Bukit Pentulu di Kebumen, Jawa Tengah. Foto: Muhammad Ridlo.

SAGA

Cagar Alam Geologi Karangsambung Terancam Tambang

Selasa 24 Apr 2018, 09.00 WIB

KBR, Kebumen - Hari masih subuh ketika Edi Hidayat mengajak saya menuju Bukit Pentulu. Di sana, Kepala Pelaksana Teknis Balai Informasi dan Konservasi Kebumian LIPI Karangsambung ini, menjanjikan pemandangan sunrise yang spektakuler.

Lokasi Bukit Pentulu ada di Kebumen, Jawa Tengah. Dari ketinggian sekitar 250 mdpl, terlihat jejeran perbukitan batu purba hasil proses tektonik dan vulkanik ratusan juta tahun lalu. 

Dan pagi itu, punggung perbukitan tampak seperti raksasa berselimut salju. Sementara seratusan kilometer lebih, Gunung Sindoro-Sumbing kelihatan menjulang. 

Edi Hidayat yang juga bertanggung jawab atas operasional penelitian kunjungan hingga kelestarian Kawasan Cagar Alam Geologi Karangsambung mengatakan, di sini terbentang 22 ribu hektar kawasan konservasi geologi. 

Dari luasan itu, terdeteksi 30 titik situs kebumian yang teramat penting. Sebagian berada di tanah negara yakni Perhutani. Sebagian lainnya ada di tanah pribadi. Batuan purba yang berada di tanah pribadi inilah, yang terancam.

“Pertama tadi, tingkat kerawanan penambangan. Ada yang di tanah milik pribadi. Seperti Gunung Wurung. Itu milik pribadi. Ibaratnya begini, pertanyaan mereka itu, 'Ini kan tanah saya, kenapa tidak boleh menambang?’,” ujar Edi Hidayat.

Perbukitan itu ditambang si pemilik, karena kualitasnya. Apalagi saat itu sedang demam Batu Akik. Sehingga kata Suparno –bekas penambang, bebatuan apapun diboyong untuk dijual.  

Tapi, mereka tak tahu kalau aksi menambang itu sama dengan merusak mata rantai muasal daratan Jawa. Itu mengapa, LIPI mendorong agar kawasan ini diubah jadi pariwisata. Sebab dari 30 lokasi batuan purba itu, baru delapan yang bisa diselamatkan karena lokasinya dibeli LIPI. 

“Kami sudah membeli delapan lokasi. Tetapi, kalau kami memperhitungkan, delapan lokasi itu adalah intinya,” imbuh Edi sembari menjelaskan.

Dan kini, ancaman lain datang. Batu-batuan yang berada di Kawasan Cagar Alam Geologi ditambang sebagai bahan untuk bangunan. Pasalnya, batuan berusia ratusan tahun ini merupakan batu hitam kelas wahid. 

Kata Edi, saban hari truk-truk mengangkut pecahan batu dengan dinamit atau tenaga manusia. Hal itu sudah terjadi sejak tiga tahun lalu.

Tak hanya itu, kawasan ini juga terancam oleh penambangan pasir. Dimana puluhan truk mondar-mandir mengangkut pasir dan batuan sungai tiap harinya. 

“Yang hilang itu, yang relatif masih bisa diangkat. Volume setengah meterlah ya,” sambungnya.

Akibat dari penambangan, terjadi degradasi. Air sulit didapat pada musim kemarau. Ini lantaran penambangan pasir yang tak terkendali.  

Karena itulah, LIPI mengajak masyarakat sekitar mengubah pola mata pencaharian dari penambang terlibat dalam pengelolaan wisata. Ajakan itu rupanya berhasil. Bukit Pentulu –yang berada di Kawasan Cagar Alam Geologi Karangsambung, jadi salah satu destinasi wisata dan mampu menggerakkan perekonomian setempat. 

Ketua Karang Taruna Karangsambung, Adnan, mengatakan kini Bukit Pentulu dikunjungi 50 hingga 100 orang pada hari biasa. Sementara pada akhir pekan, melonjak sampai 300 pengunjung. 

Meski begitu, masyarakat masih harus belajar tentang geologi. Tujuannya supaya pelancong tak hanya menikmati keindahan alam tapi juga menambah pengetahuan. 

“Kami memang sudah pernah meminta untuk kerjasama dengan LIPI. Kami ingin belajarlah. Mempelajari alam yang ada di Karangsambung, mempelajari batuan yang ada di Karangsambung,” pungkas Adnan. 

red

(Tambang pasir di Sungai Luk Ulo, yang masuk kawasan cagar alam Karangsambung. Foto: Muhammad Ridlo)

Kawasan Cagar Alam Geologi Karangsambung berada di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Jika diartikan secara harfiah, Karangsambung berarti karang yang tersambung. Tapi siapa sangka, kata itu merujuk pada sejarah jutaan tahun lalu.

Di sini, Lempeng Samudera dan Lempeng Benua bertumbukkan dan mengangkat dasar samudera menjadi daratan. Kepala Pelaksana Teknis Balai Informasi dan Konservasi Kebumian LIPI Karangsambung, Edi Hidayat, mengatakan Karangsambung teridentifikasi sebagai daerah batuan tua pada 1881. Ketika itu, wilayah ini diteliti oleh geolog asal Belanda. 

Di sini terbentang 22 ribu hektar kawasan konservasi geologi. Dari luasan itu, terdeteksi 30 titik situs kebumian yang teramat penting. Selain itu, ada pula batuan sedimen seperti Rijang, Konglomerat, Batu Pasir, Gamping Merah, dan Kalkarenit. 

Sementara batuan metamorfnya, ada Kuarsit, Serpenit, Sekis Mika, Filit, Karmer, dan Gnels. Batuan purba itu tercipta antara 60-120 juta tahun yang lalu. Seluruhnya tersebar di tiga kabupaten; Kebumen, Banjarnegara, dan Wonosobo. 

Tapi batuan purba ini sempat terancam karena penambangan oleh masyarakat sekitar. Hingga belakangan, LIPI mendorong agar kawasan ini diubah jadi pariwisata. Dengan begitu, pekerjaan masyarakat setempat ikut beralih.

Tiga tahun kerja keras, upaya LIPI membuahkan hasil. Suparno, kini berdagang di sekitar lokasi wisata Bukit Pentulu –yang masuk kawasan cagar alam. Pria 26 tahun ini, setahun lalu jadi penambang. Kata dia, dulu batu-batuan itu ditambang dengan dinamit.

“Menambangnya manual, kalau di sini kan tidak boleh memakai sedot. Sekarang pun masih ada (penambangan),” tutur Suparno.

Kini, ia sadar dan beralih jadi pedagang. Kadang juga membantu mengelola Bukit Pentulu. 

Peralihan mata pencaharian masyarakat dari penambang menjadi pemandu wisata, dinilai akan menguatkan status wilayah konservasi. Pasalnya, Kawasan Geologi Karangsambung telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Alam Geologi oleh bekas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2006 lalu. Penetapan itu, menurut Edi, dilakukan untuk mengantisipasi kerusakan akibat penambangan yang mulai massif terjadi.

“Jadi dulu itu peraturannya belum ada, SK penetapannya sudah ada. Kan biasanya, kalau untuk penetapan itu harus ada peraturan terlebih dahulu. Tetapi, dulu itu Karangsambung langsung ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Alam Geologi,” jelas Edi. 

red

(Mahasiswa dari Sekolah Tinggi Teknologi Nasional, Yogyakarta. Foto: Muhammad Ridlo)

Kini, upaya Edi dan teman-temannya terhitung berhasil. Perlahan tapi pasti, daerah ini menjadi destinasi wisata dan penelitian. Kata dia, Kampus Geologi dan Museum Alam ini dikunjungi belasan ribu turis.

“Tahun kemarin itu, 13.500-an orang. Jumlah mahasiswanya sekitar 4.000 orang,” sambungnya.

Seperti yang terjadi pada 25 Januari lalu, puluhan mahasiswa Jurusan Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional, Yogyakarta, berkerumun. Mereka berebut tempat duduk di angkutan umum yang ngetem di halaman Kampus Geologi. Rencananya, mereka akan menjelajah dasar samudera jutaan tahun lalu itu.

Sebelum berangkat, mahasiswa diberi pemaparan oleh Kepala Pelaksana Teknis Balai Informasi dan Konservasi Kebumian LIPI Karangsambung, Edi Hidayat mengenai sejarah dan keunikan bebatuan purba di Kawasan Cagar Alam Geologi Karangsambung.

Kehadiran para mahasiswa ini, membawa keuntungan bagi sopir. Kata Teguh, jumlah angkutan umum tak lagi seimbang dengan pengunjung yang terus berdatangan. 

“Sekarang banyak diharapkan justru ini (wisata),” tutur Teguh.

Perjalanan mereka, diawali ke Watu Kelir –batuan kombinasi batuan Lava Basalt dengan struktur unik menyerupai bantal (pillow) dan batuan sedimen rijang. 

Semua jenis batuan mulai dari masa pra-tersier hingga masa paling muda, ada di kawasan ini. Oleh sebab itu, Karangsambung disebut Melange, yakni daerah dengan jenis batuan yang campur aduk dari berbagai tingkatan zaman.

Dari lokasi pertama, rombongan menuju ke titik berikutnya, batuan Sekis Mika. Lokasinya dekat dengan jalan raya. Secara kasat mata, batuan ini tampak seperti batuan lempung yang disesar oleh aliran air. Saking biasanya, warga setempat menyebutnya batu kali. Tetapi siapa sangka, berdasarkan penelitian, umur batuan Sekis Mika telah mencapai 117 tahun.  

red

(Batuan Sekis Mika yang berada di kawasan cagar alam Karangsambung. Foto: Muhammad Ridlo)

Peneliti LIPI, Kristiawan Widiyanto menjadi dosen lapangan mereka. Widiyanto menjelaskan, bentuk bantal pada batuan purba menunjukkan bahwa pada suatu masa, lava menyeruak keluar dari perut bumi. Lava cair langsung mendingin lantaran berada dalam air dan menyebabkan bentuknya menyerupai kapsul yang tak simetris.

Edi Hidayat pun berharap kawasan ini menjadi candradimuka geolog-geolog dari seluruh dunia. Dia juga mengatakan, tanggung jawab menjaga area ini tak hanya pada dirinya, tapi juga semua pihak. Sebab kawasan geologi ini menjadi pusat ilmu pengetahuan di masa mendatang.  

	<td>Muhammad Ridlo&nbsp;</td>
</tr>

<tr>
	<td class="current">Editor:&nbsp;</td>

	<td>Quinawaty&nbsp;</td>
</tr>
Reporter: