BERITA

Sidang Tuntutan Setya Novanto, Jaksa: Perkaya Diri Hingga 100 M

Sidang Tuntutan Setya Novanto, Jaksa: Perkaya Diri Hingga 100 M

KBR, Jakarta- Jaksa Penuntut Umum KPK menyatakan terdakwa perkara korupsi proyek KTP elektronik, Setya Novanto terbukti memenuhi unsur tindak pidana dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Hal itu disampaikan jaksa saat membacakan surat tuntutan terhadap terdakwa Setya Novanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (29/05/18).

Jaksa KPK, Ahmad Burhanuddin mengatakan, Setya Novanto terbukti menerima memperkaya diri sendiri sebanyak 7,3 juta dolar Amerika Serikat atau setara lebih Rp 100 miliar. Selain itu, bekas Ketua Fraksi Partai Golkar itu juga terbukti menerima sebuah jam tangan merek Richard Mille seri RM 011 seharga Rp 135 ribu dolar Amerika Serikat.


"Kami berkesimpulan unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Maka sudah sepatutnya seluruh dalil dan bantahan terdakwa harus dikesampingkan karena tidak berdasar," kata Ahmad.


Ahmad menambahkan, perbuatan Novanto juga memperkaya orang lain dan korporasi. Jaksa KPK setidaknya menyebutkan 26 pihak yang menerima aliran dana dengan jumlah yang berbeda-beda dari korupsi proyek e-KTP. Mereka terdiri dari unsur pemerintah, legislatif dan swasta.


Jaksa KPK menilai Setya Novanto telah menyalahgunakan kewenangan selaku anggota DPR dalam proyek pengadaan KTP elektronik. Perbuatan Novanto itu menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari total nilai proyek Rp 5,9 triliun.


Jaksa Penuntut Umum KPK juga menyatakan kasus tindak pidana korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) yang melibatkan Setya Novanto dilakukan secara struktur dan sistematis. Jaksa KPK, Irene Putri mengatakan, kejahatan tersebut bahkan dilakukan hingga luar negeri dan melibatkan berbagai pihak di beberapa negara.


Jaksa KPK menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak di luar negeri yang membantu KPK dalam penanganan perkara korupsi e-KTP. Irene mengatakan, ini merupakan peringatan kepada siapapun bahwa tidak ada tempat bagi pelaku kejahatan untuk sembunyi dan menyamarkan hasil kejahatan di luar negeri.


"Kerjasama internasional dalam penanganan tindak pidana korupsi juga menjadi pesan bagi semua bahwa tiada tempat bagi pelaku dan hasil kejahatan meskipun di luar negeri sekalipun. Karena itu you can run but you can't hide," kata Irene.


Hari ini Jaksa Penuntut Umum KPK membacakan surat tuntutan setebal 2.415 halaman terhadap terdakwa korupsi e-KTP, Setya Novanto. Dalam surat tuntutan, jaksa KPK melampirkan 265 surat sebagai barang bukti, 122 transaksi elektronik sebagai alat bukti petunjuk, dan 7.272 alat bukti.


Jaksa KPK menilai Setya Novanto telah  menyalahgunakan kewenangan selaku anggota DPR dalam proyek pengadaan KTP elektronik. Perbuatan Novanto itu menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari total nilai proyek Rp 5,9 triliun.


JC

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi(Pukat) UGM Fariz Fahrian menilai terdakwa kasus korupsi e-KTP Setya Novanto tak layak jadi justice collaborator. Fariz mengatakan, sejak awal Novanto tampak setengah hati mengakui perbuatannya.

"Dia mengakui menerima pemberian jam dari salah satu kontraktor di kasus e-KTP, tapi kemudian dia juga menolak dikatakan menerima suap," ujar Fariz saat dihubungi KBR, Kamis (29/3).


Novanto enggan mengakui dirinya menerima suap dan mengatur persekongkolan proyek senilai Rp 5,9 triliun. Fariz juga mengungkit Novanto yang mangkir berulangkali dari panggilan pemeriksaan KPK. Terakhir, bekas Ketua DPR itu juga membuat drama kecelakaan mobil untuk menghindar dari penyidik KPK.


Selain itu, dia menilai keterangan yang diberikan Novanto selama persidangan juga tidak ada yang cukup  berharga untuk mengungkap aktor lain di balik korupsi KTP elektronik. 


Editor: Rony Sitanggang

  • Setya Novanto
  • korupsi e-KTP

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!