HEADLINE

Asvi: Luhut Tak Perlu Minta Maaf, Hanya Presiden Jokowi!

"Sejarah panjang PKI tidak bisa menjadi tolok ukur untuk mengungkapkan tragedi 1965-66"

Asvi: Luhut Tak Perlu Minta Maaf, Hanya Presiden Jokowi!

KBR, Jakarta - Sejarawan Asvi Marwan Adam menyoroti metode sejarah yang digunakan panitia Simposium Nasional Tragedi 1965/66. Menurutnya, periodisasi kejahatan HAM berat ini perlu dipisah dan dipilah. "Sebaiknya peristiwa G30S ini dipisahkan waktunya, agar lebih mudah penyelesaiannya. Seperti saat 30 September dan waktu setelahnya," ungkapnya di Hotel Arya Duta, Jakarta, Senin (18/4/2016).

Sebelumnya, Ketua Pengarah Simposium, Agus Widjojo menganggap rentetan peristiwa yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) ikut memengaruhi tragedi 1965. Seperti peristiwa Madiun, konflik tanah saat PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI) melakukan aksi sepihak pada 1960.

Tetapi sejarah panjang PKI tidak bisa menjadi tolok ukur untuk mengungkapkan siapa pelaku dan korban dalam G30S. Menurut Asvi, peristiwa G30S hanya terkait dengan pembunuhan terhadap enam jenderal TNI dan perwira muda atau dikenal sebagai Pahlawan Revolusi dan pembantaian warga pasca peristiwa tersebut.

Berdasarkan data Pusat Sejarah TNI, menurut Asvi, kasus pertama sudah diselesaikan melalui jalur peradilan. "Secara hukum sudah ada persidangan seribu orang menurut Pusat sejarah TNI. Pada subversif, Mahkamah Tinggi, Mahmilub semua anggota Cakrabirawa sudah diadili. Jadi secara hukum, apa yang terjadi 30 September atau 1 Oktober sudah diselesaikan di Pengadilan," jelasnya.

Sedangkan pembantaian pasca Oktober 1965 di Jawa, Bali dan daerah lain belum diselesaikan melalui jalur yudisal. "Kita bisa berdebat angkanya. Korban mencapai 78 ribu, 500 ribu, 3 juta pernah disebut Sarwo Edhie. Jumlah ini bisa diperdebatan terus. Tetapi yang jelas jumlahnya banyak, bukan hanya pembunuhan, penangkapan, penahanan, penyiksaan yang terjadi sesudah itu. Komnas HAM sudah memberikan penyidikannya kepada Jaksa Agung," kata dia.

Pada Oktober 2015, KBR pernah mewawancarai salah satu korban yang kewarganegaraannya dicabut rezim Sohearto. Dia adalah Tom Iljas. Tak bisa pulang, terlunta-lunta tanpa kewarganegaraan, sampai akhirnya Tom diterima di Swedia dan jadi warga negara di sana. Karena peristiwa itu pula, Tom tak bisa ziarah menengok makam ayahnya di Padang. Menurut Asvi, kejahatan macam ini adalah satu yang perlu diselesaikan negara.

"Mereka harus meminta suaka satu negara, bahkan berpindahan ke lebih dari satu negara. Menurut saya Presiden harus meminta maaf terhadap kekeliruan yang dibuat negara. Tadi Luhut Pandjaitan mengatakan dia tidak akan meminta maaf. Menurut saya, tidak seharusnya Luhut yang memberikan maaf atau meminta maaf. Yang meminta maaf adalah Presiden Jokowi, bukan Luhut," tegasnya. 


Editor: Quinawaty Pasaribu

  • Simposium nasional “Membedah Tragedi 1965”
  • Agus Widjojo
  • Luhut Pandjaitan
  • Jokowi
  • Asvi Marwan Adam

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!