CERITA

Melihat Kehidupan Bekas Tentara Anak Thailand

Amporn, bekas tentara anak di Thailand. (Foto: Kannikar Petchkaew)

Di seluruh dunia ada puluhan ribu anak yang tergabung dalam kemiliteran dan kelompok pemberontak setiap tahun.

Rentan mengalami kekerasan, pengalaman ini menorehkan luka sangat dalam dan traumatis bagi siapa pun yang terlibat.

Belum lama ini seorang bekas tentara anak dari Thailand mengingat kembali bagaimana kehidupannya di hutan-hutan di sepanjang perbatasan Kamboja pada awal 1950-an.

Koresponden Asia Calling KBR, Kannikar Petchkaew berbincang dengannya dan menyusun kisah ini untuk Anda. 

Ibu Amporn meninggal ketika dia berusia lima tahun. Saat itu, ia bahkan tidak tahu apa itu kematian.

Dalam ingatan yang mulai memudar, ada dua hal yang paling dia ingat – ibunya yang berbau melati dan lagu pengantar tidur yang sering dia nyanyikan.

Ayah Amporn meninggal setahun sebelumnya dan setelah ibunya meninggal, dia tinggal sendirian.

Menjadi yatim piatu membuatnya harus tidur di jalanan Surin, kota perbatasan di timur laut Thailand. Dia bertahan hidup dari mengemis dan mencuri.

Tahun 1951, saat dia berusia 15 tahun, Amporn mencoba untuk melepaskan diri dari rasa malu dan penghinaan.

Ia mengikuti seorang asing yang ia temui di sebuah pasar. Pria itu mengatakan padanya cara agar bisa makan tiga kali sehari.

Amporn pun berakhir sebagai tentara anak di hutan, di perbatasan Thailand-Kamboja.

Dalam keadaan putus asa dan masih berusia muda, dia menemukan dirinya berjuang bersama Kamboja, di upaya terakhir mereka untuk mengalahkan Prancis.

Amporn mengaku terpaksa membuat keputusan itu. “Kami tidak tahu berperang dengan siapa. Kami tidak tahu siapa musuh kami. Tapi saya miskin, saya harus melakukannya untuk bisa bertahan hidup.”

Kini di usia 80 tahun, Amporn adalah salah satu dari sedikit bekas tentara anak yang masih hidup. Pertempuran itu menurutnya benar-benar tidak masuk akal.

“Sebenarnya tidak ada alasan saya pergi berperang. Ini hanya soal kebutuhan, untuk kelangsungan hidup saya. Itu sebabnya saya menjadi tentara anak. Kami pergi berperang hanya untuk mendapatkan uang. Hanya itu,” kata Amporn.

Saat saya bertemu Amporn di Bangkok dia mengaku menangis ketika pertama kali membunuh.

Setelah beberapa waktu, membunuh menjadi bagian hidupnya sehari-hari. Mereka dibayar sekitar Rp 50 ribu untuk satu musuh yang berhasil mereka bunuh.

“Jika kami menyerang seseorang kami bisa dapat seratus atau dua ratus Bath. Hanya itu. Ya kami menyerang orang agar dapat uang. Tapi saya tidak ingat dan tidak mau mengingat berapa banyak korban saya karena itu sangat menyedihkan. Kami membunuh orang yang tidak kami kenal tanpa alasan,” sesal Amporn.

Dalam kesatuan Amporn ada 20 anak lelaki. Mereka berpatroli setiap hari, siang dan malam di sepanjang perbatasan. Mereka membawa senjata dan pisau siap untuk menyerang.

Di luar sana kenyataannya sangat berbeda, kata Amporn. “Karena masih kecil saya tidak kenal rasa takut. Terutama ketika dalam keadaan terluka, keinginan Anda hanyalah membunuh.”

Seperti anjing yang terluka, Ampron meningalkan hutan ketika perang berakhir. Pada usia 17 tahun dia terluka parah, fisik dan mental. Saat ini lengannya tidak bisa digerakkan dengan bebas akibat luka yang diderita di hutan, dan ada dua peluru masih tertanam di perutnya.

Selain rasa sakit fisik, Amporn juga dihantui mimpi buruk dan dipenuhi rasa malu.

“Saya tidak punya harapan. Saya mencoba bunuh diri dua kali. Pertama kali saya mencoba gantung diri, kemudian saya minum insektisida dan tidak sadar selama lima hari,” tutur Amporn.

Belajar dari pengalamannya, Amporn mengatakan anak-anak miskin tanpa bimbingan bisa dengan mudah dibujuk ke dalam mimpi buruk yang sama.

“Anak-anak seperti ini mudah sekali terbujuk untuk terlibat dalam pertempuran. Terutama jika mereka sedang kesusahan, tidak punya makanan dan penghasilan. Jadi masyarakat harus memahami situasi mereka.”

Itu alasan Amporn untuk mendirikan Yayasan Rehabilitasi & Pengembangan Anak dan Keluarga, atau FORDEC. Sebuah organisasi yang bekerja untuk membantu anak-anak miskin di Thailand.

Amporn menggunakan uang pensiunnya untuk mendirikan yayasan, yang memberikan pendidikan bagi ribuan anak yatim piatu dan miskin.

Ketika meninggalkan hutan, Amporn tidak bisa baca tulis. Dia pun berjuang mengatasi traumanya dan berhasil kembali ke sekolah.

Dia kemudian bekerja di perpustakaan Gereja selama beberapa tahun sebelum membuat LSM dan akhirnya memperoleh gelar master.

Pendidikan telah mengubah hidupnya. Karena itu dia berkomitmen untuk membantu orang lain yang membutuhkan.

“Kita harus selalu punya harapan dalam hidup. Bahwa Kegelapan dan terang hadir bersama-sama. Ini adalah filosofi hidup yang harus Anda temukan sendiri dan pendidikan merupakan salah satu cara jika Anda tidak punya uang,” katanya.

Mimpi buruk Amporn mungkin telah berakhir tapi tidak bagi banyak anak lain yang masih berperang di hutan di suatu tempat.

 

  • Kannikar Petchkaew
  • Tentara anak
  • Amporn
  • Perbatasan Thailand Kamboja

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!