HEADLINE

Intolerasi, Wahid Foundation: Trend dari Kekerasan Bergeser ke Kriminalisasi

Intolerasi, Wahid Foundation: Trend dari Kekerasan Bergeser ke Kriminalisasi


KBR, Jakarta- Organisasi pemerhati keberagaman, Wahid Foundation, mencatat ada pergeseran modus tindakan intoleransi terjadi di 2016. Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid mengatakan sepanjang tahun kemarin kriminalisasi dan penyesatan berdasarkan agama dan keyakinan masuk dalam tiga besar tindakan pelanggaran terbanyak yang dilakukan oleh negara maupun nonnegara.

"Tren ini menunjukkan secara umum di lingkungan aktor nonnegara terjadi pergeseran dari penggunaan pendekatan kekerasan fisik ke penggunaan perangkat hukum. Makanya kita lihat banyak sekali tuntutan-tuntutan. Dikit-dikit tuntut, dikit-dikit tuntut," kata Yenny, Selasa (28/2).


Laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Wahid Foundation merilis ada peningkatan 7 persen dari  2015 untuk peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tahun kemarin, ada 204 peristiwa dengan 313 tindakan pelanggaran yang berhasil dicatat organisasi tersebut. Sementara  2015, dilaporkan sebanyak 190 peristiwa dengan 249 tindakan yang terjadi. Angka ini terus meningkat sejak  2014.


Dari 313 tindakan pelanggaran yang terjadi di 2016, jenisnya masih didominasi oleh diskriminasi berdasarkan agama atau keyakinan (36 peristiwa). Namun, angka kriminalisasi dan penyesatan pun jumlahnya tidak bisa diabaikan.


Sebanyak 23 kasus kriminalisasi berdasarkan agama atau keyakinan tercatat dilakukan oleh negara. Di samping itu, ada 28 kriminalisasi yang dilakukan oleh aktor nonnegara seperti organisasi tertentu atau masyarakat.


Untuk aktor nonnegara, FPI disebut paling banyak melakukan tindakan intoleransi. Sepanjang tahun 2016, FPI setidaknya menjadi aktor dalam 10 peristiwa pelarangan aktivitas di sejumlah daerah dan 4 peristiwa intimidasi.


Aktor nonnegara bahkan menjadi pelaku yang paling banyak melakukan penyesatan agama atau keyakinan. Jumlah ini sedikit lebih banyak ketimbang penyesatan yang dilakukan negara sebanyak 22 kasus.


Khusus kriminalisasi, Yenny mengatakan pasal 156a KUHP terkait penodaan agama kerap dijadikan senjata untuk menjerat seseorang ke ranah hukum. Sebagai contoh, pasal  ini menjerat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan Rizieq Syihab. Padahal menurut dia, penggunaan pasal itu berpotensi menyebabkan konflik sosial.

Editor: Rony Sitanggang

"Kita sadar sebagaian besar masyarakat kita malas baca hanya dengar saja. Begitu ada label penodaan agama penistaan agama susah sudah. Banyak masyarakat tidak mengerti kasus apa tapi lihat labelnya sudah terjadi penodaan agama."


Yenny berpendapat kepolisian dan kejaksaan semestinya bisa mengenakan pasal lain selain penodaan agama. Pasal ujaran kebencian dirasa lebih bisa meredam potensi konflik.


Gafatar Banyak Menerima Tindakan Intoleransi di 2016

Kehidupan keberagaman di Indonesia pada tahun 2016 juga dinodai oleh aksi pengusiran dan diskriminasi yang terjadi pada para eks Gerakan Fajar Nusantara(Gafatar). Negara ikut andil dalam intoleransi yang terjadi pada mereka setelah pada Maret 2016, pemerintah mengeluarkan keputusan pelarangan terhadap ajaran ormas Gafatar.


Wahid Foundation melaporkan Gafatar menjadi urutan kedua korban yang paling banyak menerima intoleransi setelah kelompok yang diduga sesat (37 kasus). Ada 28 tindakan intoleransi yang dilakukan negara dan 13 tindakan oleh aktor nonnegara yang terjadi pada Gafatar. Tindakan ini berupa pengusiran dan diskriminasi.


"Tahun ini korban baru yang masuk dalam peringkat tiga terbanyak adalah eks Gafatar. Selain pengusiran mereka juga jadi korban diskriminasi dan penyesatan di sejumlah daerah bahkan pemimpinnya sedang menghadapi proses pengadilan," jelas Yenny.


Akibat kasus Gafatar, Kalimantan Timur menjadi provinsi paling 'panas' kelima di bawah   daerah paling intoleran Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.


Yenny mendesak presiden dan pemerintah pusat untuk meningkatkan jaminan hak beragama dan toleransi dan mengambil langkah nyata untuk menuntaskan kasua yang belum tuntas seperti kasua Ahmadiyah Lombok dan Syiah Sampang. Mereka juga mendesak pemerintah dan DPR mencabut sejumlah peraturan diskriminatif seperti UU PNPS 1965 dan UU Nomor 23 Tahun 2016 tentang administrasi kependudukan terkait aliran kepercayaan.


Editor: Rony Sitanggang

  • Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid
  • Petinggi FPI Rizieq Syihab
  • Gubernur Basuki Tjahaja Purnama

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!