ASIACALLING

Tindakan Keras Presiden Turki Terasa Hingga Pakistan

"Sekitar 300 guru dan keluarga mereka sekarang hidup dalam ketakutan akan penculikan dan deportasi paksa."

Para guru asal Turki dan keluarga mereka berdemo menolak dideportasi ke Turki pasca penutupan sekola
Para guru asal Turki dan keluarga mereka berdemo menolak dideportasi ke Turki pasca penutupan sekolah mereka yang termasuk jaringan sekolah pimpinan Fetullah Gülen. (Foto: Naeem Sahoutara)

Setahun lebih pasca Turki diguncang percobaan kudeta, Presiden Recep Tayyip Erdoğan terus melakukan tindakan keras terhadap para pengkritiknya dan masyarakat sipil.

Efeknya dirasakan hingga Pakistan. Sekitar 300 guru dan keluarga mereka sekarang hidup dalam ketakutan akan penculikan dan deportasi paksa.

Kita simak laporan koresponden Asia Calling KBR, Naeem Sahoutara, selengkapnya dari Karachi.

Di Karachi, sebuah keluarga asal Turki bergegas menuju demonstrasi yang berlangsung di akhir pekan.

Di luar kantor Persatuan Jurnalis Karachi, merpati dilepaskan sebagai tanda kedamaian. Dua puluh lima guru asal Turki meminta perlindungan pada Pakistan.

Keluarga-keluarga ini telah tinggal di Pakistan selama lebih dari dua dekade. Mereka adalah pengajar di sebuah jaringan sekolah internasional yang dipimpin Fetullah Gülen, seorang ulama moderat Islam asal Turki yang kini tinggal di Amerika Serikat.

Dalam 16 bulan terakhir, 28 sekolah dan perguruan tinggi Gülen di Pakistan telah ditutup karena tekanan dari pemerintah Turki. Para staf sekolah itu pun terancam dideportasi. 

Gulmez, istri seorang guru, mengatakan untuk kali pertama mereka merasa tidak aman berada di Pakistan.

“Sudah satu tahun ini saya serasa berada dalam kandang. Saya tidak bisa terbang atau bebas pergi keluar rumah,” keluh Gulmez.

Juli tahun lalu, upaya kudeta gagal telah mengirim gelombang kejut ke seantero Turki.

Presiden Recep Tayyip Erdoğan menuduh pelaku kudeta adalah saingannya, Fetullah Gülen dan pengikut gerakan Gülen.

Pasca kudeta, Presiden Erdoğan memperkuat cengkeraman kekuasaannya. Dia menangkap jurnalis, akademisi, dan siapa pun yang dianggapnya sebagai pengkritik.

Sekitar 50 ribu orang telah ditangkap dan sampai sekarang masih ditahan.

“Tuduhan terhadap Fetullah Gülen saat ini berasal dari upaya kudeta gagal di Turki sekitar Juli 2016 lalu. Jurnalis, aktivis, pendidik, dan pekerja media telah diadili atas tuduhan punya kaitan dengan gerakan Fetullah Gülen atau Gullenist. Belum ada bukti yang bisa dipercaya untuk menyebut keterlibatan mereka atas kudeta yang gagal itu,” jelas Saroop Ijaz dari Human Rights Watch Pakistan.

Di puncak kejayaannya, ada sekitar dua ribu sekolah Gülen di seluruh dunia. Mereka mengajarkan ajaran Gülen tentang Islam, yang mempromosikan amal dan pelayanan. 

Tapi seperti yang dikatakan Erdoğan, sekolah-sekolah itu juga digunakan untuk mengumpulkan dana dan pengaruh rivalnya.

Setelah kudeta gagal tahun lalu, Presiden Erdogan menekan pemerintah di seluruh dunia untuk menutup sekolah Gülen dan mendeportasi para stafnya.

Pakistan dengan patuh menutup sekolah-sekolah Gülen. Dan November lalu, atas permintaan pemerintah Turki, 1500 staf Turki dari sekolah itu diperintahkan untuk pulang ke Turki. 

Gulmez mengaku takut akan apa yang menantinya di Turki. “Akan ada semacam interogasi dan mungkin ditangkap karena nama kami ada dalam daftar mereka. Itu seperti yang kami dengar dari kedutaan kami,” katanya.

Para guru telah mengajukan kasus ini ke pengadilan Pakistan. Untuk sementara 78 keluarga tidak jadi dideportasi tapi mereka masih menunggu putusan akhir.

“Karena mereka menempatkan kelompok Gülen dalam satu keranjang meski kami tidak melakukan kekerasan atau terlibat dalam kudeta itu. Mereka menganggap kami semua sama. Di mata mereka bahkan bayi yang baru lahir bisa bersalah,” ujar Gulmez.

Tiga ratus orang dari 78 keluarga asal Turki itu telah terdaftar di Badan Pengungsi PBB. Mereka mendapat suaka selama satu tahun, sampai November 2018. Tapi guru bernama Yilmaz mengatakan mereka tetap terancam.

“Awalnya kami merasa aman di Pakistan. Kami tinggal di sini di bawah payung UNHCR tanpa visa meski menganggur. Tapi pada 27 September lalu ada keluarga diculik dari rumah mereka. Sejak saat itu kami merasa tempat ini sudah tidak aman lagi,” tutur Yilmaz.

Bekas wakil kepala sekolah, Mesut Kacmez, dan keluarganya diduga ditahan oleh badan keamanan Pakistan di kota timur Lahore pada September lalu. Beberapa pekan kemudian, mereka dideportasi ke Turki tanpa persetujuan mereka.

Pengacara dari Human Rights Watch Saroop Ijaz berpendapat Pakistan punya kewajiban untuk melindungi para guru bukannya menuruti tuntutan Presiden Turki.

“Pakistan tidak perlu atau tidak seharusnya mempertaruhkan kredibilitas internasional dan kepatuhannya terhadap kewajiban internasional dengan membantu tujuan politik rezim pemerintah Turki. Menurut saya itu tidak bisa diterima dan melanggar hukum internasional,” jelas Saroop Ijaz.

Di Turki, Presiden Erdoğan menyebut negaranya sebagai tempat harapan bagi orang-orang tertindas di seluruh dunia. Dia menunjukkan bagaimana Turki telah menerima pengungsi Suriah.

Tapi 2000 mil jauhnya di Karachi, Yilmaz tidak sependapat. Menurutnya, dia dan orang lain seperti dia telah menyerah di negaranya sendiri.

“Para keluarga pencari suaka asal Turki menghabiskan hari-hari mereka di rumah. Mereka menunggu bantuan dari UNHCR untuk mengirim mereka ke negara yang lebih aman. Hanya itu keinginan mereka,” harap Yilmaz.

 

  • Naeem Sahoutara
  • Pakistan
  • Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan
  • Penutupan sekolah Gulen
  • Warga Turki di Pakistan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!