BERITA

Nukman Luthfie: 'Nyebelin Memang, Tapi Kunci Melawan Hoax itu ya Edukasi, Literasi Media'

Nukman Luthfie: 'Nyebelin Memang, Tapi Kunci Melawan Hoax itu ya Edukasi, Literasi Media'


KBR, Jakarta - Masyarakat Indonesia ternyata sudah lama dan sudah terbiasa menerima informasi atau berita palsu (hoax). Disadari atau tidak, berbagai informasi hoax itu sudah lama menyebar di masyarakat, seperti promosi obat kuat, cara cepat menjadi kaya, hingga hoax mengenai kemampuan seseorang menggandakan uang.

Pengamat internet dan media sosial Nukman Luthfie menilai semestinya masyarakat semakin cerdas dalam menghadapi derasnya berita hoax. Namun nyatanya berita hoax yang ada di dunia maya seperti tidak terbendung mempengaruhi, bahkan mulai terlihat di dunia nyata atau luring (offline).


Nukman menilai hal itu dipengaruhi oleh tingkat literasi (kemampuan memahami dan mendekonstruksi) dari masyarakat yang rendah terhadap informasi, media hingga media sosial.


"Sebenarnya, balik lagi ke soal pendidikan. Pendidikan kita tidak mengajarkan untuk membaca yang benar, membaca yang kritis. Tidak mengajari kita untuk mendekonstruksi konten, dan lain-lain. Dari kecil begitu. Pola pendidikan kita tidak mengajarkan itu. Makanya gampang tertelan sama konten yang tidak keruan," kata Nukman kepada Reporter KBR Agus Luqman.


Berikut wawancara lengkap KBR dengan Nukman Luthfie, salah seorang pengusaha internet marketing terbaik di Indonesia dan pendiri perusahaan platform social commerce Jualio.com:


Bagaimana Anda melihat tingkat kemampuan masyarakat menghadapi informasi atau berita hoax?

Hoax itu sebenarnya sudah ada sejak lama. Kita sudah terbiasa hidup dengan konten-konten hoax. Baik di offline (di luar jaringan internet) maupun online. Mulai dari informasi obat kuat, cara cepat menjadi kaya, kemampuan menggandakan uang dan lain-lain.

Cuma belakangan ini karena terkait pilkada, politik, maka produksi konten palsu itu makin banyak. Ini dipicu politik. Ada yang bermain khusus untuk itu, dengan bayaran tentunya. Tapi hal-hal semacam ini sifatnya musiman. Setelah pilkada ya akan hilang sendiri. Paling tidak menurun.


Masyarakat sebenarnya sejak Pilpres 2014 itu sudah belajar banyak mengenai hal-hal semacam ini. Sehingga mestinya mereka makin pintar membedakan mana hoax, mana informasi yang benar, mana yang ngawur. Tapi, meskipun sudah mulai makin pintar, sekarang faktanya perpecahan itu masih terjadi. Dan makin keras pengaruhnya di masyarakat, yang terlihat di media sosial. Dan mulai muncul efeknya di offline.


Melihat model-model cara-cara penyebaran hoax, dulu belum ada medsos, kemungkinan karena penyebarannya terbatas maka orang kurang begitu merespon. Sekarang ada media sosial. Jadi medsos sangat mempengaruhi perilaku orang sehingga begitu perhatian terhadap hoax?


Literasi publik kita itu rendah untuk literasi informasi, literasi media, dan sekarang lebih rendah lagi di bidang literasi media sosial. Mengapa? Banyak faktor. Pertama, media sosial itu ada beberapa yang cuma kita lihat judulnya doang, seperti di Twitter, atau ada headline-nya seperti di Facebook.


Sebagian dari publik kita itu pulsanya sedikit. Mereka tidak sempat atau tidak mau mengecek isi beritanya. Kalau ada judul yang menurut mereka cocok, soal benar atau tidak itu soal belakang. Mereka share (sebar) dulu. Walaupun belum dibaca isinya. Sudah ada statistik, sekitar 40 persen konten yang beredar di media sosial itu tidak pernah di-klik sama sekali.


Survei termasuk Indonesia?


Itu survei di seluruh dunia, Indonesia masuk di situ. Lalu apa yang terjadi kalau isinya tidak diklik? Yang terjadi, kita tahu sebagian konten hoax itu judulnya bombastis, isinya tidak ada apa-apanya. Atau seringkali judulnya bombastis, isinya berbeda dengan judulnya. Karena pelintiran. Nah, yang membakar emosi itu adalah ketika judul-judul yang nggak bener itu menyebar, kena pada orang yang setuju, lalu mereka ini ikut menyebarkan juga. Penyebaran di medsos itu kan cuma satu klik. Jempol doang. Sett, begitu.


Lebih parah lagi, bagi siapapun yang ternyata ngeklik beritanya, lalu dibaca, belum tentu mereka mengerti isinya. Baca sekali saja belum tentu mereka bisa paham. Belum tentu juga mereka mau nge-cek ke tempat lain, apa benar atau nggak. Seringkali nggak mau cek-ricek. Ya udah langsung sebar saja.


Indikasi bahwa seringkali orang nggak benar membaca isinya adalah, kita bisa perhatikan banyak posting-posting di media sosial yang berasal dari berita, lalu antara isi berita dan komentar orang bisa jauh, tidak nyambung. Orang bisa keliru banget menyimpulkan isi.


Banyak orang yang berkomentar beda itu karena berbeda dalam memahami isi tulisan?


Betul. Itu bisa jadi karena otaknya sudah punya persepsi lain. Sehingga komentarnya pun mengikuti otak dia saja.


(Hasil penelitian dari para ahli komputer di Columbia University dan French National Institute yang diterbitkan Juni 2016 lalu menyebutkan 59 persen link berita yang disebarkan di media sosial tidak benar-benar diklik. Dengan kata lain, kebanyakan orang hanya me-retweet atau menyebarkan tautan berita tanpa pernah membacanya.


Pada Juni 2016 juga, media The Science Post memuat berita sekitar 70 persen orang tidak benar-benar membaca berita tentang artikel sains, kecuali hanya headline saja, sebelum berkomentar atau menyebarkan berita itu. Kebanyakan hanya menyebarkan dan langsung share dengan diberi komentar.


Artikel itu dishare oleh 46 ribu orang. Padahal berita dari The Science Post ini hanya berita satire, dimana berita itu hanya terdiri dari satu alenia saja, sedangkan alenia dibawahnya hanya berupa teks contoh acak 'lorem ipsum' dan seterusnya. Link beritanya disini .)


Kecenderungan media mainstream dalam menyebarkan berita hoax bagaimana?

Media mainstream itu apakah dia membuat konten hoax? Pertanyaannya mungkin begitu. Kalau dia mengikuti standar jurnalistik, mestinya nggak mungkin. Tapi, fakta menunjukkan selama ini media mainstream juga memproduksi konten yang bohong. Banyak itu, coba dianalisa.

Kalau media non-mainstream, media abal-abal yang tidak di bawah Dewan Pers, tidak punya tim redaksi, tidak punya kontak person, mereka ini kalau menulis jauh lebih ngawur. Porsi hoax kebanyakan ya di media abal-abal. Tapi bukan berarti media mainstream nggak.


Media mainstream penyebarannya standar saja. Dia punya akun sendiri, dia broadcast sendiri. Tidak ada pasukan yang menyebarkan. Tapi kalau media abal-abal, dia punya pasukan untuk menyebarkan. Dia punya mesin untuk menyebarkan. Apalagi jika dia mendapat dana dari pihak tertentu, atau mendapat benefit iklan.


Banyak laporan, bahwa tingkat literasi kita, terutama literasi rendah. Apa yang menyebabkan literasi publik di Indonesia tidak kunjung membaik?


Sebenarnya, balik lagi ke soal pendidikan. Pendidikan kita tidak mengajarkan untuk membaca yang benar, membaca yang kritis. Tidak mengajari kita untuk mendekonstruksi konten, dan lain-lain. Dari kecil begitu. Pola pendidikan kita tidak mengajarkan itu. Makanya gampang tertelan sama konten yang tidak keruan. Kalau mau mengatasi ini, kuncinya di pendidikan.

Ini agak menyebelin memang. Tapi kuncinya di pendidikan. Ketika anak kita membaca berita, judulnya saja, dia akan bertanya-tanya nggak? Misalnya membaca berita berjudul 'Bumi itu Datar', anak kita bertanya-tanya nggak? Atau ketika membaca 'Bumi itu Datar', dan gurunya bilang 'ya memang itu datar', anak-anak langsung percaya atau nggak?


Budaya kritis itu tidak muncul. Budaya anak disuruh baca, habis itu disuruh cerita, cocok nggak dengan yang dibaca. Itu juga nggak banyak dilakukan. Hanya sekolah-sekolah tertentu yang melakukan. Tapi pada dasarnya kita disuruh baca doang. Nggak disuruh mempresentasikan lalu ngeyel. Nggak kan?


Ini nyebelin memang. Tapi kunci untuk literasi sosial media adalah pada literasi media. Dan literasi media kuncinya ada di literasi informasi. Basic banget. Nggemesin kan?


(Data Badan PBB untuk Pendidikan Sains dan Kebudayaan UNESCO pada 2012 menyebutkan indeks tingkat baca Indonesia sangat rendah dengan minat baca hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1000 penduduk hanya satu orang yang mau membaca buku dengan serius. Sementara pengguna internet di Indonesia mencapai sekitar 90 juta orang pada 2015.)


Ketika kita ingin memfilter informasi hoax, terutama kepada keluarga, ada tidak cara aplikatif yang bisa diterapkan?


Gini. Saya bukan orang yang pantas ngomong soal pendidikan. Tapi saya biasakan di rumah itu ketika anak membaca lalu kita ajak ngobrol isinya apa. Baca apa saja. Buku yang baru dia beli, komik yang dia baca, film yang dia tonton. Antara yang diterima otak dia sama yang kita kemudian ajak ngobrol, nyambung nggak? Sampai nggak?


Kebiasan ngobrol (dengan anak) itu sekarang sudah mulai memudar. Karena ada TV, orang tua sibuk, sampai di rumah pun sibuk lagi dengan HP masing-masing. Aku di rumah itubikin WhatsApp Group (WAG) khusus untuk anak dan istri, di situ tempat untuk ngobrol.


Bagaimana dengan mereka yang sudah dewasa?

Yang dewasa ya sudah harus dipaksa untuk 'jangan hanya membaca judul untuk mengambil kesimpulan'. Cek dulu isinya. Kalau isinya membuat kamu gemes untuk segera menyebarkan ke siapapun juga, maka cek dulu kebenarannya.


Gemes itu bisa saja kita sebel, atau karena kita seneng. Kalau itu hoax, ya hati-hati, karena itu akan mempengaruhi banyak orang. Pokoknya setiap kali itu bikin kita gatel ingin share, cek dulu! Misalnya 'ini berita kok nyebelin sih', nah jangan-jangan itu berita hoax.


Biasanya kan orang dipengaruhi tingkat kepercayaan pada media atau sumber berita yang bicara itu?


Makanya kalau di dunia online ada namanya influencer. Bisa saja influencer itu orang yang ia percaya, bisa saja media yang ia percaya. Itu pengaruhnya lebih kuat dari iklan. Tapi, bisa saja influencer yang kita percaya itu salah. Bisa saja media yang kita percaya itu keliru.


Jadi, begitu kita gatel ingin nyebarin, baik karena gemes atau seneng, cek dulu. Karena setiap penyebaran yang membuat kita gatal, pasti ada kemungkinan itu hoax.


Apakah ada influencer atau buzzer yang juga cenderung literasinya rendah?

Sama aja, Mas. Jangankan buzzer, orang yang titelnya S3 saja masih begitu. Literasi itu mestinya terkait dengan gelar, tingkat pendidikan. Tapi media sosial itu kan hal yang baru. Kemalasan mengecek berita karena faktor pulsa itu besar. Kemalasan mengecek berita karena judulnya serasi dengan berita, itu terjadi.


Beda sama koran. Kalau koran itu kita tidak cuma baca judul. Pasti dibaca isinya, bahkan sering dibaca tuntas. Kalau online kan nggak? Ada klik ini klik itu. Bahkan sekarang media online itu begini; ada judul yang harus diklik. Begitu diklik tidak terbuka penuh, hanya terbuka sebagian. Ingin baca lagi, harus diklik lagi.


Bahkan beberapa media online sekarang sudah bikin cara lain, bukan cuma satu klik saja, tapi ada halaman satu, halaman dua, halaman tiga. Kalau hanya halaman satu yang dibaca kan yang membaca tidak terima informasi lengkap.


Media online juga ikut membuat orang malas membaca isinya?

Bisa jadi begitu. Tapi intinya pada di orangnya. Maka era sekarang bukan era clikbait (pancingan untuk mengklik berita), tapi share-bait, karena perilaku user berubah. Ada sosial media. Nggak dibaca, share dulu. Itu namanya share-bait.


Pada tanggal 8 Januari akan ada deklarasi Masyarakat Antihoax. Apa kira-kira ini akan efektif?

Setiap ada fenomena publik entah itu hoax atau peristiwa politik, jika ada bagian dari publik yang berpartisipasi untuk memperbaiki harus kita sambut hangat. Soal efektivitas ntar dulu.


Bahwa publik lewat beberapa kelompok mau bekerja untuk memperbaiki situasi, itu harus diacungi jempol. Karena mereka bekerja tanpa bayar. Mereka sukarela. Itu bagus.


Sosial media adalah tempatnya orang berkumpul, ruang publik. Makanya kalau ada yang tergerak untuk ikut menjelaskan soal-soal itu ke publik, harus diacungi jempol. Soal efektif atau nggak, nggak efektif pun nggak penting. Jalan dulu, karena kebaikan itu akan menyebar.


Langkah-langkah pemerintah dalam melawan hoax apakah sudah lihat nyata?

Langkah pemerintah kan soal hukum, penindakan. Selama ini kan ributnya di situ. Makanya membentuk Badan Cyber Nasional, membentuk ini itu. Itu lebih mencegah dan menghukum. Padahal kuncinya di edukasi.


(Pada 3 Januari 2017, Menko Polhukam Wiranto mengatakan pemerintah akan mempercepat pembentukan Badan Cyber Nasional. Badan ini akan memayungi lembaga-lembaga yang terkait dengan kegiatan dunia saiber nasional, seperti di Kementerian Pertahanan, Badan Intelijen Negara dan Kepolisian)

Langkah pemerintah kurang menyentuh substansi?

Kurang menyentuh substansi untuk meningkatkan literasi, iya. Pemerintah hanya fokus pada pencegahan dan penghukuman. Tapi gimana mau mengawasi 90 juta pengguna sosial media di Indonesia? Padahal kalau literasi publik tinggi, yang namanya pencegahan hoax itu otomatis akan terjadi. Tidak perlu sibuk-sibuk bikin Dewan Ciber apa itu.


Belakangan ada yang mempertentangkan media Islam dan media radikal, terkait upaya penertiban pemerintah terhadap media-media seperti itu. Bagaimana Anda melihatnya?

Biar sajalah, pertentangan dari dulu sudah ada. Biarkan saja mereka bertarung informasi. Publik bisa menikmati kok. Kan publik berhak mendapatkan semua informasi yang ia mau. Sepanjang konten itu tidak melanggar hukum, biar saja. Makanya saya suka ada sebagian rakyat yang membuat upaya-upaya pemberantasan hoax. Dalam bentuk perkumpulan bisa, lembaga bisa. Jangan mengandalkan pemerintah doang. Karena pemerintah selalu pendekatannya utamanya hukum dan penindakan. Itu saja. (*)


  • Nukman Luthfie
  • hoax
  • media sosial
  • media mainstream
  • abal-abal

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!