BERITA

Pasal Penghinaan Presiden Ramai Diprotes, DPR Membela Diri

Pasal Penghinaan Presiden Ramai Diprotes, DPR Membela Diri

KBR, Jakarta - Panitia Kerja (Panja) Revisi KUHP di DPR membela diri terkait banyaknya protes terhadap masuknya pasal penghinaan presiden dalam draf revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Protes bermunculan dari berbagai elemen masyarakat, khususnya dari koalisi masyarakat sipil, karena pasal penghinaan presiden sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu.

Anggota Panja Revisi KUHP DPR, Arsul Sani berdalih pasal yang dimasukkan di RKUHP saat ini berbeda dengan pasal yang dibatalkan MK. Perbedaan itu, kata Arsul, pada klausul bahwa seseorang yang menghina presiden demi kepentingan umum atau dalam konteks membela diri tidak bisa dipidana.

"Ada yang membedakan pasal penghinaan yang sekarang dengan yang sudah dicabut. Pertama, di situ dikasih pagar. Pagarnya adalah: kalau menyampaikan suatu kritik atau ekspresi demi kepentingan umum itu tidak bisa dipidana. Kedua, untuk pembelaan diri. Jadi misalnya dia dimarah-marahi dulu sama presidennya. Ketiga, dalam pasal tersebut akan dijelaskan panjang lebar apa yang termasuk penghinaan," kata Arsul di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (6/2/2018).

Arsul mengatakan sampai saat ini DPR menyetujui rumusan aturan mengenai pasal penghinaan terhadap Kepala Negara di dalam RKUHP. Namun untuk ukuran penghinaa demi kepentingan publik atau pembelaan diri, kata Arsul, akan dibahas lebih lanjut dalam rapat Panja.

DPR telah menyetujui usul pemerintah mengenai pemuatan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam draf Revisi KUHP, pada Senin (5/2/2018) kemarin. 

Baca juga:

DPR menyepakati dua pasal penghinaan Kepala Negara masuk ke dalam KUHP, sedangkan satu pasal lagi mengenai hal tersebut ditunda.

Dua pasal yang disepakati adalah pasal 238 tentang menyerang diri Kepala Negara dan pasal 239 tentang penghinaan di muka umum. Keduanya termasuk dalam delik umum, yang bisa ditindak tanpa pengaduan. 

Namun dua pasal yang disetujui itu masih belum disepakati ancaman pidananya, karena akan ditentukan dengan menggunakan Delphi Model.

Alasan DPR menyetujui pasal itu masuk kembali adalah karena di dalam KUHP juga ada aturan berupa larangan menghina kepada Kepala Negara lain yang berkunjung ke Indonesia. 

"Kok menghina presiden sendiri gak boleh dipidana?" kata Arsul.

Sebelumnya, pada tahun 2006, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, telah membatalkan pasal KUHP mengenai penghinaan terhadap Kepala Negara. 

Keputusan tersebut adalah tindak lanjut dari permohonan uji materi dari Eggi Sudjana. Pasal-pasal yang dibatalkan itu di antaranya pasal 134 dan pasal 136.

Waktu itu, pasal 134 menyebut, penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam pidana paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. 

Sedangkan pasal 136 berbunyi: "Pengertian penghinaan pada pasal 134, jika hal itu dilakukan di luar kehadiran yang terkena penghinaan, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum, dengan perbuatan, lisan atau tulisan, asal di muka lebih dari empat orang, atau di muka orang ketiga yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya dan merasa tersinggung karenanya."

Pemohon uji materi Eggi Sudjana mendalilkan dua pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. Pasal yang dia maksud, menyebut bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi, dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman 

  • penghinaan presiden
  • pasal penghinaan presiden
  • RUU KUHP
  • Revisi UU KUHP
  • revisi KUHP
  • RKUHP
  • KUHP
  • pasal karet RKUHP

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!