HEADLINE

LSI Beberkan Beberapa Faktor yang Membuat Anies Mampu Ungguli Ahok

"Penolakan terhadap Ahok akibat kasus dugaan penodaan agama itu bahkan tak bisa ditangkal dengan merapatnya sejumlah partai Islam, semisal PKB dan PPP."

LSI Beberkan Beberapa Faktor yang Membuat Anies Mampu Ungguli Ahok
Calon gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melambaikan tangannya merayakan kemenangan di putaran kedua Pilkada DKI di kantor DPP Gerindra, Jakarta, Rabu (19/4/2017). (Foto: ANTARA)


KBR, Jakarta - Analisis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Adjie Alfaraby membeberkan sejumlah faktor yang menyebabkan kemenangan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Anies Baswedan-Sandiaga Uno atas lawannya pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dalam hitung cepat putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017.

Adjie mengatakan kemenangan Anies-Sandi cukup kental dipengaruhi perkara dugaan penodaan agama. Jerat hukum terhadap calon gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok itu, kata Adjie, cukup berhasil menggiring pemilih Agus Yudhoyono saat putaran pertama, beralih ke Anies.


Adjie menyebut faktor dugaan penodaan agama, karena berdasarkan survei tingkat kepuasan kinerja, Ahok-Djarot mendapat nilai yang cukup tinggi yakni di atas 70 persen.


"Itu artinya ada faktor lain. Bahwa mayoritas pemilih inginkan gubernur baru dengan berbagai alasan; karena kasus penistaan agama dan personality-nya Ahok," kata Adjie kepada KBR, Rabu (19/4/2017).

 

"Kalau kita lihat exit-poll itu pemilih muslim mayoritas 80 persen. Dari 80 persen itu sekitar 64-65 persen memilih Anies. Kalau kita lacak lagi dari 60-an persen itu mereka terluka oleh sentimen penistaan agama. Jadi memang ada korelasi antara kasus penistaan agama dengan arah pergeseran suara," tambah Adjie.


Dengan latar karakter yang demikian, kata Adjie Alfaraby, pemilih Agus Harimurti Yudhoyono pada putaran pertama lebih sulit memberikan suara ke Ahok dibanding Anies. Penolakan terhadap Ahok akibat kasus dugaan penodaan agama itu bahkan tak bisa ditangkal dengan merapatnya sejumlah partai Islam, semisal PKB dan PPP.


"Pertama, mereka sudah telanjur terluka. Kedua, mereka pemilih muslim yang mayoritas tidak terikat kelembagaan seperti NU atau Muhammadiyah. Karena tokoh Islam yang punya pengaruh di Jakarta ini kan melawan Ahok, misalnya Habib Rizieq, Yusuf Mansyur, Arifin Ilham dan beberapa tokoh agama di luar kelembagaan NU dan Muhammadiuyah. Ini juga yang menyebabkan pemilih muslim tidak banyak bergeser," kata Adjie.


Dalam kondisi itu, menurut Adjie, Ahok dan tim pemenangannya dianggap tak cakap dalam menarik kembali sentimen pemilih muslim yang marah dengan kasus dugaan penodaan agama. Tim pemenangan pasangan nomor urut 2, kata Adjie, sudah berupaya menggaet suara pemilih. Terbukti dengan naiknya suara Ahok-Djarot dibanding putaran pertama. Hanya saja resistensi terhadap Ahok memang begitu kuat.


"Survei terakhir kami Anies ada di angka 51, lalu Ahok di angka 43. Jadi sebetulnya dua-duanya memang mengalami kenaikan dukungan dengan sisa pemilih mengambang," katanya.


Faktor lain yang membuat Anies mendulang suara lebih tinggi, menurut Adjie, lantaran pasangan nomor urut 3 itu mampu memikat hati pemilih kelas menengah atas, dengan menggunakan isu keberagaman dan janji membereskan ketimpangan ekonomi. Janji itu, menurut Adjie, membuat nyaman sebagian kelas menengah atas yang belum menentukan pilihan.


"Kelas menengah di putaran pertama memang ke Ahok. Sedangkan di putaran kedua ini Anies bisa mengimbangi. Karena ada perubahan posisi Anies di putaran pertama, kita bisa lihat dia sangat 'kanan'. Tapi di putaran kedua bisa bergeser ke tengah dengan isu keberagaman, persatuan, Jakarta yang lebih stabil," kata Adjie.


Baca: LIVEBLOG - FINAL DKI1, AKHIRNYA GUBERNUR BARU  

 

Editor: Agus Luqman 

  • Anies-Sandi
  • Ahok-Djarot
  • LSI
  • Lingkaran Survei Indonesia
  • Agus Harimurti Yudhoyono
  • basuki tjahaja purnama

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!