SAGA

[SAGA] Menghapus Sup Sirip Hiu dari Daftar Menu

[SAGA] Menghapus Sup Sirip Hiu dari Daftar Menu

KBR, Jakarta - Di sebuah restoran masakan Cina di Jakarta, Stephen, menghabiskan jamuan Imleknya bersama keluarga. Di atas meja, tersedia berbagai penganan mulai dari mi, pangsit, bebek, ikan, juga semangkuk sup.

Malam itu ia dan keluarganya memilih menyesap sup hiu. “Biasa memang ini. Kumpul-kumpul keluarga, makan besar. (Kenapa hiu?) Em... Kenapa ya? Enggak tahu sih,” jawab Stephen.


Di Indonesia, menu ini bisa ditemukan di banyak tempat. Banyak restoran makanan Cina dari kelas menengah hingga hotel-hotel berbintang menyajikannya. Gideon Eleazar –salah satu staf restoran bintang lima di Jakarta mengatakan, permintaan sajian sup sirip hiu memang tinggi, terutama di acara spesial. Satu porsinya dihargai Rp13 juta.


“Paling pada saat momen-momen spesial mereka. Mungkin ulang tahun pernikahan mereka, atau mungkin acara makan keluarga, saat-saat seperti Imlek kan makan keluarga ya,” ucap Gideon.


Semangkuk sup yang dinikmati Stephen hanya satu dari 73 ribu porsi sup sirip hiu yang dikonsumsi seluruh dunia per tahun. Dia tidak sadar, demi menu bernama sup sirip hiu, 150 jenis hiu di dunia terancam punah akibat over fishing.


Tahun 2015, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau FAO merilis data bahwa ¾ populasi hiu di dunia diburu. Para pemburu menjaring mereka, memotong siripnya, lantas mengembalikannya lagi ke laut. Hiu yang tanpa sirip tak akan mampu mengatur keseimbangan. Setelah dikembalikan, dia akan tenggelam kemudian mati kehabisan darah.


Perburuan ini juga terjadi di Indonesia. Bahkan Indonesia dinyatakan sebagai pemburu hiu nomor 1. 15% dari 73 juta ton permintaan global terhadap sirip hiu ini dipasok oleh Indonesia.


Ini jadi ancaman besar terhadap keberlanjutan ekosistem laut. Coral Triangle Program WWF Indonesia, Wawan Ridwan, menjelaskan hiu merupakan pengendali populasi ikan di laut nomor satu. Dia mampu mendeteksi ikan-ikan yang lemah dan dalam kondisi sakit.


“Pernah dilakukan penelitian secara mendalam di Tazmania. Ketika di Tazmania pada saat itu mengambil hiu dalam jumlah yang tidak terkendali, dan jenis hiu itu adalah makanan di situnya di memakan gurita. Maka populasi gurita menjadi sangat meningkat begitu tajam. Seiring dengan declinenya populasi hiu di Tazmania. Di saat yang bersamaan, baru disadari ternyata lobster hampir hilang dari kawasan itu karena gurita memangsa lobster secara luar biasa,” jelas Wawan Ridwan.  


Jumlah kelahiran hiu memang tak bisa menyusul angka yang mati. Secara alami, Wawan, mengatakan hiu memang tergolong spesies yang lambat dalam hal reproduksi. Sekali beranak, hiu menghasilkan 10 ekor anakan dengan jeda masa beranak antara 2-3 tahun.


“Hiu barangkali salah satu spesies yang relatif lambat perkembangannya. Karena tidak seperti ikan biasa, dia tidak beranak banyak. Tidak seperti tuna misalnya. Oleh karena itu, kita sangat penting untuk melestarikannya,” sambung Wawan.


Ancaman inilah yang kemudian menyita perhatian pemerintah pusat maupun daerah. Tahun 2013, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengimbau agar pengusaha restoran dan hotel di Jakarta berhenti menyajikan hidangan berbahan dasar hiu. Namun perhatian itu berhenti di imbauan. Sementara Perda yang dijanjikan untuk perlindungan hiu hingga kini belum diteken.


Beranjak ke pemerintah pusat, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sampai hari ini baru mengeluarkan larangan ekspor bagi jenis hiu yang dilindungi. Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Nielanto Perbowo, mengatakan KKP sudah menyatakan 9 jenis hiu di Indonesia dilindungi.


“Diatur bagi yang dilindungi semua tidak boleh ekspor. Jenis-jeniskan itu kan banyak. Kita harus pahami juga, bahwa banyak masyarakat kita, orang Indonesia yang menggantungkan hidupnya dari menangkap, berjualan, berdagang ikan hiu,” kata Nielanto Perbowo.


Pernyataan itu dibantah oleh Sunda Banda Sea Scape and Fisheries Leader WWF Indonesia, Imam Musthofa. Data WWF justru menunjukkan bahwa 73 persen tangkapan hiu sebenarnya hanyalah tangkapan kebetulan.


“Kalau nanti penghentian hiu, nelayan jungkir balik gimana? Penelitian kami tidak. Karena 73 persen hiu yang ditangkap itu bukan target, tapi tangkapan sampingan. Pengen nangkap tuna, kemudian ketemu hiu. Basicnya kalau ada yang mau beli mereka bawa, kalau enggak ada ya mereka buang lagi ke lautan,” sanggah Imam Musthofa.


Di antara lemahnya regulasi, muncul upaya-upaya mencari alternatif sajian lain. Ini semua dilakukan demi menghapuskan hiu dari daftar menu.


red

(Pedagang mengangkat ikan hiu dagangannya di Pasar Ikan Bina Usaha, Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Jumat (20/1). ANTARA FOTO)


Si pemburu kini balik diburu. Tidak terkecuali di Indonesia. Setiap tahunnya, belasan ton sirip hiu diperdagangkan. Semua demi semangkuk sup yang dipercaya berkhasiat baik bagi kesehatan.

Di antara bahaya-bahaya itu, muncul berbagai ide untuk mengalihkan perhatian para penikmat sirip hiu. Salah satunya dengan molecular gastronomy –teknik memasak dengan proses kimia dan fisika. Andrian Ishak, koki sekaligus pemilik Namaaz Dining, sudah mencoba melakukannya.


“Satu tahun, dua tahun lalu kita coba recreate tekstur ikan hiu. Kalau menurut saya pribadi, teksturnya juga enggak yang paling hebat. Enggak akan bikin kita wow. Kita bikin berbagai macam alternatif, bukan hanya pakai gelatin. Berbagai macam teknik supaya lebih baik dari sirip ikan hiu,” jelas Andrian Ishak.


Tekstur sirip hiu pun bukan tergolong yang istimewa kata Andrian. Tidak sulit membuat pengganti sirip. “Rasanya ada di supnya. Yang menarik, selain bentuknya kita bikin mirip, kita bikin juga kecil-kecil gitu tapi supnya di dalam siripnya.”


Beragam cara kreatif dilakoni sebagai upaya menghapus sirip hiu dari menu. Dampaknya mulai terasa, WWF mencatat dalam tiga tahun terakhir, tersisa 30 persen restoran dan hotel di Jakarta yang masih menyediakan sup sirip hiu.


Salah satu yang berhasil saya temui adalah Restoran Bandar Jakarta, sebuah restoran sea food di kawasan Jakarta Utara. July, staf Bandar Jakarta, menjelaskan sejak 2009 mereka sudah menyingkirkan hiu dari menu.


“Semenjak 2009 kami dapat imbauan. Imbauan dari Menteri Kelautan dan Perikanan. Semenjak itu kita setop dari seluruh outlet Bandar Jakarta,” kata July.


July mengakui saat itu permintaan pasar terhadap sirip ikan hiu, tinggi. Apalagi menurutnya, sup sirip hiu masuk dalam menu harian yang mereka tawarkan. Pasca imbauan, restorannya mencoba menyiasati dengan mencari pengganti.


“Kita alihkan ke barang yang lain. Karena kita pikir barang prestise. Kita waktu itu mengadakan kepiting Alaska untuk pengganti hiu.”


Mengganti hiu dari daftar sajian menu, bukanlah persoalan besar. Pakar budaya kuliner, Aji Bromokusumo, menyebut sup sirip hiu sudah ribuan tahun jadi saksi sejarah gengsi manusia. Dulunya, sup sirip merupakan kuliner istimewa raja-raja. Kini, orang-orang kaya menyajikannya sebagai penegasan status sosial.


Shark fin ini asalnya dari dapur istana. Baik di Indonesia ataupun Tiongkok sekarang, orang yang kaya, super kaya, ingin menunjukkan prestise, kemampuan finansial, gengsi. Jadi ini loh saya,” jelas Aji Bromokusumo.


Ribuan tahun lalu, hiu sudah dianggap sebagai komoditi eksotis. Budaya Tiongkok mengenal ada delapan bahan pangan yang nilainya disamakan dengan logam mulia karena sulit didapat. Selain hiu, ada teripang, sarang burung walet, ekor rusa, punuk unta, gading gajah, cakar beruang, dan otak monyet.


Keberadaan sirip hiu di meja makan jamuan Imlek sendiri menurut Aji, bukan tidak tergantikan. Secara filosofis, hiu hanya mewakili hewan dari lautan. Keberadaannya bisa digantikan dengan komoditi laut lain.


“Kita ucapkan syukur dalam tradisi Imlek terdiri dari tiga. Yang bisa terbang di udara, di air berenang, jalan di darat. Darat diwakili oleh daging babi, samchan utuh. Yang dari air diwakili ikan, tidak harus shark fin,” sambung Aji.


Dari segi rasa, pakar kuliner William Wongso pun mengatakan sebenarnya sirip hiu ini tidak istimewa. Teksturnya lembut seperti gelatin, tak punya rasa khusus. “Sebenarnya itu hanya kolagen. Yang membuat cita rasanya sirip hiu itu nikmat adalah kaldu yang menunjang sirip hiu itu dan cara memasaknya.”


Kini, bukan tak mungkin menggantikan sirip ikan hiu dengan komoditi lain. Sunda Banda Sea Scape and Fisheries Leader WWF Indonesia, Imam Musthofa, mengatakan memastikan keberlangsungan hidup hiu di lautan adalah sebuah keniscayaan.


“Pemikiran kami sebenarnya daripada dimakan seperti itu, nilainya akan lebih tinggi kalau dia hidup karena untuk kegiatan tourism dan lain-lain. Sebenarnya masyarakat juga enggak masalah kok kalau disetop, logical thinkingnya ya, karena 73 persen itu bukan tangkapan target,” tegas Imam Musthofa.


WWF Indonesia melihat hotel dan restoran menjadi ujung tombak dari perjuangan penyelamatan hiu ini. Mengapa? Menurut Imam, akan lebih efektif memutus rantai perdagangan ini.


“Ketimbang kita ngomong dengan si nelayan yang jumlahnya jutaan di seluruh Indonesia, lebih baik ditutup pasarnya. Kalau pasarnya sudah enggak ada ya, nelayannya pasti enggak akan jual kan. Kalau kena misalnya, dibalikin lagi,” pungkasnya.






Editor: Quinawaty 

  • Sup Sirip Hiu
  • wwf indonesia
  • Imlek
  • restoran sea food

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!