ASIACALLING

Aktivis Timor Leste Raih Penghargaan Karena Suarakan Penghapusan KDRT

Bella Galhos (kiri). (Foto: koleksi Facebook Bella Galhos)

Pada 1975, Timor Leste diserbu dan diduduki militer Indonesia. 

Saat itu Bella Galhos baru berumur tiga tahun. 

Dia menyaksikan keluarga dan teman-temannya terbunuh dan dia sempat dijual seharga 50 ribu rupiah. 

Bella dan negaranya Timor Leste berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan dan membangun kembali negeri itu setelah pendudukan yang kejam. 

Koresponden Asia Calling KBR, Teodosia dos Reis, bertemu dengan Bella Galhos di desa pegunungan Maubisse, Timor-Leste.

Udara pegunungan yang sejuk menyentuh kulit saya. Di depan saya terhampar kebun stroberi yang sangat luas sementara di belakang saya, ada taman besar yang dipenuhi bunga. Saya sedang berada di Green School Leublora, di desa Maubisse, empat jam dari ibu kota Dili.

Bella Galhos membangun sekolah ini tiga tahun lalu. Dia ingin membuat tempat yang bisa membangun masyarakat yang sehat. “Saya ingin menunjukkan pada kaum muda kalau pekerjaan yang bagus itu tidak hanya di kantor tapi juga di kebun,” tutur Bella.

Sekolah itu didirikan untuk mengenang ibunya. “Meski ibu saya sudah meninggal, ini cara saya menghormati dia.”

Ibunya Bella lahir di desa Maubisse.“Saya kembali kemari demi ibu. Waktu dia masih remaja, dia satu-satunya anak perempuan di sekolah,” kisah Bella. 

Kehidupan Bella dan ibunya dulu sangat sulit. Saat dia masih anak-anak, Timor Leste dikuasai militer Indonesia.

Situasinya sangat mengerikan. Pembantaian massal, pemerkosaan, dan pembunuhan di luar proses hukum terjadi di seluruh negeri. Para perempuan disteril dan anak-anak dipisahkan secara paksa dari keluarga mereka.

Saat masih balita, ayah Bella menjual dia ke seorang Kapten Indonesia. Ini melawan kehendak ibunya. “Saat saya berusia tiga tahun, ayah menjual saya. Salah satu alasannya adalah karena dia malu dengan saya karena dia pikir sisi maskulin saya lebih dominan,” ungkap Bella.

Ibunya Bella kemudian memohon agar putrinya kembali dan akhirnya bisa membawanya pulang. Tapi baik Bella maupun ibunya terus diperlakukan dengan kejam oleh ayahnya.

“Ayah saya juga punya istri kedua. Dia melakukan kekerasan fisik kepada kami.” 

Sampai akhirnya sang ibu meninggalkan ayahnya. “Ibu dan ayah saya berpisah saat saya berusia enam tahun. Ibu meninggal tiga tahun lalu.”

Pada usia 16, Bella terlibat dalam perlawanan, berjuang untuk kebebasan dari Indonesia.

Dia pun menyusup masuk ke militer Indonesia dan dikirim ke Kanada. Di sana, dia membelot, dan ingin berbuat sesuatu demi kemerdekaan negaranya.

Dia pulang ke Timor Leste pada 1999, saat negara itu berhasil mendapatkan kemerdekaan. Bella pun bekerja sebagai penasihat di Istana Kepresidenan.

“Saya hanya punya satu tujuan: Perubahan,” tegas Bella.

red

Di sana, dia mengadvokasi hak-hak perempuan dan anak. Dan meski sulit, Bella mulai bicara tentang pengalamannya sendiri. “Saya ingin menceritakan secara terbuka soal apa yang terjadi dalam keluarga saya.”

Hidupnya dipenuhi tindakan kekerasan yang dilakukan militer dan ayahnya sendiri.

“Di Timor Leste, biasanya perempuan mendiamkan kekerasan yang mereka alami karena banyak perempuan tidak mau membuat malu keluarga mereka. Tapi saya ingin mendorong semua perempuan untuk bicara tentang hal-hal buruk yang pernah mereka alami dalam kehidupan keluarga,” kata Bella.

Bella adalah salah satu perempuan Timor Leste yang pertama secara terbuka berbicara tentang kekerasan dalam rumah tangga.

Kembali ke Sekolah Hijau di desa Maubisse, tempat dia menyemai perubahan sosial.

Di negara yang masih belum pulih dari bekas luka pendudukan yang kejam, sekolah itu mencoba memberi para muridnya kesempatan untuk belajar tentang kepemimpinan, prilaku tanpa kekerasan dan lingkungan. 

“Anak-anak sangat penting untuk kita ajarkan, karena mereka adalah generasi baru. Kita harus mengajari mereka untuk mencintai lingkungan dan alam,” kata Bella.

Ada lebih dari 400 anak usia 7 hingga 12 tahun yang bersekolah di sini. Bella pun mendorong para tetangganya untuk membantu di kebun. 

Saat sebagian besar makanan Timor Leste adalah impor, di sini mereka menanam makanan dan bunga sendiri.

Sebagai pengakuan atas kerja kerasnya yang tak kenal lelah untuk membangun kembali negara dan masyarakatnya, Bella Galhos rencananya akan dianugerahi Penghargaan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa dari Dalai Lama.

 

  • Teodosia dos Reis
  • Bella Galhos
  • Sekolah Hijau Leublora
  • Timor Leste
  • Penghargaan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Dalai Lama

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!