HEADLINE

Eksekusi Sengketa Lahan Luwuk, Seribuan Warga Telantar

Eksekusi Sengketa Lahan Luwuk, Seribuan Warga Telantar

KBR, Jakarta - Eksekusi sengketa lahan di wilayah Luwuk, Banggai, Sulawesi Selatan mengakibatkan 1.411 warga telantar. Korban eksekusi itu kini terpaksa mengungsi di dua bangunan masjid di daerah tersebut. Bece, salah seorang warga mengatakan ratusan unit rumah warga telah rata tanah.

Aktivitas di sana pun terhenti. Dan kini kata dia, warga kebingungan mencari tempat tinggal.


"Sebentar lagi juga mau dekat puasa kira-kira bagaimana ini, saya juga bingung. Kasihan juga ada yang baru melahirkan tiga hari yang lalu. Ada juga yang usia 9 bulan. Masjid kan juga kecil," cerita Bece saat dihubungi KBR melalui telepon, Rabu (21/3/2018).


Bece yang juga menjadi warga korban penggusuran menuturkan, akses masuk-keluar lokasi dijaga ketat oleh aparat kepolisian setempat. Menurutnya, baru Rabu (21/3/2018) ini saja penjagaan lebih longgar.


"Baru dorang buka jalan, tapi kemarin orang di dalam tidak ada yang makan, hanya minum."


Sehingga kata dia, warga sempat mengeluhkan kelaparan lantaran akses yang terbatas. Sementara bantuan makanan pun belum ada. Menurut Bece, untuk sementara warga mengandalkan kiriman makanan dari sanak saudara.


"Itu juga dengan akses terbatas, kalau ada yang mau antar makanan masih diperiksa," ungkap Bece.

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/03-2018/sengketa_lahan_di_banggai__dituding_hambat_warga_ini_penjelasan_polda_sulteng/95440.html">Eksekusi Sengketa Lahan Luwuk, Polisi Bantah Batasi Akses Warga Dapat Makanan</a></b> </li>
    
    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/01-2018/kementerian_agraria_ungkap_sebab_kesulitan_tangani_konflik_lahan/94241.html">Kementerian Agraria Ungkap Sebab Sulitnya Atasi Konflik Lahan</a></b> </li></ul>
    

    Kendati kondisi itu dibantah kepolisian daerah Sulawesi Tengah. Juru bicara Polda Sulawesi Tengah Hery Murwono berdalih hanya memeriksa warga yang hilir-mudik wilayah eksekusi.

    Penjagaan, menurutnya, untuk mengantisipasi kerusuhan. "Supaya tidak bolak-balik, kami kan menjaga situasi. Tidak mungkin sampai menghambat (warga memperoleh bahan makanan)," kata Hery kepada KBR, Selasa (20/3/2018) malam.


    Dikutip dari laman Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), penggusuran terhadap Warga Tanjung Sari yang dibarengi tindakan represif aparat sudah berkali terjadi. Mulanya, pada pertengahan Mei 2017 lalu setelah Pengadilan Negeri (PN) Luwuk memutuskan untuk mengeksekusi rumah-rumah warga.


    Pada eksekusi kedua yakni 24 Januari 2018, menurut Koordinator KPA Wilayah Sulteng Noval Apek, ratusan warga berhadapan dengan puluhan aparat gabungan polisi dan TNI. Penggusuran ini buntut dari gugatan panjang sengketa lahan antara dua pihak ahli waris. Namun, pelaksanaan eksekusi di lapangan mengalami perluasan objek perkara. Sehingga, menurut KPA, penggusuran meluas turut mengenai lahan warga lain yang telah memiliki setifikat.


    Cacat hukum penggusuran itu juga ditunjukkan adanya Surat BPN RI Kantor Wilayah Sulteng nomor 899/72/VI/2017 perihal penjelasan eksekusi tanah di Kelurahan SImpong, Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai.

    red

    Spanduk penolakan warga. (Foto: dokumentasi KPA)

    Komisi Nasional Hak Asasi Manusia perwakilan Sulawesi Tengah juga turun menyelidiki masalah ini. Sejumlah pelanggaran proses hukum dan administrasi pun ditemukan. Di antaranya keputusan Ketua PN Luwuk Nanang Zulkarnain yang dinilai mengesampingkan putusan sebelumnya. Selain itu, Komnas HAM juga mencatat bahwa aparat bersikap represif dan melampaui kewenangan pengadilan. Sehingga Ketua Komnas HAM Sulteng, Dedi Askary melalui keterangan tertulis meminta Kapolda untuk menarik pasukan dari desa.

    Sengketa di Desa Tanjung Sari, Luwuk, Kabupaten Banggai itu diawali dengan perebutan lahan antara ahli waris keluarga Salim Albakar dan keluarga Datu Adam tahun 1977. Albakar mengklaim memiliki tanah seluas 38 hektare.


    Gugatan Albakar hingga di Mahkamah Agung selalu kalah. Ketika itu, warga lantas mulai mendirikan permukiman di atas lahan yang disengketakan. Mereka membeli dan menyewa lahan dari keluarga Datu Adam hingga akhirnya satu per satu memiliki Sertifikat Hak Milik.


    Namun pada Senin (19/3/2018) lalu, eksekusi lahan di Desa Tanjung Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Selatan tetap dilakukan dan berujung ricuh. Warga menolak digusur karena mengantongi sertifikat hak milik.

    Baca juga:




    Editor: Nurika Manan

  • sengketa lahan
  • luwuk
  • banggai
  • konflik lahan
  • konflik agraria
  • KPA
  • Konsorsium Pembaruan Agraria

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!