OPINI

Gebuk

Presiden jumpa pers usai pertemuan tokoh lintas agama.

Sekitar 30an tahun silam kata “gebuk”  muncul  dan jadi momok menakutkan bagi siapa saja. Penyebabnya, kata itu keluar dari mulut Soeharto, tiran yang masih sangat kuat dan berkuasa pada 1989. Ucapan itu keluar dari mulut jenderal yang gemar tersenyum itu lantaran laporan adanya kelompok yang berencana merongrong kekuasaannya.

“Jalannya sudah ada, yaitu melalui cara konstitusional. Tetapi kalau dilakukan di luar itu, apakah ia seorang pemimpin politik atau sampai Jenderal sekali pun, akan saya gebuk. Siapa saja akan saya gebuk karena saya harus menertibkan pelaksanaan konstitusi itu!” Begitu ucapan yang direkam koran Kompas seperti tertulis di buku “Dari Soekarno sampai SBY”. Pada saat itu, kata 'gebuk' akan diikuti dengan tindakan represi pada siapa saja yang dianggap lawan.


Dua hari lalu kata itu muncul lagi. Kali ini dari mulut Presiden Joko Widodo. Mirip dengan Soeharto, Jokowi mengaitkan dengan konstitusi. Bedanya, Jokowi menambah dengan kata demokrasi dan hukum. Entah di bagian mana kata 'gebuk' relevan bagi sebuah negara hukum.


Jelang peringatan 19 tahun mundurnya  Soeharto pada 21 Mei lusa, kita ingin ingatkan pada Jokowi.  Terpilihnya ia, sebagai presiden sedikit banyak adalah buah dari upaya mahasiswa yang memperjuangkan reformasi pada 1998. Banyak pilihan kata lain yang lebih pas dan tepat  untuk menunjukkan ketegasan negara  pada setiap perongrong, pelanggar hukum, dan juga pada penjahat  kemanusiaan. Sepatutnya ia tak menggunakan kata “gebuk”, yang pada masa lalu bisa berarti hilangnya nyawa.   

  • gebuk
  • Presiden Soeharto
  • presiden joko widodo
  • tiran

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!