ASIACALLING

Perempuan Afghanistan Rela Ambil Resiko Demi Puisi

Afghanistan Nadia Anjuman yang dibunuh suaminya saat buku kumpulan puisinya diterbitkan.  (Puisi dia

Di beberapa tempat di Afghanistan, sekelompok perempuan bertemu di tempat-tempat rahasia. 

Mereka mengeluarkan buku catatan yang disembunyikan dan mulai menulis. Taruhannya: keselamatan pribadi dan anggapan mencoreng kehormatan keluarga.

Di Jalalabad, Afghanistan, koresponden Asia Calling KBR, Mudassar Shah, bertemu sekelompok perempuan Pashtoon yang menyukai puisi. 

Mursal yang berusia 22 tahun sedang membacakan puisinya. Temanya tentang patriotik. Dia dedikakasikan puisi ini untuk kaum muda yang mengorbankan hidupnya bagi Afghanistan saat perang.

Nama Mursal sendiri berarti ‘pembawa pesan’. Dia berharap puisi-puisinya bisa mengakhiri pertumpahan darah.

Meski menulis tentang tema seperti ini, karena dia perempuan, bisa sangat berbahaya. “Saya tidak pernah membagikan puisi saya pada keluarga karena mereka menentangnya,” ungkap Mursal.

Dia membawa buku catatannya seperti membawa barang curian dan berbahaya. Matanya menyembunyikan sesuatu dan penuh ketakutan.

Mursal sudah menulis puisi selama empat tahun. Tapi dia menyimpannya rapat-rapat. Dia mengatakan beberapa tema sangat terlarang.

“Saya menghindari menulis puisi romantis. Masyarakat tidak mendorong perempuan untuk mengeskpresikan cinta meski dalam bentuk puisi. Beberapa penyair perempuan disiksa karena menulis puisi bertema romantis,” kisah Mursal. 

Ketika perempuan Afghanistan menulis tentang cinta, mereka kerap dituduh melakukan perzinahan dan menodai kehormatan seluruh keluarga.

Pada 2005, penyair Afghanistan bernama Nadia Anjuman dibunuh suaminya setelah buku puisi romantisnya diterbitkan.

Para perempuan pun masih kerap ketakutan bila topik tentang kematiannya dibicarakan. Meski begitu, ini tidak membuat mereka berhenti menulis.

Najiba Paktiani, 51 tahun, sudah menulis puisi lebih dari satu dekade. Menurutnya puisi bisa jadi penawar bagi kesulitan hidup.

“Dulu hidup saya kacau balau dan dan penuh kesedihan. Saya pun mulai mengungkapkan kesedihan saya lewat puisi. Itu awalnya saya menulis puisi,” tutur Najiba Paktiani.

Selama berabad-abad, puisi menjadi bagian penting dalam budaya Pashtoon. Dan biasanya diturunkan para perempuan lewat nyanyian ke anak-anak mereka dan di pesta pernikahan.

Tapi Najiba mengaku frustasi karena perempuan diputuskan dari puisi. Bahkan ketika perempuan menulis, mereka dilecehkan, sementara penyair pria dihormati secara luas.

Puisi ini ditulis oleh Toor Paikay yang berusia 24 tahun. Dia menggambarkan bila ada perempuan yang ingin mendapat pendidikan atau ingin membuat keputusan untuk dirinya sendiri akan dianggap sebagai sebuah dosa besar.

Toor adalah penulis yang tekun tapi dia merahasiakan ini dari keluarganya.

“Negara yang tidak aman, kekerasan berbasis gender dan pembunuhan perempuan adalah tema utama yang saya angkat dalam puisi saya. Saya fokus pada isu-isu perempuan karena mereka menghadapi banyak tantangan dan hak mereka jarang diakui. Saya ingin menjadi suara mereka. Saya ingin menyoroti isu-isu perempuan lewat puisi-puisi saya,” kata Toor Paikay.

Puisi dan budaya Pashto penuh puja puji bagi Malali Maiwand. Dia adalah pejuang kemerdekaan perempuan yang melawan penjajahan Inggris tahun 1880.

Meski Malali adalah pahlawan nasional tapi saat ini perempuan di negara itu masih harus berjuang untuk kemerdekaan mereka sendiri.

Di bawah pemerintahan Taliban, dari tahun 1996 hingga 2001, kehidupan publik sepenuhnya tertutup bagi perempuan Afghanistan. Mereka harus tinggal di rumah dan bisa dihukum karena pelanggaran kecil.

Setelah jatuhnya Taliban, perempuan mulai kembali ke masyarakat meski masih menghadapi banyak keterbatasan.

Zar Lakhta Hasini adalah salah satu dari sedikit orang yang beruntung. Dia tengah mempersiapkan buku puisi keduanya untuk diterbitkan.

“Guru sekolah yang mendorong saya saat pertama kali membagikan puisi saya kepada teman-teman. Kemudian keluarga mulai mendukung saya. Mereka membantu untuk menerbitkan puisi saya di koran dan majalah lokal,” jelas Zar Lakhtha Hasini.

Dia mendorong agar hak perempuan untuk menulis bisa dihormati di seluruh negeri.

 

  • Mudassar Shah
  • Afghanistan
  • Penyair Perempuan
  • Penyair Afghanistan
  • Nadia Anjuman
  • puisi perempuan Afghanistan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!