HEADLINE

PT Semen Indonesia Ajukan PK, Tim Advokasi Petani Persoalkan Novum

PT Semen Indonesia Ajukan PK, Tim Advokasi Petani Persoalkan Novum


KBR, Jakarta - PT Semen Indonesia mengajukan permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, atas pembatalan izin lingkungan operasional pabrik itu di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah.

Sekretaris Perusahaan PT Semen Indonesia Agung Wiharto mengatakan permohonan PK diajukan setelah mereka memiliki bukti baru, atau novum. Novum itu tidak lain adalah putusan Pengadilan Negeri Gresik Jawa Timur yang menyatakan izin lingkungan PT Semen Indonesia di Rembang sah dan legal.


"Kami mengajukan putusan Pengadilan Negeri itu sebagai pertimbangan hukum juga. Pertimbangan hukum yang menurut kami benar. Novum baru itu berupa putusan Pengadilan Negeri Gresik, itu menjadi salah satu dasar kami mengajukan Peninjauan Kembali untuk kedua kalinya," katanya.


PN Gresik sebelumnya mengadili gugatan dua warga, Pramono Setyo Mustiko dan Agus Sugiharto yang menggugat izin Gubernur Jawa Tengah tentang pabrik semen PT Semen Indonesia. Pada Maret 2017, hakim menolak gugatan itu dan menyatakan izin gubernur Jawa Tengah sah dan legal. Padahal Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan izin tersebut.


Putusan itu kemudian dijadikan dasar bagi PT Semen Indonesia untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) kedua ke Mahkamah Agung, atas putusan PK MA sebelumnya yang membatalkan izin pabrik semen.


Baca juga:


Namun, putusan hakim ini kemudian dipersoalkan koalisi sejumlah lembaga hukum dan lingkungan yang mengatasnamakan Tim Advokasi Peduli Lingkungan. Tim melaporkan tiga hakim Pengadilan Negeri Gresik ke Komisi Yudisial pada Kamis (20/4/2017), karena putusan hakim dianggap janggal. Tiga hakim itu adalah Syaifudin Zuhri, Putu Mahendra dan Aria Dedy.


Salah seorang anggota Tim Advokasi, Erwin Natosmal dari Indonesian Legal Roundtable (ILR) mengatakan proses sidang kasus itu penuh kejanggalan.


"Salah satu kejanggalannya adalah Majelis tergesa-gesa mengabulkan keputusan ini. Gugatan itu divonis dalam waktu kurang dari dua bulan," ujar Erwin saat melapor ke Komisi Yudisial, Kamis siang.


Proses sidang PN Gresik itu, kata Erwin, hanya berlangsung 41 hari. Hakim hanya mengadakan dua hingga tiga kali mediasi dan langsung menggelar sidang putusan. Ia melaporkan kasus itu ke Komisi Yudisial, karena diduga ada pelanggaran etik dari hakim ketua Saifudin Zuhri yang juga menjabat Kepala Pengadilan Negeri Gresik.


Tim Advokasi Peduli Lingkungan diantaranya terdiri LSM Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), ILR, ELSAM, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dan lain-lain.


"Kami meminta Komisi Yudisial memeriksa hakim yang menangani sengketa, kenapa ada proses yang janggal," kata Erwin.


Erwin juga mengeluhkan tertutupnya pihak pengadilan yang membuat tim advokasi kesulitan memperoleh dokumen putusan. Mereka meminta salinan putusan, namun permintaan itu ditolak dengan alasan putusan hakim sudah dijadikan bukti baru (novum) oleh PT Semen Indonesia untuk pengajuan Peninjauan Kembali (PK) kedua.


"Kenapa pihak terkait yakni masyarakat Kendeng tidak dibolehkan mendapatkan putusan? Ini kan terkait kepentingan mereka untuk proses yudisial selanjutnya," kata Erwin.


Anggota tim advokasi dari WALHI, Ronald Siahaan mengatakan telah memasukkan kontra memori banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang. Dalam kontra memori banding itu, Tim Advokasi menyatakan PN Gresik tidak bisa memutus perkara SK Gubernur tentang izin lingkungan karena merupakan wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara.


"Proses litigasi PTUN sendiri sudah selesai di Mahkamah Agung pada 2016. Harusnya berhenti di situ," kata dia lagi.


Editor: Agus Luqman 

  • PT Semen Indonesia
  • pabrik semen
  • izin lingkungan
  • pegunungan kendeng
  • rembang
  • Jawa Tengah
  • peninjauan kembali
  • Putusan PK
  • Mahkamah Agung

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!