HEADLINE

Suku Amungme kepada PT Freeport: Penuhi Dulu Tuntutan Pemilik Ulayat

"Suku Amungme menuntut Freeport Indonesia membayar ganti rugi sekitar USD20 miliar atau lebih dari Rp280 triliun rupiah. Mereka mengklaim berhak atas tanah ulayat sekitar 212.000 hektar."

Suku Amungme kepada PT Freeport: Penuhi Dulu Tuntutan Pemilik Ulayat
Aktivitas truk angkutan tambang di kawasan tambang PT Freeport, Papua. (Foto: ANTARA)


KBR, Jakarta - Masyarakat Suku Amungme di Papua meminta PT Freeport Indonesia memenuhi dahulu tuntutan pemilik tanah ulayat sebelum membahas perpanjangan kontrak maupun izin ekspor konsentrat dengan pemerintah Indonesia.

Salah seorang tokoh masyarakat empat wilayah adat Suku Amungme, Markus Bugaleng mengatakan perwakilan Freeport Amerika telah menemuinya dan menjanjikan akan menyelesaikan tuntutan ganti rugi.


"Kami dengar (info soal perpanjangan Freeport) tapi info itu dari kelompok dari Suku Moni, tetangga kami. Tapi kelompok kami Amungme, yang punya hak ulayat di atas Freeport ini belum dapat informasi apa-apa," kata Markus saat dihubungi KBR, Kamis (12/1/2017).


Baca juga:


Tahun lalu, pembahasan antara pemilik tanah ulayat dengan Freeport telah dilakukan setidaknya tiga kali. Awal tahun ini, rencananya pertemuan akan kembali dilakukan.


"Sudah ada tingkat pembicaraan dengan perwakilan masyarakat pemilik ulayat. Tentang bagaimana Freeport menyelesaikan tuntutan masyarakat pemilik gunung. Baru nanti bahas izin lain, kontrak karya dan lainnya, itu terakhir," kata Markus.


Pembahasan mengenai keberlanjutan operasi penambangan PT Freeport di Kabupaten Mimika itu, menurut Markus, difasilitasi Pemerintah Provinsi Papua. Sebelumnya, pada September tahun lalu perwakilan Suku Amungme juga bertemu Staf Khusus Presiden Bidang Papua, Lennis Kogoya untuk mengadukan masalah ini.


Suku Amungme menuntut Freeport Indonesia membayar ganti rugi sekitar USD20 miliar atau lebih dari Rp280 triliun rupiah. Mereka mengklaim berhak atas tanah ulayat sekitar 212.000 hektar yang secara sepihak diakui Freeport Indonesia sejak 1967.


"Kami kan ingin ganti rugi di atas lahan yang mereka nikmati selama 48 tahun. Selama ini sama sekali belum ada, sekarang itu bagaimana supaya hal itu bisa dijawab. Sebelum Freeport menjawab ini, kami tidak mau bicara soal kontrak karya. Kalau Freeport hanya mau menambang tanpa memikirkan warga, maka kami akan tolak," tegas Markus.


Ia pun menegaskan, pemilik tanah ulayat akan tetap menolak keberlanjutan operasi PT Freeport Indonesia apabila tuntutan ganti rugi tak dijawab tahun ini. Tuntutan itu tak seberapa bila dibandingkan kerugian materiil, immateriil, hingga potensi kekayaan alam Papua di dalam perut bumi, yang dikeruk Freeport.


"Ini khusus untuk Amungme, dalam hal ini tiga marga prioritas. Suku Natkime, Magal, Bugaleng."


"Kami mau, terutama tiga marga yang punya tanah ulayat ini, kami mau Freeport lebih serius menjawab keinginan warga apabila mau melanjutkan (pertambangan). Sebelum dijawab, masalah akan terus ada," pungkas Markus.


Rabu 11 Januari 2017 merupakan tenggat berlakunya Surat Persetujuan Ekspor (SPE) terkait izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia. Periode ekspor kali ini lebih singkat lantaran Peraturan Menteri ESDM tentang Peningkatan Nilai Tambah melalui Kegiatan Pengelolaan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri tak lagi berlaku tahun ini.


Presiden telah meneken hasil revisi Peraturan Pemerintah No 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Beleid ini yang menjadi dasar perpanjangan izin ekspor konsentrat (bahan mentah) bagi perusahaan tambang, salah satunya PT Freeport Indonesia.


Baca juga:


Editor: Agus Luqman

 

  • Freeport
  • PT Freeport Indonesia
  • Papua
  • Amungme
  • izin ekspor konsentrat

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!