BERITA

Echa: LGBT Juga Manusia, Sama Seperti yang Lain

 Echa, aktivis LGBT dari Violet Grey Aceh (KBR/Foto: Luviana)
Echa, aktivis LGBT dari Violet Grey Aceh (Foto: KBR/Luviana)

KBR, Medan - Siang itu Echa hanya duduk di deretan bangku di belakang. Ia jauh dari ingar-bingar. Ia menyimak cerita tentang tragedi yang terjadi pada para perempuan korban dan penyintas.

Echa tak sendiri, ia merasa bisa berdamai, bertemu dengan kehidupan para perempuan korban di berbagai daerah di Indonesia siang itu. Cerita dari perempuan korban Hak Asasi Manusia (HAM), perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), korban pelecehan dan kekerasan seksual.

Echa adalah aktivis di Lembaga Violet Grey, sebuah lembaga yang menangani kekerasan dan diskriminasi pada para LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) di Aceh. Tak banyak yang seberani Echa, memperjuangkan hak LGBT di Aceh, sebuah wilayah di Indonesia di mana terdapat Peraturan Daerah (Perda) Syariah. Ada hukum yang mengatur cara berpakaian, mengatur jam malam sekaligus mengatur perilaku seseorang.

“Saya berani melakukan ini karena ingin memperjuangkan manusia. LGBT adalah manusia, sama seperti yang lain. Mungkin tak banyak yang bisa merubah kondisi ini, tapi paling tidak kita mengajak orang untuk berhenti mendiskriminasi kami, mulai menghormati sebagai manusia,” ujar Echa, tersenyum kecil.

Lahir dan besar di Aceh, Echa terlahir bernama asli Edy Saputra. Ia menyatakan, ibunya yang selalu mendukungnya atas pilihan-pilihannya, untuk menjadi laki-laki atau perempuan. Dan Echa merasa, keluarga adalah tonggak kuat yang terus menopangnya hingga kini, mendukung pilihannya.

Selepas SMA, ia kemudian masuk ke sebuah lembaga kursus di kota itu. Di sana ia juga belajar modeling. Kini, jadilah ia seorang model di Aceh. Tak hanya itu, ia juga menjadi guru model, mengajar para calon calon model di sana. Ia tahu, tak banyak perusahaan yang mau menerima LGBT seperti dirinya. Echa dan sejumlah LGBT di sana harus bekerja keras untuk ini. Ia melihat peliknya ini, diskriminasi yang mereka alami. Maka bagi Echa penting  menekankan pada LGBT, agar sekolah dan berpendidikan tinggi.

“Saya juga sering melihat izin untuk mendirikan salon bagi transgender saja sulit sekali, padahal pekerjaan teman-teman banyak yang membuka salon dan umumnya masih banyak yang hanya terima nasib. Belum hal lain seperti sulitnya mendapatkan pekerjaan, banyak yang menganggap memang ini yang harus terjadi, karena memang tak mudah dalam kondisi ini. Maka dari situ kami di Violet Grey bergerak untuk melakukan pembelaan ini, memberikan kesadaran bahwa kondisi ini buruk dan kita harus punya solusi atas persoalan ini.”

Sore itu, Echa kembali duduk di dalam ruangan yang disesaki para perempuan korban. Ini adalah hari kedua. Kami bertemu dalam sebuah ”Konferensi Nasional Pemulihan yang mengambil judul: “Memastikan tanggung jawab negara untuk memenuhi hak korban dalam proses pemulihan” yang diadakan Komnas Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Forum Pengada Layanan LSM dan Universitas Sumatera Utara di Medan pada akhir tahun 2015.

Sejak banyak terjadinya diskriminasi pada LGBT di Aceh, maka Echa bersama dua temannya kemudian mendirikan organisasi Violet Grey di 2007 bersama Erik dan Faizal, dua nama terakhir ini adalah sahabatnya yang juga aktivis LGBT. Sudah sembilan tahun mereka mengelola Violet Grey. Di Aceh, LGBT sering disebut sebagai pelaku kriminal, beberapa kali ia dan teman-temannya dipertanyakan, digaruk petugas, dianggap aneh karena berbeda.

Bermula dari diskriminasi yang banyak terjadi pada LGBT pada 2006, terutama pada para waria yang dianggap berdandan seronok dan berbeda, maka diskriminasi dan kekerasan itu sering muncul. Maka kemudian didirikan Violet Grey.

“Tetap saja kami akan terus berjuang dengan kondisi ini, karena ini adalah tanah kelahiran kami. Di sinilah kami berjuang,” Ujar Echa.

Ia tak pernah putus asa. Ia mencintai Aceh seperti ia mencintai kawan-kawannya sesama LGBT yang terus ia perjuangkan.

Dalam forum tersebut, Echa banyak bercerita tentang bagaimana perjuangannya dan teman-teman Violet Grey di Aceh. Sesekali ia juga diundang ke Jakarta, ke beberapa negara sebagai aktivis LGBT. Walau begitu, ia selalu merasa sebagai orang yang beruntung. Ia mempunyai banyak kesempatan dan banyak jaringan yang mendukungnya.

“Masih banyak LGBT yang tidak mempunyai kesempatan ini. Saya mempunyai pekerjaan dan bisa menghasilkan uang, sedangkan banyak teman LGBT yang tidak mempunyai akses seperti  ini,” ujar Echa.

Diskriminasi pada LGBT

Diskriminasi yang terjadi pada LGBT hingga sekarang ini antara lain selain tak mendapat pekerjaan layak, juga sulit mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sejumlah LGBT lain mengeluhkan, mengurus KTP selalu tak mudah, selain sering dilecehkan seperti ditanya: ini perempuan atau laki-laki?, yang lain tentu dipersulit untuk mengurusnya. Padahal mereka membutuhkan KTP untuk meneruskan hidup, mencari pekerjaan yang layak, mengurus asuransi, ke rumah sakit atau sebagai kelengkapan administrasi lain.

Rey  merupakan salah satu aktivis LGBT dari Jakarta yang juga hadir dalam forum tersebut. Selama ini tak banyak anak-anak muda LGBT yang berorganisasi, selain hambatan soal sulitnya untuk terbuka pada masyarakat umumnya, rata-rata mereka masih ragu apakah organisasi yang mereka ikuti bisa menyelesaikan persoalan mereka. Hal ini menandakan belum banyaknya orang yang bisa menerima keberadaan LGBT.

Rey menututkan, organisasi LGBT selama ini tak hanya berjuang untuk isu mereka, namun juga berjuang untuk isu buruh migran dan buruh pabrik. Harapannya, organisasi selalu bisa menjadi jembatan perjuangan. Rey dan Echa berharap, jika banyak LGBT mau berorganisasi dan semua pihak mau mendukung dan bergerak bersama, maka ini akan menjadi sebuah gerakan yang kuat. Itu harapan Echa, juga Rey, di sore yang tetap terik oleh matahari.

Editor: Quinawaty Pasaribu

  • LGBT
  • Lembaga Violet Grey
  • Toleransi
  • petatoleransi_33Sumatera Utara_biru

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!