ASIACALLING

Sistem Pengadilan India Tidak Berpihak Pada Perempuan

Bhanwari Devi. (Foto: Jasvinder Sehgal)

Bagi perempuan India yang pernah mengalami kekerasan seksual, sangat sulit untuk mengakses pelayanan agar dapat keadilan. Polisi, rumah sakit dan pengadilan kerap mempermalukan dan merendahkan martabat mereka. Keadilan pun jarang berpihak pada perempuan.

Reporter Asia Calling KBR, Jasvinder Sehgal, telah mengangkat isu ini lebih dari tujuh tahun. Untuk episode terakhir kami, dia mengingat kembali apa telah dia saksikan dan mencari tahu seberapa jauh India telah berubah.

Peringatan: Ficer ini mengandung konten yang mungkin mengganggu bagi beberapa pihak.

Sudah tujuh setengah tahun sejak saya pertama kali melaporkan untuk Asia Calling.

Sejak itu, saya sudah bertemu dengan beberapa penyintas kekerasan seksual yang tangguh, yang tidak mau hancur karena pelecehan yang mereka alami. Mereka berjuang mendapat keadilan meski kemungkinannya kecil.

“Saya akan melanjutkan perjuangan apapun hasilnya. Perjuangan saya untuk keadilan adalah bukti ketidakmampuan pemerintah. Saya tidak berjuang untuk diri saya sendiri tapi untuk masyarakat dan semua perempuan,” tutur Devi.

Salah satu perempuan itu adalah Bhanwari Devi. Dia diperkosa secara beramai-ramai pada tahun 1992 saat berkampanye untuk mengakhiri pernikahan anak.

Pada 2013, 20 tahun setelah kejadian itu, dia masih memperjuangkan keadilan ...

“Saya tidak akan mundur. Saya marah dengan cara orang melecehkan dan mengorbankan perempuan India. Saya marah karena pemerintah tidur dan tidak berbuat apa-apa. Menurut saya penjahat itu harus digantung sampai mati,” kata Devi.

Sistem peradilan dan kepolisian India membuat ketidakadilan itu semakin buruk. Mereka  menuduh Bhanwari membuat laporan palsu.

Bhanwari hanyalah salah satu dari segelintir penyintas yang ceritanya ingin saya bagikan kepada pendengar Asia Calling.

Sayangnya, kejahatan ini terlalu sering terjadi. Dan setelah bertahun-tahun mengangkat isu ini, kemajuan India hanya sedikit sekali. Secara nasional, tindakan pemerkosaan meningkat sebesar 12 persen tahun lalu.

Situasi diperparah dengan tingginya angka pernikahan anak.

Berdasarkan hukum India, usia minimum pernikahan adalah 21 tahun untuk pria dan 18 tahun untuk perempuan. Tapi dalam prakteknya sangat berbeda.

Dua puluh persen dari semua gadis di India menikah sebelum berusia 15 tahun.

Dan di negara bagian tempat tinggal saya, Rajasthan, hampir 80 persen anak perempuan menikah di bawah usia 15 tahun.

Bhanwari Kumari, dari daerah kesukuan Banswara di Rajasthan, menikah pada usia 8 tahun.

“Saya menikah dan punya anak di usia yang sangat muda. Lalu suami saya meninggal dan saya sendirian. Saya tidak bisa menyelesaikan sekolah. Saya dalam masalah besar sekarang dan tidak akan bisa hidup sejahtera,” kisah Kumari.

Perasaan putus asa yang dia rasakan juga dirasakan banyak pengantin anak lainnya.

Mencoba mencari solusi, Februari tahun lalu saya mengunjungi Institut Veerni di kota Jodhpur, Rajasthan.

Ini adalah lembaga nirlaba yang mengelola sekolah berasrama dan menawarkan pendidikan untuk pengantin anak dari desa-desa terpencil.

Di sana saya berjumpa Dhapu. 

“Saya menikah saat masih sangat muda. Sekitar tahun 2009. Saat ini usia saya 15 tahun. Saya tidak ingat banyak tentang pernikahan itu tapi saya tahu bahwa suami saya tidak melakukan apapun.”

Hampir dua tahun berlalu, baru-baru ini saya tahu kalau Dhapu telah mencapai kemajuan sejak itu. Dia menduduki peringkat atas di kelasnya di Institut Veerni.

Karena penasaran saya kembali mengunjungi dia di Jodhpur.

Dhapu telah menyelesaikan sekolahnya.

“Saya melanjutkan sekolah dan lulus sekolah seni. Selain itu saya juga belajar komputer. Saya ingat janji saya pada Anda saat itu. Saya akan menghentikan pernikahan anak di negara ini. Saya akan memotivasi anak perempuan untuk mendapat pendidikan dan menolak pernikahan anak,” tekad Dhapu.

Dia juga mengajar gadis-gadis seperti dirinya di Veerni saat dia menyelesaikan sekolahnya.

Terinspirasi oleh perubahan yang saya lihat dalam diri Dhapu, saya pun memutuskan untuk mengunjungi Bhanwari Devi. Saya ingin melihat kondisinya saat ini.

Tapi Bhanwari punya cerita yang sangat berbeda. Dia sudah bertambah tua sejak terakhir kali kami bertemu. Uban telah muncul di rambutnya dan keriput di wajahnya.

Perlakuan buruk yang dialaminya memaksa peradilan untuk memberikan definisi baru tentang pelecehan seksual dan mengenalkan pedoman di tempat kerja untuk melindungi perempuan.

Tapi sekarang, 25 tahun sejak dia diserang dan Bhanwari masih menunggu keputusan pengadilan atas bandingnya.

“Saya belum menyerah. Perjuangan saya masih berlanjut dan akan berlanjut sampai saya mati. Saya senang karena saya, banyak gadis saat ini punya lingkungan kerja yang lebih aman. Dan perempuan mulai berani untuk bicara menentang kejahatan,” kata Devi.

Sistem peradilan India banyak berutang pada perempuan dan masih panjang jalan yang harus ditempuh.

Sebuah laporan yang dikeluarkan Human Rights Watch bulan lalu menunjukkan perempuan yang mengalami kekerasan seksual secara rutin dilecehkan oleh polisi dan diteror agar diam.

Tapi kemauan Bhanwari untuk tetap berjuang dalam menghadapi ketidakadilan terus-menerus, memberi saya harapan.

Kembali ke studio, jam di dinding menunjukkan waktu saya untuk melaporkan para perempuan pemberani itu sudah habis.

Ini adalah program terakhir Asia Calling. Tapi suara orang-orang yang kami hadirkan ke pada para pendengar dan keberanian mereka, akan tetap hidup.

 

  • Jasvinder Sehgal
  • India sanitation
  • Perempuan India
  • kekerasan seksual di India

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!