CERITA

Ledakan Ekonomi Sri Lanka Pasca Perang Puluhan Tahun

Pekerja di pabrik tekstil di Sri Lanka. (Foto: Ric Wasserman)

Ada beberapa negara kepulauan yang kondisinya lebih baik untuk pembangunan ekonomi dan sosial daripada Sri Lanka. 

Tapi tak satu pun negara-negara itu yang mengalami perang sipil yang menghancurkan lebih lama dari Sri Lanka.  

Hasilnya, tidak ada wisatawan yang berkunjung ke sana dan hanya ada beberapa investor.  Tapi kini semua berubah. 

Negara itu bahkan punya angka melek huruf dan kesehatan gratis yang tinggi.  

Koresponden Asia Calling KBR, Ric Wasserman menyusun laporannya dari Sri Lanka.

Pantai-pantai di Sri Lanka terkenal sangat indah. Tapi sejak pertengahan 1980-an keindahan ini hanya bisa disaksikan sedikit wisatawan.

Pasca perang yang berkecamuk antara pasukan pemerintah dan Macan Tamil, negara ini secara perlahan meledak dalam bidang sosial dan ekonomi.

Beberapa pihak yang berani berinvestasi yakin kalau suatu hari negara ini akan kembali bangkit. Pada Mei 2009 Macan Tamil berhasil dikalahkan, dan Sri Lanka mulai bangkit. 

Produsen pakaian asal Swedia, Jan Höjman, melihat potensi Sri Lanka. Dia membangun pabrik di awal 90-an saat perang masih berkecamuk.

“Kami mulai beroperasi pada 2004 meski perang masih berlangsung. Tentu saja rasanya sangat tidak aman tapi pada saat yang sama, hubungan dengan pejabat pemerintahan berjalan lancar, terutama dalam hal hukum dan logistic,” kata Jan Höjman.

Jan Höjman pun merasa yakin. Dia tahu negara itu punya penjahit-penjahit terbaik dan tradisi panjang dalam memproduksi pakaian. Dan kemudian, perang berakhir.

“Sejak itu, negara berubah secara dramatis dalam banyak bidang, di banyak daerah. Terutama menyangkut infrastruktur, jalan dll.”

Manajer Nalin Pathirana mengajak kami mengelilingi pabrik, yang dibangun tahun 2006 di Alawwa di utara Sri Lanka.

Laki-laki dan perempuan yang sibuk menjahit, memotong kain, menjahit kancing, dan menyetrika kerah duduk berderet. Proses produksi di sini berbeda dari produksi masal. Di sini 500 pekerja secara individual menjahit pakaian sesuai ukuran tubuh dan preferensi gaya.

Dammika adalah penjahit yang sudah bekerja di sini sejak pabrik dibuka. Ada perbedaan semacam itu sejak perang berakhir, katanya sambil tersenyum lebar. 

Kita bisa pergi kemana pun karena kondisinya sudah aman dan kita tidak perlu merasa takut. Pabrik itu juga membuat program terkait musik, tarian dan pusat penitipan anak anak. Fasilitas penitipan anak menjadi program yang paling banyak disediakan, untuk menarik penjahit lokal yang terampil.

Tapi meski sektor tekstil mengalami lonjakan, industri ini dirundung masalah. Uni Eropa mengeluarkan Sri Lanka dari daftar negara-negara dengan bea masuk gratis. Ini bisa memotong keuntungan dan membatasi investor.

Sri Lanka kehilangan status Uni Eropa ini karena pemerintah menolak penyelidikan PBB soal penyebab kematian 70 ribu warga Tamil dalam pertempuran terakhir.  Sebuah saluran TV Inggris membuat sebuah film dokumenter yang menunjukkan tentara Sri Lanka menembaki tahanan perang Macan Tamil.

Tapi masalah Uni Eropa ini tidak mengganggu Nalin Pathirana. Menurutnya pesanan terus mengalir dan pabrik baru sedang dibangun.

“Itu rencananya. Butuh waktu sekitar tiga tahun untuk menyelesaikan semua pabrik. Pabrik ini bisa menampung 1.200 pekerja ditambah 500 pekerja yang sudah ada di sini,” jelas Nalin Pappadana. 

Bukan hanya sektor tekstil yang berkembang. Penyumbang terbesar perekonomian Sri Lanka saat ini adalah pariwisata. Dalam tiga tahun terakhir terjadi lonjakan kunjungan 40 persen.

Tapi sebagian besar hotel masih belum dikelola secara besar-besaran. Negara ini berutang banyak kepada Tiongkok untuk membangun jalan, pelabuhan dan bandara baru. Untuk membayar utang itu dibutuhkan lebih banyak investor.

Sebuah upacara tradisional menyambut para tamu di hotel mewah pertama Sri Lanka, yang dibuka akhir Desember lalu. Diharapkan penerimaan pajak dari hotel-hotel bintang lima seperti ini akan membantu mengurangi utang pemerintah.

“Menurut saya para investor harus melihat kesempatan yang ada saat ini. Kami berinvestasi sekitar 1,3 triliun rupiah untuk membangun dua resor di sini. Ini adalah investasi besar, komitmen besar bagi perusahaan dan pemilik. Dan menurut saya mereka percaya Sri Lanka adalah tujuan baru,” kata Manajer hotel, Tamir Kobrin. 

Warga Sri Lanka optimis. Dengan tingkat melek huruf mencapai 93 persen, perawatan kesehatan gratis dan pembangunan infrastruktur berjalan baik, kondisi akan membaik. 

Tantangan utamanya adalah memastikan pemerataan pembangunan di utara dan timur negera itu. Itu penting. Jika tidak, warga Tamil akan kembali melawan dan ini akan membuat para investor dan wisatawan kabur.

 

  • Ric Wasserman
  • Ekonomi Sri Lanka
  • Industri Tekstil
  • Industri Pariwisata

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!