BERITA

KPI Didesak Berlakukan Syarat Iklan Bahaya Rokok untuk Perpanjangan Izin Siar TV

""Selama ini TV banyak sekali menayangkan iklan rokok, termasuk yang sedang memproses perpanjangan izin. Padahal iklan rokok itu membawa pesan yang manipulatif tentang rokok.""

KPI Didesak Berlakukan Syarat Iklan Bahaya Rokok untuk Perpanjangan Izin Siar TV
Ilustrasi. (Foto: Daniel Horacio/Flickr/Creative Commons/*)

KBR, Jakarta - Belasan organisasi mendesak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mewajibkan stasiun televisi di Indonesia menayangkan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya rokok, terutama bagi anak-anak. Desakan itu disampaikan 16 organisasi pengendali tembakau, kesehatan, perlindungan anak dan pengawasan media di tengah proses perpanjangan izin siar 10 stasiun TV di KPI.

"Stasiun TV diminta menayangkan iklan bahaya rokok terutama pada jam-jam berklasifikasi SU (Semua Umur), A (Anak), dan R (Remaja), di samping pada siaran D (Dewasa). Selain itu, TV juga diminta  menyiarkan iklan layanan masyarakat tentang bahaya rokok yang disampaikan badan-badan publik secara cuma-cuma sesuai ketentuan," begitu isi pernyataan sikap dari 16 organisasi seperti yang diterima redaksi KBR, Rabu (18/5/2016).

Saat ini 10 stasiun televisi sedang memeroses perpanjangan izin siar ke KPI. Stasiun televisi itu adalah ANTV, GlobalTV, Indosiar, MetroTV, MNCTV, RCTI, SCTV, TransTV, Trans7 dan TVOne. Izin siar sembilan TV akan berakhir Oktober 2016 mendatang, sedangkan satu stasiun TV berakhir Desember 2016.

Permintaan 16 organisasi tersebut diajukan melalui surat kepada 10 stasiun TV, KPI Pusat dan seluruh KPI Daerah juga Asosiasi TV Swasta (ATVSI). Surat ini ditembuskan ke Presiden, Komisi I DPR, Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, dan beberapa kementerian.

Koalisi LSM pengendalian tembakau mendesak KPI agar memanfaatkan momen perpanjangan izin siar itu untuk minta komitmen stasiun TV dalam penyiaran iklan layanan masyarakat, khususnya bahaya rokok.

"Kami menyatakan apresiasi kepada TV yang dalam proses perpanjangan izin menampilkan iklan layanan masyarakat yang positif, seperti bahaya narkoba, bahaya terorisme, semangat nasionalisme, dan nilai-nilai budi pekerti. Namun, kami meminta agar iklan itu ditambah dengan yang membawa pesan bahaya rokok," kata Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Prijo Sidipratomo.

Komnas Pengendalian Tembakau merupakan salah satu lembaga yang mengajukan desakan itu.

"KPI Pusat dan KPI Daerah kami harapkan meminta komitmen 10 TV untuk menayangkan iklan bahaya rokok sebagai salah satu bentuk nyata tanggungjawab sosial mereka. Tak hanya itu, KPI sepatutnya kemudian melakukan pengawasan untuk pelaksanaan komitmen tersebut," kata Guntarto, Ketua Yayasan Pengembangan Media Anak, yang juga ikut mengajukan permintaan tersebut.

Bahaya Rokok

Dari catatan LSM antitembakau, Indonesia menempati posisi tiga negara dengan jumlah perokok tertinggi di dunia. Posisi Indonesia berada di bawah Tiongkok dan India. Rentang usia perokok tertinggi berada pada kelompok umur muda usia 15-19 tahun. LSM antitembakau mencatat ada 200 ribu orang di Indonesia meninggal setiap tahun akibat penyakit akibat rokok.

Dampak lain akibat tingginya jumlah perokok adalah beban ekonomi yang besar. Hilangnya waktu produktif karena kematian, sakit dan disabilitas akibat rokok menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp105 triliun. Belum lagi biaya pembelian rokok mencapai Rp 138 triliun, biaya rawat inap akibat penyakit terkait tembakau mencapai Rp 1,85 triliun dan biaya rawat jalan mencapai Rp 260 miliar.

"Selama ini TV banyak sekali menayangkan iklan rokok, termasuk 10 TV yang sedang memeroses perpanjangan izin. Padahal iklan rokok itu membawa pesan yang manipulatif tentang rokok, mengesankan bahwa rokok adalah produk normal. Iklan rokok menciptakan kesan bahwa penggunaan tembakau adalah sesuatu yang baik dan biasa, bahkan hebat. Iklan rokok menampilkan penyesatan informasi yang meremehkan dampak kesehatan. TV juga kerap kali menampilkan isi siaran yang merupakan strategi promosi produsen rokok seperti dalam siaran olahraga, siaran budaya, iklan layanan masyarakat, dan sebagainya," begitu bunyi catatan yang dikiriman kalangan LSM ke KPI.

Belasan organisasi dan LSM itu juga mengingatkan bahwa Undang-undang Kesehatan sudah menyatakan tembakau dan produk tembakau termasuk zat adiktif. Padahal, Undang-undang Penyiaran sudah melarang zat adiktif dipromosikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 46.

"Iklan bahaya rokok di TV kami harapkan dapat memberikan kesadaran kepada khalayak, terutama anak dan remaja, agar bukan saja menyadari tentang dampak negatif rokok bagi kesehatan, tetapi juga agar mereka kritis terhadap iklan dan promosi rokok yang sangat menyesatkan, yang selama ini sebenarnya diwadahi oleh stasiun TV. Kami harapkan penayangan iklan tersebut adalah wujud tanggung jawab sosial TV," kata Lisda Sundari, Ketua Lentera Anak Indonesia, yang juga ikut menandatangani desakan kepada KPI.

Sejumlah organisasi lain yang mengajukan desakan penayangan iklan bahaya rokok di televisi adalah Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Tobacco Control Support Center-IAKMI, Smoke Free Jakarta, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Forum Warga Jakarta, Center of Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Indonesia Institute for Social Development (IISD),  Raya Indonesia, Remotivi, Yayasan Pusaka Indonesia, Ruandu Foundation, Yayasan Gagas dan Satunama.


Editor: Damar Fery Ardiyan

 

  • TV swasta
  • televisi swasta
  • izin siaran
  • KPI
  • lembaga penyiaran
  • kesehatan
  • rokok
  • tembakau
  • Komnas Pengendalian Tembakau
  • zat adiktif

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!