliki bukti cukup untuk menuntut ganti rugi dari tiga perusahaan asing atas peristiwa ledakan kilang minyak Montana di celah Timor delapan tahun lalu. Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani yakin hasil penelitian timnya saat kejadian tumpahan minyak cukup kuat untuk dijadikan alat bukti.

KLHK mengajukan gugatan ganti rugi sebesar Rp 27,5 triliun. Jumlah ini, menurutnya, sebanding dengan kerusakan di wilayah perairan tenggara Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur tahun 2009 lalu.


"Ada ganti rugi dan biaya pemulihan. Berkaitan kerusakan terumbu karang, padang lamun, mangrove. Ini nilai yang pantas," ujar Ridho di kantornya, Rabu(24/5).


KLHK mengajukan gugatan untuk tiga perusahaan, yakni The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Australasia, The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production, serta The Petroleum Authority of Thailand Public Company Limited ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dari Rp 27,5 triliun yang dininta  Rp 23 triliun merupakan angka ganti rugi yang harus dibayar. Sementara sisanya merupakan biaya pemulihan.


Meski begitu Ridho tidak menjelaskan mengapa proses pengajuan gugatan ini sampai menghabiskan waktu yang lama. Gugatan diajukan setelah proses mediasi yang dilakukan tahun 2010 menemui jalan buntu.


"Kami pastikan ini tidak akan tumpang tindih dengan yang masyarakat. Kalau yang itu kan gugatan terhadap kerugian yang dialami masyarakat. Kami fokus ke sumber daya alam dan lingkungannya." Ujar dia.


Menanggapi rencana itu, Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) meminta pemerintah pusat merevisi gugatan, terkait peristiwa ledakan kilang minyak Montara di cela Timor delapan tahun lalu. YPTB beranggapan, tuntutan pemerintah yang hanya meminta ganti rugi sebesar 27 triliun dinilai kurang, karena banyaknya kerugian yang terjadi.


Direktur YPTB, Ferdi Tanoni   mendukung langkah pemerintah yang akhirnya melakukan gugatan. Namun, ia juga meminta agar pemerintah melihat lebih jauh dampak yang terjadi di perairan Timur Indonesia yang terkena dampak. Ganti rugi sebesar itu, kata Ferdi, hanya cukup untuk  dua kabupaten saja.


“Dampaknya jauh lebih besar. Kita harapkan pemerintah juga dalam menghitung ganti rugi memasukkan 60.400 hektare terumbu karang di Taman Nasional Laut Sawu itu, karena terdampak oleh minyak itu. Sehingga menurut kami kalau ada tuntutan dari pemerintah 27 triliun  terlalu kecil,” katanya saat dihubungi KBR, Rabu (24/05/17)


Ferdi mengatakan, sudah bertemu dengan Menko Kemaritiman terkait langkah yang diambil pemerintah. Ia juga memberikan poin-poin penting kepada pemerintah sebagai bahan di pengadilan.


“Kita mengajukan rekomendasi, selain jumlah ganti rugi. Kita juga meminta jangan sampai nanti ada duplikasi pembuktian di pengadilan, baik di Indonesia atau di Australia nanti. Karena saat ini, gugatan class action yang kita dampingi ini sedang berjalan. Minggu depan kami ada jadwal sidangnya di Sydney, dengan agenda pemeriksaan penggugat,” kata dia.


Pada 2009 lalu, ledakan tidak terkendali terjadi di sumur minyak H1-ST1 di The Montara Wellhead Platform. Tumpahan minyaknya kemudian memasuki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sekitar 51 mil laut tenggara pulau Rote. Nelayan Kupang   didampingi YPTB telah melakukan gugatan class action ke pihak Australia. Sementara pemerintah Indonesia, baru mendaftarkan gugatannya pada 3 Mei lalu.

Sementara itu Bupati Kupang Ayub Titu Eki mengatakan daerah terdampak parah akibat pencemaran minyak   di Blok Montara ada di Kupang Barat dan Pulau Semau. Menurut dia, masyarakat di daerah pesisir mengalami gatal-gatal. Bahkan kata dia, ada seorang warga yang meninggal karena penyakit gatal tersebut.

Kata dia, ada lebih dari 20 ribu warga pesisir yang terdampak mulai dari kehilangan mata pencaharian hingga penyakit kulit.

"Itu daerah pesisir di sekitar Bolok, itu yang paling banyak. Bahkan pernah kami datang yang gatal-gatal bisa kita lihat sendiri dengan mata, gatal-gatal di badannya. Bahkan satu orang meninggal karena penyakit gatal-gatal. Paling banyak dan parah itu di Kecamatan Kupang Barat dan wilayah Pulau Semau, itu ada dua kecamatan," jelas Bupati Kupang Ayub Titu Eki saat dihubungi KBR, Rabu (24/5/2017)


Bupati Kupang Ayub Titu Eki menambahkan, pemerintah Kabupaten Kupang tidak memiliki anggaran cukup untuk memberikan pengobatan kepada warga. Kata dia, sebagai salah satu daerah miskin, pemerintahan kesulitan anggaran untuk membantu pengobatan warga yang terkena gatal dan penyakit kulit lainnya.


"Kita mau upaya apa? Kalau bisa tuntutan ganti rugi supaya kita bisa memberikan bantuan. Kami berharap kasus ini segera tuntas, kalau diganti rugi kita bicara sama masyarakat jelas. Kita prihatin kepada orang-orang di desa yang kehilangan pekerjaan. Tidak hanya fokus pada kasus ini, ini daerah tertinggal, gizi buruk kita tidak memberikan perhatian spesial tetapi kami memberikan pelayanan menyeluruh," ujarnya. 

Editor: Rony Sitangang

  • Kilang Montana
  • Direktur YPTB
  • Ferdi Tanoni
  • Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!