.
.
.
.
.
.
.

MISTERI
DOKUMEN
MUNIR

#12TAHUNMUNIR












Dua belas tahun, aktivis HAM Munir dibunuh di udara.
Dua belas tahun, kasus ini masih menggantung; tak jelas siapa otak pembunuhnya.
Dua belas tahun, kita menolak lupa.

TAP KESEMBILAN
YANG DILUPAKAN







Sore hari di Istana Merdeka, 23 Juni 2005. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan tersenyum menyalami belasan tamu yang datang. Presiden SBY didampingi sejumlah pejabat negara seperti Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, Juru bicara Presiden Andi Alfian Mallarangeng, Kapolri Dai Bachtiar, Panglima TNI Endriartono Sutarto, dan lain-lain.

Para tamu itu adalah anggota Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Meninggalnya Munir. Tim itu dibentuk Presiden SBY melalui Keputusan PResiden Nomor 111/2004.

Seperti biasa, SBY mempersilakan para jurnalis dan pewarta foto untuk melakukan pemotretan.

"Ini apresiasi yang konkrit dari publik, jurnalis begitu antusias," kata Presiden SBY melihat begitu banyak jurnalis yang hadir memotret pertemuan, seperti diceritakan Usman Hamid, bekas Sekretaris TPF Kasus Munir kepada KBR.

"Waktu itu memang wartawannya cukup ramai," kata Usman.

Setelah mempersilakan anggota TPF duduk, SBY lalu meminta para jurnalis meninggalkan ruangan pertemuan di Istana Merdeka.

TPF sudah betugas enam bulan, sejak 23 Desember 2004 dan berakhir tugasnya 23 Juni 2005. Sehari setelah masa tugas berakhir, mereka menemui Presiden SBY untuk melaporkan hasil kerja mereka.


Laporan setebal 6 cm

Laporan akhir TPF terdiri dari dua berkas, berjudul "Ringkasan Eksekutif Laporan Akhir Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir" setebal 1 cm dan "Laporan Akhir Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Meninggalnya Munir" setebal 6 cm.

"Ada permintaan dari Juru bicara Presiden Andi Mallarangeng, agar dokumen dibuat rangkap tujuh. Lalu juga agar ada bahan khusus untuk Presiden, supaya nanti dalam pertemuan Presiden bisa membaca bahan itu lebih dulu," kata Usman Hamid.

Dokumen-dokumen itu dimasukkan ke dalam box warna putih bertutup hijau.

Dalam pertemuan itu Ketua TPF Brigjen (Pol) Marsudi Hanafi menyampaikan ringkasan laporan TPF, dengan tambahan sana-sini dari Wakil Ketua TPF Asmara Nababan, Sekretaris TPF Usman Hamid dan lain-lain.

Pertemuan berlangsung sekitar satu jam. Setelah itu Ketua TPF Marsudi Hanafi menyerahkan dokumen hasil kerja mereka ke Presien. Lalu dokumen-dokumen salinan diletakkan di atas meja.

"Selang tiga hari kemudian, pada 27 Juni, kami mendengar Presiden sudah mendistribusikan dokumen-dokumen itu ke para pejabat terkait," kata Usman Hamid.




Usman merujuk pada pernyataan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi tiga hari setelah pertemuan. Saat itu Sudi Silalahi mengatakan, "Hari ini laporan TPF sudah didistribusikan ke menteri-menteri terkait untuk dianalisa. Nanti kalau sudah selesai mereka mempelajari baru dibahas bersama-sama dengan Presiden," kata Sudi Silalahi (27/6/2005).

Tepat tiga hari pasca pertemuan, pada 27 Juni, eks Ketua TPF Brigjen (Pol) Marsudi Hanafi diangkat menjadi Ketua Tim Penyidik Kasus Munir di Mabes Polri. Lalu, 9 Agustus 2005, anggota TPF dari Kejaksaan Agung, Domu P Sihite diangkat menjadi Ketua Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan Polycarpus Budihari Prijanto.

TPF sudah menyelesaikan tugasnya sesuai dengan isi Keppres 111/2004 dimana pada penetapan Kedelapan ditulis: "Setelah selesai menjalankan tugasnya Tim melaporkan hasil penyelidikannya kepada Presiden."

Ketetapan berikutnya, Ketetapan Kesembilan berbunyi: "Pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan Tim kepada Masyarakat".

"Sebetulnya setelah TPF menyerahkan laporan ke Presiden, situasi saat itu adalah publik ingin tahu apa yang sebetulnya dihasilkan TPF itu. Pada awal-awal juga kami ada keinginan kuat agar Presiden mengumumkan laporan TPF. Karena itu adalah pertanggungjawaban kami kepada publik, apa yang sudah kami lakukan dan kami hasilkan. Sehingga orang tidak bertanya-tanya, ngapain saja kami selama enam bulan itu," kata Usman Hamid.

Namun laporan itu tidak pernah dibuka ke publik.


Baca di sini: Jejak Kasus Pembunuhan Munir

Penyelidikan kasus Munir kini terhenti. Beberapa rekomendasi TPF sudah ditindaklanjuti aparat penegak hukum, namun ada yang belum.

"Baru 70 persen yang ditindaklanjuti. Masih ada yang belum," kata Usman tanpa menyebutkan rekomendasi yang belum ditindak lanjuti.

Sampai saat ini publik masih bertanya-tanya isi laporan lengkap hasil kerja TPF, meski bocoran-bocoran beredar di media massa.

Ketetapan Kesembilan Keppres No 111/2004 itulah yang kini digugat oleh LSM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS). Menggugat agar laporan TPF diumumkan ke publik.





RUWETNYA MENCARI
DOKUMEN TPF MUNIR







"Ini dokumen rahasia, tapi sebetulnya sudah bukan rahasia lagi. Di internet juga bisa dicari dokumen laporan TPF Munir, kalau mau. Bahkan pernah ada orang Setneg yang minta kepada saya," kata Hendardi.

Pernyataan Hendardi itu disampaikan ketika memberikan kesaksian di depan sidang sengketa informasi di gedung Komisi Informasi Pusat, Jl Abdul Muis No 8 Jakarta, Selasa (2/8/2016).

Dokumen yang dimaksud Hendardi adalah laporan hasil kerja Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib.

Hendardi merupakan salah seorang anggota TPF, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 111/2004 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Berarti informasi itu Bapak punya? Saya asumsikan punya," tanya perwakilan dari Sekretariat Negara.

"Saya kan anggota TPF. Perkara saya kasih atau tidak itu soal lain," jawab Hendardi.

"Andai pemohon meminta ke Bapak, barang itu juga ada?" tanya perwakilan dari Setneg.




"Kami punya aturan. Tidak memberikan dokumen kepada siapapun. Karena yang berhak dan berkewajiban mengumumkan dokumen itu Presiden. Kalau kami berikan itu kepada pihak lain, kami susah juga menuntut Presiden mengumumkan dokumen itu," kata Hendardi.

Sidang pun ramai. Pengacara Kontras keberatan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan perwakilan Sekretariat Negara kepada saksi Hendardi.


Arsip amburadul

Hendardi memberikan kesaksian, terkait sengketa informasi antara Suciwati, istri Munir dengan Sekretariat Negara mengenai keberadaan laporan akhir TPF. Laporan itu tidak diketahui keberadaannya lagi, setelah diserahkan TPF kepada Presiden pada 23 Juni 2005.

Pada 17 Februari 2016, Koordinator Badan Pekerja Kontras Haris Azhar berkirim surat ke Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, Sekretariat Negara RI. Isinya dua permintaan; agar Pemerintah segera mengumumkan secara resmi hasil penyelidikan akhir TPF kasus Munir ke publi.

Selain itu, Kontras juga minta penjelasan mengenai alasan pemerintah tidak kunjung mengumumkan laporan akhir TPF. Padahal, Keppres pembentukan TPF Munir mencantumkan kewajiban pemerintah mengumumkan hasilnya kepada publik.

"Berdasarkan Undang-undang Komisi Informasi pasal 22, lembaga yang diminta memiliki waktu 14 hari kerja untuk memberikan tanggapan secara tertulis," begitu Haris Azhar dari Kontras mengingatkan Sekretariat Negara.

Tidak sampai 14 hari, pada 1 Maret 2016, Sekretariat Negara membalas surat yang isinya singkat: "...bahwa Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kementerian Sekretariat Negara tidak memiliki dan menguasai informasi tersebut." Tidak ada penjelasan mengenai badan publik yang menguasai informasi yang diminta.

Surat itu ditandatangani Asisten Deputi Hubungan Masyarakat, selaku Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), Masrokhan.

Tidak puas dengan jawaban itu, selang sehari kemudian Kontras kembali mengirim surat kepada Sekretariat Negara. Surat itu menyatakan keberatan atas tanggapan Setneg terhadap permintaan informasi tentang dokumen TPF.

Kontras mencantumkan kembali dua hal yang diminta pada surat pertama. Ditambah satu permintaan lagi. "Meminta pemberitahuan Badan Publik yang berwenang dan menguasai informasi yang diminta, jika tidak dikuasai oleh Setneg."

Berdasarkan undang-undang, Setneg harus menanggapi surat Kontras itu dalam waktu 30 hari. Namun, Setneg baru mengirim balasan pada 14 April 2016. Surat itu pun menjawab singkat.

".. bahwa PPID Kementerian Sekretariat Negara tidak memiliki dan menguasai informasi dimaksud, dan tidak mengetahui keberadaan informasi dan Badan Publik yang menguasai informasi dimaksud," begitu bunyi surat balasan surat yang ditandatangani Dadan Wildan, Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan selaku atasan dari Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Kementerian Sekretariat Negara.

Jawaban itu membingungkan Suciwati, istri Munir. Ia bingung dengan sistem administrasi di Sekretariat Negara. Padahal, menurut Suciwati, jelas-jelas Sekretariat Negara termasuk yang mendapat salinan dokumen TPF Munir.

"Itu menunjukkan bagaimana amburadulnya kerja mereka. Lalu kerja mereka selama ini apa? Itu menunjukkan kerja mereka tidak bagus, tidak terorganisir sebagai lembaga negara. Arsip itu harus jelas. Video, foto, dokumen mestinya rapi. Orang saja mau masuk Setneg harus tertib, ini arsip keluar masuk saja kok tidak tertib?" kata Suciwati.




Selang 14 hari kemudian, pada 28 April 2016, Kontras dan istri Munir, Suciwati mendaftarkan gugatan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat. Gugatan itu untuk mendapatkan hak informasi atas hasil penyelidikan TPF Kasus Munir.

Pengacara dari Kontras, Satrio Wiratanu meyakini Sekretariat Negara merupakan lembaga yang bertanggung jawab terhadap urusan administrasi Presiden. Termasuk urusan administrasi dokumen penyelidikan kasus Munir yang sudah dilaporkan anggota TPF kepada Presiden pada 23 Juni 2005.

"Karena itu, dalam gugatan sengketa informasi ke KIP, kita lampirkan juga dokumen-dokumen lain. Selain arsip korespondensi kita dengan Setneg, juga kita lampirkan peraturan perundang-undangan yang menunjukkan kewenangan Setneg di tahun 2005 dan masa sekarang," kata Wiratanu.






BERJUANG
DI KOMISI INFORMASI







Sidang sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat sejauh ini baru meminta keterangan saksi dari Kontras dan perwakilan dari Sekretariat Negara. Dua saksi yang dihadirkan Kontras, Hendardi dan Usman Hamid---keduanya anggota TPF, menyatakan dengan terang bahwa dokumen itu diserahkan kepada Presiden.

"Beberapa hari setelah pertemuan terakhir (23 Juni 2005), Presiden mendistribusikan kepada pejabat terkait. Presiden belum pernah terbuka memaparkan hasil TPF secara utuh, termasuk melalui situs," kata Usman saat bersaksi di sidang KIP.

Dalam persidangan di KIP, perwakilan Sekretariat Negara bersikukuh pada pendiriannya: tidak pernah menerima dokumen TPF.

Kepala Bidang Pengelola Informasi Publik Kementerian Sekretariat Negara Faisal Fahmi mengatakan Setneg hanya menerima laporan terkait administrasi saja, seperti anggaran. Sementara laporan terkait hasil investigasi TPF tidak disimpan Setneg.

"Itu kami enggak tahu ke mana (laporan investigasi TPF)," ujar Faisal kepada wartawan di Gedung Graha PPI, Jakarta Pusat, Selasa (2/8/2016). Pihak internal Setneg juga sudah mencari berkas dokumen TPF, namun tidak menemukannya.

"Kami tidak menemukan itu dokumen fisiknya dari hasil laporan tim TPF tersebut," kata Faisal.

Kebuntuan siapa yang memegang arsip yang diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2005 membuat Kontras dan Suciwati selaku pemohon mengusulkan agar KIP memanggil dan meminta keterangan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, atau bekas Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi.

"Setneg bersikap defensif di sidang. Kalau Setneg pengarsipannya bagus, tentu mudah ditemukan dokumen TPF itu," kata Suciwati kepada KBR.

Permintaan itu pun diakomodasi Panitera Sidang di Komisi Informasi Pusat. Sidang lanjutan yang rencananya digelar 22 Agustus 2016 ditunda dengan alasan untuk menghadirkan saksi-saksi tambahan.

"KIP mau mencoba menghadirkan saksi Marsudi Hanafi (eks Ketua TPF), Yusril dan Sudi Silalahi. Jadi sidang diundur ke 5 September," kata pengacara Kontras, Satrio Wiratanu.

Namun, pada 5 September, sidang kembali ditunda. Bekas Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi batal hadir dengan alasan sakit. "Sudi Silalahi yang sedianya akan memberikan kesaksian ternyata jatuh dari tangga. Jadi sidang ditunda," kata pengacara Kontras lainnya, Yati Andriani.


Target besar

"Meski belum jelas juga, kami tetap semangat. Waktu bertemu Ketua Komisi Informasi Pusat, Pak Abdul Hamid Dipopramono mengatakan kami bisa menggugat kasus ini---kasus yang sama---berkali-kali. Selama kami belum mendapat informasi yang dibutuhkan. Misalnya setelah menggugat Setneg, kami menggugat Presiden atau bekas Presiden," kata Suciwati.

Membuka dokumen TPF Munir ke publik, itulah target besar yang kini dikejar Suciwati dan Kontras. Namun, mereka terkendala dokumen TPF yang hilang, atau dihilangkan.

"Penghilangan dokumen itu kan pidana," kata pengacara Kontras, Satrio Wiratanu.

Jika tidak berhasil menggugat dokumen TPF lewat sengketa informasi dengan Setneg, Kontras sudah menyiapkan skenario.

"Kami bisa menggugat pidana pihak-pihak tertentu dengan alasan menghilangkan dokumen. Kalau melihat alur persidangan di KIP, nanti mungkin ada titik kesimpulan, bahwa berkas itu pernah ada, dan pernah diserahkan tapi keberadaannya hilang. Kalau hilang, di dalam Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik itu kan ada pasal pidana. Kalau menghilangkan dokumen kenegaraan. Kita akan tempuh jalur pidana," kata Satrio Wiratanu.




Rencananya, Kontras akan melaporkan institusi Sekretariat Negara ke aparat penegak hukum. Selanjutnya, Kontras menyerahkan penyelidikan siapa orang-orang yang diduga menghilangkan dokumen tersebut di Sekretariat Negara.

Skenario lain adalah gugatan perdata ke Presiden, yaitu gugatan melawan hukum. "Untuk perdata kan harus dibuktikan adanya tindakan melawan hukum. Apa yang dilawan ya aturan Keppres itu, di ketetapan sembilan, dimana isinya pemerintah mengumumkan laporan TPF ke publik. Kenapa melawan hukum, ya contohnya ya putusan KIP. Gugatan itu, baik perdata maupun pidana bisa dilakukan secara bersamaan. Tidak harus saling menunggu. Tentu mendasarkan pada apa keputusan dari KIP nanti," kata Wiratanu.




KARENA ARSIP
ADALAH
PUSAT INGATAN







Sejak 8 tahun silam pemerintah mengundangkan aturan tentang kearsipan. Undang-Undang No. 43 tahun 2009 yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu merupakan perbaikan dari Undang-Undang No 7 tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan.

Undang-undang yang baru menyatakan arsip sebagai identitas dan jati diri bangsa. Arsip juga berfungsi sebagai pengingat, acuan, dan bahan pertanggungjawaban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena itu Undang-undang menyatakan arsip harus dikelola dan diselamatkan oleh negara.

Pada 17 Februari 2016, Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengirimkan surat kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Sekretariat negara. Surat itu memohon informasi mengenai pengumuman laporan hasil penyelidikan tim pencari fakta (TPF) kasus meninggalnya Munir. Selain itu Kontras meminta pemerintah memberikan alasan belum diumumkannya hasil TPF bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

TPF di akhir masa tugasnya sudah menyerahkan seluruh hasil kerjanya kepada presiden SBY. Alih-alih mendapat informasi yang dibutuhkan, PPID Sekneg membalas surat Kontras itu dengan jawaban pendek; tidak memiliki dan menguasai informasi dimaksud. Tak jelas bundel tebal laporan TPF 11 tahun silam itu berada di mana.

UU Kearsipan mewajibkan setiap lembaga negara baik di pusat dan daerah membentuk unit kearsipan. Mereka wajib menjaga keutuhan, keamanan dan keselamatan arsip. Kata undang-undang paling lambat setahun, mereka wajib memberkas dan melaporkan pada Arsip nasional Republik Indonesia (ANRI).

Jadi aneh sekali bila justru di pusat kekuasaan istana justru malah tak beres mengelola arsip. Peraturan menyebutkan ada sejumlah sanksi berat bagi mereka yang tak beres mengelola arsip. Dari mulai sanksi administrasi ringan teguran tertulis hingga pidana kurungan penjara 10 tahun dan denda hingga 500 juta rupiah.




SUCIWATI:
HARAPAN ADA
DI ANAK MUDA





Pada 28 April 2016, Kontras dan istri Munir, Suciwati mendaftarkan gugatan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat. Gugatan itu untuk mendapatkan hak informasi atas hasil penyelidikan TPF Kasus Munir. Bagaimana Suciwati merawat harapan supaya kasus pembunuhan Munir tetap terungkap? Berikut wawancara Suciwati dalam program Ruang Publik di KBR pada Senin (5/9/2016).


Seperti apa perkembangan kasus Munir sekarang ini?

Hari ini kita sedang melakukan gugatan permintaan informasi publik ke KIP (Komisi Informasi Pusat) kepada setneg agar segera mengumumkan hasil temuan TPF. Tapi mereka katanya tidak menguasai hasil temuan itu, masak dibawa pulang SBY?
 

Ada permintaan untuk memanggil SBY, tapi sampai sekarang belum…

Harusnya bisa! Pihak KIP harusnya bisa memanggil, hadirkan saja SBY dan tanya di mana hasil temuan TPF itu. Dan KIP punya kekuasan untuk memanggil SBY sebagai SBY. Hari ini kabarnya dalam sidang, setneg akan bawa saksi tapi saya belum tahu siapa saksi itu.. (sidang yang semestinya berlangsung Senin 5 September 2016 akhirnya batal – red)


Sudah 12 tahun kasus ini berlalu. Tahun ini, kampanye berjudul Merawat Ingatan. Apa yang mesti kita ingat soal Munir?

Kalau menurut saya pribadi (Munir) sebagai seorang suami dia keren, dia sangat care. Kepeduliannya itu luar biasa, kehangatannya juga bagus. Dan kalau yang sangat tersohor kan keberanian dan kesederhanaanya, dan kecerdasannya pasti. (Contohnya –red ) saya mendengarkan seorang doktor yang luar biasa pintar menjelaskan, saya bingung. Tapi ketika Munir yang menjelaskan saya bisa mengerti, ternyata gampang ya. Dia seorang yang peduli terhadap orang lain.


Peringatan #12TahunMunir dilakukan dengan menonton film-film terkait Munir...

Film-film ini sebenarnya bukan film yang baru, tapi bisa jadi pendidikan buat mereka yang sudah lupa dan ketidaktahuan mereka mengenai sosok Cak Munir. Mengingat Munir bukan berarti tidak ikhlas atas kematiannya tapi mengingatkan anak muda bahwa masih ada orang menyalahgunakan kekuasan dan jangan sampai anak muda menjadi orang seperti itu.


Apa pesan dari kampanye tahun ini?

Pesannya jelas. Kasus-kasus pelanggaran HAM itu terjadi lagi. Jangan ada Munir lagi, dalam artian, (jangan ada lagi yang) dibunuh. Dan pemerintah yang sekarang ini, begitu naik Wapres (Jusuf Kalla) bilang, kasus itu selesai. Jadi selalu, kasus-kasus dan korban pelanggaran HAM hanya jadi komoditi politik karena 3 pemerintah ini tidak pernah soal penegakan hukum dan HAM. 

Buat saya, harapan itu harus dikasih ke anak muda, mereka juga harus tahu bahwa ada sejarah buruk di negara kita, betapa korupsi itu luar biasa, banyak pelaku pelanggar HAM yang justru diangkat jadi pejabat negara. Anak-anak muda ini tumbuhlah seperti Munir dengan nilai kejujuran dan keberanian. Jadi merawat ingatan mengenai sosok Munir itu penting. Anak muda penting untuk tahu siapa itu Munir.


Bagaimana caranya menggandeng lebih banyak anak muda untuk belajar dari Cak Munir?

Banyak sih ya. Supaya tidak lupa, kita bikin aksi Kamisan, ada di Yogyakarta, Bandung, Pekanbaru dan beberapa kota besar lainnya. Bahkan ada sekolah hak asasi manusia yang diminati anak-anak muda. Sering juga ada mahasiswa yang datang ke Omah Munir di Malang. Nobar (nonton bareng) ini juga salah satu caranya.

Seperti apa sosok Cak Munir yang tidak diketahui banyak orang?

Kalau waktu pacaran sih tidak ada romantis-romantisnya… (tertawa). Kami lebih banyak ketemu dia di acara diskusi. Begitu menikah lah baru romantis, lebih-lebih setelah punya anak.

Buat saya, Munir ini berbeda dari laki-laki lain yang saya kenal sebelumnya. Dia orang yang luar biasa, sederhana, total terhadap dampingannya, dan berani. Dia orang yang nggak bisa berhenti untuk membela masyarakat yang tertindas, itu sudah bagian dari napasnya.

Sepertinya hanya saya yang bisa mendampingi dia karena saya bisa mengerti sepak terjangnya, dia nggak mau kalau istrinya meminta dia berhenti. Dia orang yang keren secara lahir batin makanya saya mau menikah dengan dia…


Lihat di sini: Foto-foto Munir dan keluarga




MEREKA
YANG TERSANGKUT





Foto: komnasham.go.id
Pollycarpus Budihari Priyanto
Divonis 14 tahun penjara. Kini bebas.
Foto: Antara
Muchdi Pr
Deputi V/Penggalangan BIN (2001-2005). Namanya disebut TPF sebagai orang yang kemungkinan terlibat dalam permufakatan jahat pembunuhan Munir. Jadi tersangka 2008. Divonis bebas 2008.
Foto: Getty Images
Indra Setiawan
Bekas Direktur Utama PT Garuda Indonesia. Divonis 1 tahun penjara.
Ramelgia Anwar (Vice Presiden Security PT Garuda)
Namanya disebut oleh TPF Munir. Belum pernah jadi tersangka.
Foto: Getty Images
Rohainil Aini (eks Sekretaris Chief Pilot Airbus 330 PT Garuda Indonesia)
Divonis bebas oleh PN Jakarta Pusat pada 2008. Namun dihukum 1 tahun oleh Mahkamah Agung pada 2009.
Foto: Antara
AM Hendropriyono (eks Kepala BIN)
Namanya disebut TPF Munir sebagai orang yang kemungkinan ikut dalam permufakatan jahat pembunuhan Munir. Belum pernah diperiksa.
Kolonel Bambang Irawan (eks anggota BIN)
Namanya disebut TPF. Belum pernah jadi tersangka.



SEPUTAR
TPF MUNIR







Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Meninggalnya Munir dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 111 tahun 2004 yang diteken 23 Desember 2004, Keppres No 6 tahun 2005, dan diperpanjang lewat Kepputusan Presiden No 12 tahun 2005.

TPF bertugas 23 Desember 2004-23 Maret 2005, dan diperpanjang menjadi 23 Juni 2005.

TPF Munir dibentuk sebagai bagian dari isi Keppres No 111/2014 yang berisi 11 ketetapan, yaitu:
1
Membentuk Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir, yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut Tim.
2
TPF (Tim) berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
3
Tim bertugas membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melakukan penyelidikan secara bebas, cermat, adil dan tuntas terhadap peristiwa meninggalnya Saudara Munir, SH.
4
Dalam melaksanakan tugasnya, Tim melakukan hal-hal yang dianggap perlu bagi diperolehnya hasil penyelidikan yang bebas, cermat, adil dan tuntas secara profesional, berdasarkan fakta-fakta yang relevan bagi keperluan penyelidikan.
5
Dalam melaksanakan tugasnya, Tim memperoleh segala bantuan yang diperlukan dari semua instansi Pemerintah Pusat dan instansi Pemerintah Daerah serta pihak-pihak lain yang dipandang perlu.
6
TPF beranggotakan 14 orang.
7
Tim melaksanakan tugasnya dalam waktu 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang untuk terakhir kalinya selama 3 (tiga) bulan berikutnya.
8
Setelah selesai menjalankan tugasnya, Tim melaporkan hasil penyelidikannya kepada Presiden.
9
Pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan Tim kepada masyarakat.
10
Segala biaya untuk melaksanakan tugas Tim dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui Sekretariat Negara.
11
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan (23 Desember 2014).


Anggota TPF Munir adalah 14 orang, yaitu:
  • Brigjen Pol Marsudi Hanafi (Ketua)
  • Asmara Nababan (Wakil Ketua TPF)
  • Bambang Widjojanto (digantikan Amiruddin Al Rahab)
  • Hendardi
  • Usman Hamid (Sekretaris TPF)
  • Munarman
  • Smita Notosusanto (digantikan Tini Hadad)
  • I Putu Kusa (digantikan Domu P Sihite)
  • Kamala Tjandrakirana
  • Nazarudin Bunas
  • Retno LP Marsudi
  • Arif Havas Oegroseno
  • Rachland Nasdik
  • dr. Munim Idris

Kesimpulan dan rekomendasi TPF Kasus Munir (23 Juni 2005)

1
Membentuk tim baru dengan mandat dan kewenangan lebih luas. Tugas mengawal kasus dan mencari bukti di BIN(Badan Intelijen Negara)
2
Memerintahkan Kapolri mengaudit penyidik kasus Munir dan melakukan langkah kongkrit untuk meningkatkan kinerja penyidik
3
Memerintahkan Kapolri menyidik peran Indra Setiawan (Dirut Garuda), Ramelgia Anwar (Vice President Corporate Security Garuda ), AM Hendropriyono (Kepala BIN), Muchdi Purwoprajono (Deputi Penggalangan BIN), dan Bambang Irawan (Agen BIN).

TPF membuat sekitar 5-7 salinan laporan akhir dan menyerahkan ke Presiden. Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi mengatakan salinan itu telah dikirimkan kepada instansi terkait seperti;
  1. Kapolri
  2. Jaksa Agung
  3. Menteri Hukum dan HAM
  4. Panglima TNI
  5. Kepala BIN
  6. Sekretariat Negara/Sekretariat Kabinet
"Hari ini kita harapkan (laporan TPF) sudah didistribusikan. Setelah laporan sudah oke dipelajari, kita kumpul," kata Sudi Silalahi, Senin (27/6/2005).


Reporter
Ade Irmansyah, Randyka Wijaya,
Aika Renata, Asrul Dwi


Editor
Agus Luqman, Ary Rony Sitanggang, Sasmito

Timeline
Malika

Foto
Kontras, Omah Munir, Antara






© 2016 kbr.id