BERITA

Tebang Pohon di Tanah Sendiri, 5 Petani Cilacap Dipanggil Polisi

""Selain bukti pembayaran pajak, juga ada surat keterangan dari Kepala Desa bahwa tanah tersebut merupakan milik Pak Sudjana,” "

Muhamad Ridlo Susanto

Tebang Pohon di Tanah Sendiri, 5 Petani Cilacap Dipanggil Polisi
(Foto: KBR/Muhammad Ridlo)


KBR, Cilacap- Sebanyak lima petani dari beberapa desa di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dipanggil Polres Cilacap. Lima orang tersebut, yakni Sudjana, Tursino, Tono, Raskamto, dan Karpin, dituduh menebang pohon dan melakukan pengrusakan di kawasan Perhutani di Desa Jambu Kecamatan Wanareja.

Direktur LSM Serikat Tani Mandiri (SeTAM) Cilacap Petrus Sugeng mengatakan lima petani tersebut dimintai keterangan oleh polisi pada  27 Febaruari lalu.  Sugeng  mengadvokasi kasus tersebut lantaran menduga ada upaya kriminalisasi petani. Pasalnya, mereka menebang pohon di tanahnya sendiri.

 

Kata Sugeng, lahan tersebut merupakan milik salah satu petani yang dipanggil polisi, yakni Sudjana. Tanah seluas 4,5 hektare ini, merupakan warisan dari orang tua Sudjana.

 

Sugeng menjelaskan, pada awalnya, pada tahun 1987 Perhutani Banyumas Barat melakukan tukar guling tanah seluas 8,5 hektare milik sejumlah warga  di Desa Jambu ke Desa Ciwalen Kecamatan Dayeuhluhur. Namun, tukar guling tersebut urung dilakukan lantaran tanah yang akan diberikan ke petani belum disediakan. Akhirnya, petani tetap menggarap lahan tersebut.

 

Tetapi, kata Sugeng, lantaran sudah ada rencana tukar guling Perhutani saat itu mulai menanam pohon pinus di tanah seluas 8,5 hektare itu. Perjanjiannya, petani yang akan menyadap atau mendapat hasilnya jika sudah berproduksi. 


Pemilik tanah tersebut, termasuk Sudjana, sejak 1987 juga sudah mendapatkan Surat Pembayaran Pajak Tanah (SPPT).  Kemudian pada   2010-an, petani pemilik lahan seluas 8,5 hektare, termasuk Sudjana mengajukan sertifikasi lahan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Seluruh sertifikat keluar pada 2015, kecuali milik Sudjana. Dari informasi yang didapat Sudjana, Perhutani keberatan dengan  munculnya sertifikat tanah milik Sudjana. Anehnya, pada  2016 lalu, Sudjana sudah tidak mendapatkan SPPT lagi.

 

Sudjana yang meyakini bahwa tanah tersebut miliknya, pada awal 2017 kemarin berencana mengganti tanaman pinus menjadi tanaman produktif lainnya. Sebab, sejak berpoduksi, dia tak pernah mendapat hasilnya. Getah pinus disadap oleh pekerja Perhutani. Sudjana tidak pernah mendapat bagian hasil. 


“Yang jelas, semenjak itu sah, sebelum dilakukan oleh BPN, itu sudah (ada) C Desa. Yaitu dipajaki sampai tahun ini, tahun 2016 tidak keluar itu tidak keluar SPPT-nya. Selain bukti pembayaran pajak, juga ada surat keterangan dari Kepala Desa bahwa tanah tersebut merupakan milik Pak Sudjana,” jelas Petrus Sugeng, Minggu malam (5/3/2017).

 

Lebih lanjut Petrus Sugeng menjelaskan, saat ini   sudah mengumpulkan berbagai data yang bisa dijadikan bukti bahwa tanah tersebut merupakan milik Sudjana. Antara lain, SPPT tanah seluas 4,5 hektare, surat keterangan Kepala Desa Jambu, dan saksi-saksi lain yang menyatakan bahwa tanah tersebut memang milik Sudjana.

 

Selain itu, dari observasi lapangan yang dilakukan oleh LSM SeTAM, diketahui masih terdapat batas lahan Perhutani yang berada di luar lahan milik Sudjana.

 

Petrus Sugeng menambahkan,  telah berkomunikasi dengan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) dan Dewan Kehutanan Nasional (DKN). Kata dia, kedua lembaga tersebut mensupport penuh agar kasus ini diselesaikan.

 

Dalam surat panggilan polisi itu, Sudjana dimintai keterangan sebagai saksi dalam perkara dugaan tindak pidana 'Melakukan Penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak syah' sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 ayat (1) huruf C undang-undang nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.


Editor: Rony Sitanggang

  • Direktur LSM Serikat Tani Mandiri (SeTAM) Cilacap Petrus Sugeng

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!