ASIACALLING

Mengatasi Trauma Demi Perdamaian Ambon

Ilustrasi konflik agama. Foto: Commons Wikipedia.

17 tahun berlalu sejak konflik SARA di Ambon pecah pada 1999. Konflik ini membuat dua pihak, warga Islam dan Kristen, saling benci. 

Kala kerusuhan pecah, Ronal Regan, baru berusia sembilan tahun. Ia pun menjadi komandan perang bagi puluhan anak. 

Tapi kini kondisinya sudah berubah. Ronal mencoba menyatukan dua pihak yang berseteru lewat komunitas Red Home. 

Kepada Jurnalis KBR, Dian Kurniati, pemuda Ambon ini menceritakan kisahnya.

“Asap di mana-mana, api di mana-mana, dan takbir di mana-mana. Juga gereja ada mengumandangkan nyanyian nyanyian gereja. Itu sangat terdengar jelas dari masuk di tanjung. Tapi yang paling kelihatan asap dan api.”

Itulah yang diingat Ronal Regan, pemuda berusia 26 tahun, ketika pecah konflik di kampung halamannya Ambon pada 1999. Saat itu usianya baru sembilan tahun.  

Konflik Ambon pecah karena persoalan sepele; perkelahian antara seorang sopir dan pemuda pengangguran. Tapi berkembang dan berujung menjadi konflik SARA; Islam versus Kristen.

Di usia yang sangat muda dia menjadi komandan perang - menyiapkan bom untuk menyerang kubu seberang.

Setidaknya ada 23 anak yang dipimpinnya. Tak ada takut secuilpun, kata Ronal. Yang ada hanya kebencian.

”Mohon maaf sebenarnya. Setahun itu, saya sebagai tim penembak, tim pembakar, dan tim pengebom. Ditaruh di beberapa posisi, kami sudah bunuh sekian banyak orang dalam satu tahun itu, tidak hanya setahun, tapi sampai sampai 2004 perang selesai. Kami makan daging dan minum darah manusia. Dan sampai sekarang saya masih ingat orang yang saya bunuh di depan mata saya,” aku Ronal.

Selama empat tahun Ronal bergumul dengan perang. 

Tapi jalan hidupnya berubah ketika bertemu Pendeta Jacky Manuputy pada 2004. 

Saat itu, Pendeta dari Gereja Protestan Maluku (GPM) ini sedang berkeliling lokasi konflik untuk mencari anak-anak yang terlibat perang. Dia ingin mengirim mereka ke pertemuan anak internasional di Filipina. 

“Saat itu saya masih memikul senjata. Saya melihat orang ini, siapa sih? “Saya Pendeta Jacky Manuputty dari GPM, saya mau ambil nyong untuk menjadi sesuatu yang lebih baik dari saat ini”. Ini orang gila kali ya. Lalu beliau katakan, “Mau ke luar negeri atau tidak?” Mau lah, setiap orang mau. Karena saya juga enggak sekolah dua tahun. “Kalau mau, mau tidak menceritakan kamu punya keseharian di Ambon dan Maluku Utara? ”Mau”, katanya.

Di Filipina dia bertemu dengan anak-anak seusianya dari belahan dunia lain - yang seperti dirinya terjebak dalam peperangan. 

Di sana, ia menceritakan tentang apa yang terjadi di kampung halamannya, Ambon. 

“Pas pulang dari Filipina, saya dimasukan dalam organisasi YAP, Young Ambassador for Peace. Di situ, saya ditemukan dengan para jihad mini. Kami ditemukan dalam satu forum. Pertama kali bertemu, macam mau saling bunuh. Padahal, yang orang kristen berpikir bahwa orang muslim jahat itu salah, karena kita tidak pernah bergaul dengan mereka.”

Pulang ke kampung halaman, Ronal menebar perdamaian lewat kesenian ke kampung Kristen dan Islam. Tujuannya menyatukan kedua kubu yang sempat terlibat konflik. 

Tapi awalnya itu bukan hal yang mudah. Ronal yang seorang Kristen harus disembunyikan saat dia masuk ke kampung Muslim. 

Tapi misinya berhasil. Teman-temannya yang Muslim, mau masuk ke pemukiman Kristen --begitu pun sebaliknya. 

Pada tahun sama, dia mendirikan komunitas Red Home atau Rumah Merah.

“Di mana ada pelukis, hip hop, teater, musikalisasi puisi. Dan kenapa dinamakan Red Home, itu karena kalau kita ribut, bom yang datang jemput kita,” jelas Ronal. 

Awalnya, komunitas Red Home hanya beranggotakan sekitar 20 orang. Tapi kini hampir semua pemuda di Ambon jadi anggotanya. 

Salah satu hasil karya mereka ada dalam lagu yang dinyanyikan grup hiphop Molukka, berjudul Puritan. 

  • Dian Kurniati
  • konflik ambon
  • konflik agama
  • Komunitas Red Home

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!