BERITA

Museum Pustaka Peranakan Tionghoa untuk Keberagaman

"Museum ini mengoleksi lebih dari 30 ribu dokumen mulai dari buku, majalah, hingga komik."

Museum Pustaka Peranakan Tionghoa untuk Keberagaman
Pendiri Museum Peranakan Pustaka Peranakan Tionghoa Azmi Abubakar (baju biru), saat menerima kunjungan. Foto: Azmi Abubakar

KBR- Tahu tidak siapa itu Laksamana John Lie? Dia adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia keturunan Tionghoa yang mengabdi di Angkatan Laut. Ia juga dikenal dengan nama Souw Phan Ciang alias Khe Panjang atau Kapitan Sepanjang, salah satu pemimpin Tionghoa yang bersatu dengan pasukan Jawa untuk melawan pasukan VOC pada 1740-1743. 

Nah kalau ingin tahu lebih banyak soal peran etnis Tionghoa dulu, mari berkunjung ke Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di Tangerang Selatan, Banten. Museum ini mengoleksi lebih dari 30 ribu dokumen. Mulai dari buku, majalah, koran, komik, cerita silat, juga berbagai foto. Koleksi buku yang paling tua berumur sekitar tahun 1700an. Ada juga komik Si Buta Dari Goa Hantu, karya etnis Tionghoa. 

Namun, menurut pendiri museum, Azmi Abubakar, ia dan rekan-rekannya hanya membatasi mengumpulkan bukti-bukti, terutama pada peran dan jasa etnis Tioghoa sebelum dan sesudah kemerdekaan. 

“Ada anggapan dari masyarakat kalau etnis Tionghoa menguasai ekonomi, tanpa  memikirkan persoalan-persoalan sosial. Lebih jauh lagi ada anggapan, pada masa penjajahan mereka (etnis Tionghoa) dinilai sebagai kawan atau kolaborator Belanda. Menurut saya, informasi itu tidak tepat,” jelas Azmi pada Host Program Ruang Publik KBR, Don Brady, Selasa (6/3/2018).

Untuk meluruskan pandangan atau anggapan masyarakat terhadap etnis Tionghoa, itulah mengapa Azmi membangun museum ini pada 2011 lalu. Terutama lagi, ketika ia merasakan sendiri pergolakan yang terjadi pada tragedi Mei 1998, di mana etnis Tionghoa banyak yang menjadi sasaran amuk massa. 

“Kejadian itu menimbulkan pertanyaan besar bagi saya, mengapa masyarakat sampai melakukan hal yang tidak terbayangkan, menjarah dan melakukan tindakan-tindakan  yang di luar pikiran kita sebagai sesama bangsa. Saya melihat ini bukan pada persoalan kebencian tapi pada informasi yang sangat terbatas yang diketahaui masyarakat luas perihal peranakan Tionghoa, tentang sejarahnya dan lain lain," ujarnya.

Yang menarik, museum ini dikelola oleh orang-orang non Tionghoa. Azmi sendiri berdarah Aceh. Menurutnya, untuk membuat tenunan baru bagi kebangsaan adalah bagaimana perhatian kita terhadap etnis lain yang sebangsa. 

Di rumahnya, Azmi juga memajang patung-patung, lukisan dan pernak-pernik yang berhungan dengan etnis Tionghoa. Tamu yang datang ke rumahnya terkadang heran melihat kebiasaannya. Tak jarang ada yang melontarkan rasa tak suka atau menyebutnya “kafir’ karena mengurusi tentang sesuatu yang tidak semestinya. 

“Ngapain kita memajang sesuatu yang orang sudah tahu, lebih baik memajang yang orang tidak tahu. Jadi ini peluang bagi saya untuk menyampaikan informasi tentang etnis Tionghoa kepada mereka (tamu yang datang ke rumah). Jadi, dengan adanya museum ini, kami berharap, tidak ada lagi etnis Tionghoa yang jadi kambing hitam dalam perjalanan bangsa kita, semoga tidak terjadi,” tegasnya. 

Oh ya, jika Anda ingin berkunjung ke museum ini, harus dengan perjanjian dulu. Karena Azmi dan rekan-rekannya mengelola museum ini disela-sela kesibukannya, jadi harus mendaftar dan antri. Maklum, museum ini tak punya pegawai, semua dikelola secara swadaya dan tak ada pegawainya.

“Museum ini menolak bantuan dana dari siapapun, kecuali bantuan buku, foto-foto atau dokumen. Museum ini kami kelola secara mandiri, dengan menggandeng para relawan." 

  • Museum Pustaka Peranakan Tionghoa
  • John Lie
  • Azmi Abubakar
  • museum
  • Tionghoa
  • Etnis Tionghoa

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!