BERITA

Dengar Ungkapan Keinginan Bunuh Diri, Bagaimana Meresponnya?

Dengar Ungkapan Keinginan Bunuh Diri, Bagaimana Meresponnya?

KBR, Jakarta - Keinginan untuk bunuh diri, bisa tumbuh dan muncul dari berbagai kalangan usia, termasuk remaja. Masalah di rumah, sekolah atau dengan teman bisa menjadi pemicu depresi yang berujung pada munculnya keinginan bunuh diri.

Benny Prawira Siauw, Pendiri Into the Light--komunitas yang fokus pada upaya pencegahan bunuh diri dan kesehatan jiwa--mengatakan, jika ucapan ingin bunuh diri yang telontar dari seseorang haruslah ditanggapi serius. 

"Tapi ucapan soal kematian saja tidak cukup menjadi indikasi hendak bunuh diri. Ada tanda lain yang juga harus diperhatikan, misal perubahan perilaku; menarik diri dari pergaulan, gambar profil di media-sosialnya hitam, statusnya galau," tutur Benny saat berbincang bersama Host Ruang Publik KBR, Don Brady, Selasa (27/3/2018).

"Nah, kalau sudah begini kita harus merangkulnya," lanjutnya.

Bunuh diri, menurut Benny, tak selalu dimulai dari depresi. Walaupun, ada beberapa kasus yang terjadi karena depresi. Biasanya bunuh diri terjadi karena stres yang hebat atau stres yang signifikan. Meski begitu, bunuh diri juga bisa dadakan, karena kerentanan psikologis. Biasanya orang tersebut tak terbiasa berpikir lebih panjang, dan muncul pada saat stres signifikan atau depresinya sudah sangat parah. Jika ini terjadi, maka perlu bantuan profesional atau segera menemui psikiater.

red

Penyiar KBR, Don Brady (kiri) bersama Benny Prawira Siauw (Kanan) saat berbincang di program Ruang Publik KBR. (Foto: KBR/ Eka Jully)

Benny menjelaskan, depresi berbeda dengan stres. Stres adalah kondisi sehari-hari yang sering kita terima, yang bisa membuat seseorang merasa tertekan atau justru tertantang. Ini bisa jadi stres positif jika dapat diatasi. Namun boleh jadi sebaliknya, bakal jadi stres negatif bila tak bisa menangani.

Nah, jika stres negatif ini terjadi terus menerus dan mulai memengaruhi mood, barulah masuk ke depresi, dari ringan hingga ke fase berat. Depresi, tak pandang usia atau golongan.

Jika depresi terjadi pada remaja, bukan hanya berpengaruh pada kesehatan jiwa tapi juga pada kesehasan fisik. Menurutnya, bisa jadi akan mengeras seiring pertambahan usia dan akan memengaruhi generasi selanjutnya.

Karena itu, soal kesehatan jiwa harus betul diperhatikan. Apalagi, lanjut Benny, angka terbaru percobaan bunuh diri pada remaja mencapai 3,9 persen di mana menyasar usia 13-17 tahun. Setidaknya, satu hingga dua kali bunuh diri terjadi dalam setahun terakhir.

Ia menuturkan, penyebab depresi pada remaja lazimnya karena faktor biologis (hormon, genetik), kekerasan dalam rumah tangga, psikologis (bagaimana melihat dunia, bagaimana menghadapi stres) dan, faktor sosial (biasanya terkait masalah romansa/ percintaan, pertemanan, dan bullying/ejekan). Jika sudah mulai tahap stres signifikan atau juga berat, akan mengalami susah konsentrasi saat bekerja, malas bangun tidur, malas bergaul dengan teman dan kehilangan minat.

"Jika anak-anak yang stres, biasanya dia mengigau, tak mau ngobrol sama orangtua. Ada lagi anak yang bilang mau tidur tapi tak mau bangun lagi, itu menunjukkan ia tak mau hadir di dunia. Untuk itu, anak perlu ditanya kesehariannya seperti apa, situasi di sekolah, pergaulan sama teman-teman, dan sebagainya."

Baca juga:

Jika sang anak terlihat gejala depresi, jangan malu dan ragu untuk segera konsultasi ke psikolog atau psikiater, Benny melanjutkan. Ini dilakukan agar kondisi kejiwaan tak sampai bertambah parah. Karena menurutnya, stres berat dan depresi bisa dipulihkan. 

"Saat ini, kalau datang ke psikiater, sudah bisa pakai BPJS Kesehatan, tapi pilih rumah sakit yang ada poli jiwanya. Obat penenang, jika tak nyaman bisa dikonsultasikan ke psikiaternya. Jika obat tak dibutuhkan lagi oleh tubuh, akan lepas dengan sendirinya dan harus dengan pengawasan profesional," katanya.

"Pelampiasan positif yang bisa dilakukan ketika sedang stres, bisa dengan olahraga, menulis, menggambar, melukis, fotografi, travelling dan hobi lainnya," saran Benny.

Komunitas Into The Light

Tahun 2012, saat masih menjadi mahasiswa psikologi, Benny banyak menerima curhatan dari teman-temannya. Salah satunya, ada yang bercerita tentang keinginan untuk bunuh diri. Bermula dari itulah, Benny remaja tergerak mencari tahu tentang kasus-kasus serupa melalui dunia maya.

Ia menuturkan, setiap sepekan ada 1-2 kali kasus bunuh diri di Indonesia. Ada pula saatnya dalam satu pekan penuh dengan kasus bunuh diri. Untuk membendung itu, ia dan rekan-rekannya berikhtiar dengan mendirikan Komunitas Into The Light pada Mei 2013.

"Prioritas komunitas, kami ingin meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama remaja untuk mencegah bunuh diri. Salah satunya dengan melakukan kampanye, edukasi, riset, kerjasama lintas sektor terkait hal ini," jelasnya.

"Kami berharap bisa meluruskan stigma soal depresi atau gangguan jiwa lainnya, agar orang bisa mudah mencari bantuan," ungkapnya lagi.

Baca juga:

Sejauh ini menurutnya mulai ada perhatian dari pemerintah. Misalnya ditunjukkan dengan adanya beberapa seminar dan pelatihan bersama Kementerian Kesehatan. Tapi tentu belum cukup, menurut Benny, upaya itu perlu ditingkatkan mengingat pemberitaan bunuh diri kian meningkat. Pemerintah juga diharapkan bisa membuka akses pelayanan kesehatan jiwa dan meningkatkan tenaga profesional.

Sementara Into The Light sendiri, menyediakan layanan pendampingan sebaya dan rujukan kepada profesional. Anda yang ingin berkonsultasi, bisa dengan mengirimkan surel/email ke [email protected].




Editor: Nurika Manan

  • bunuh diri
  • Depresi
  • Cegah depresi
  • Into The Light
  • Benny Prawira Siauw

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!