OPINI

Generasi yang Terancam Hilang

Ilustrasi: Papua

Menyimak tragedi gizi buruk dan wabah campak yang menimpa anak-anak Papua belakangan ini seperti membawa kita ke dunia lain di luar Indonesia. Ada 20-an juta orang mengalami krisis pangan dan cobaan penyakit tak berkesudahan di negara-negara dunia ketiga, seperti Somalia, Sudan Selatan. Ratusan ribu orang sekarat hingga meninggal.

Dalam skala lain, itu terjadi di Papua, wilayah yang kaya dengan bahan tambang serta kekayaan alam lainnya. Eksploitasi besar-besaran sumber daya alam di Papua berkelindan dengan perubahan iklim menimbulkan efek berantai yang nyata, termasuk krisis pangan. Sinyal bahaya sudah menyala ketika pada 2009 lalu lebih dari 100 anak di Kabupaten Yahukimo tewas kelaparan dan kena penyakit. Gagal panen menimbulkan kelangkaan pangan hingga berujung pada wabah penyakit seperti malaria dan diare. Belum lagi akses kesehatan sangat selama bertahun-tahun tidak mendapat perhatian serius baik dari pemerintah pusat maupun daerah.

Alarm bahaya itu kembali berbunyi pekan ini. Puluhan anak dan balita di Kabupaten Asmat meninggal karena gizi buruk dan campak.

Papua sudah hidup selama ratusan generasi, dengan segala kearifan lokal dari para leluhur. Pembangunan yang salah dan dipaksakan telah menggerus nilai-nilai ketahanan pangan lokal dan merusak budaya warga Papua mengenai pangan. Sagu dan ubi berubah jadi beras, ladang umbi disulap jadi sawah, kebun sawit hingga karet.

Ini benar-benar kesalahan pemerintah pusat dan daerah yang selama bertahun-tahun tidak menempatkan rakyat Papua secara manusiawi. Dana otonomi khusus lebih dari Rp50 triliun yang dikucurkan sejak 2002 seperti tidak ada bekasnya. Belum lagi pendekatan pembangunan secara militeristik dan kecurigaan selama bertahun-tahun, membuat generasi muda Papua dalam ancaman. 

  • gizi buruk di Papua
  • Yahukimo
  • dana otonomi khusus papua

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!