SAGA

[SAGA] Ketika Alien, Astronot, dan Markas Besar, Belajar tentang HAM

[SAGA] Ketika Alien, Astronot, dan Markas Besar, Belajar tentang HAM


KBR, Jakarta - Seorang alien melempar dua buah dadu. Keluar angka empat. Seorang astronot kemudian menjelajahi kotak demi kotak dengan melompat menggunakan satu kaki.

Begitu si astronot sampai, pemilik markas besar, mengajukan sebuah pertanyaan; Apa yang kamu ketahui mengenai Hak Asasi Manusia? Si astronot tak bisa menjawab meski sudah diberi waktu satu menit. Maka gagal lah astronot melaksanakan tugasnya.


Itu adalah permainan konvensional Taplak Gunung yang dimodifikasi seakan berada di angkasa. Dan Angga al Farhan, adalah penemunya.


Lewat atraksi semacam ini, ia ingin anak didiknya di SMA Negeri 5 Depok tak jemu belajar Pendidikan Kewarganegaraan yang didalamnya memuat Hak Asasi Manusia.


“Karena konsep pelajaran ini memberikan pemahaman pada anak seluas-luas mungkin. Bagaimana sih anak memahami tentang HAM? Karena kata kuncinya HAM itu hak yang dimiliki setiap orang. Kalau kasih pelajaran saklek ke anak, otaknya sama saja dikunci. Nggak out of the box. Itu yang menahan pemikiran anak,” kata Angga pada KBR di Gedung Galeri Cipta 2, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.


Belajar HAM memakai Taplak Gunung, spontan muncul. Hanya saja, ide tersebut berangkat dari pengalamannya sebagai murid yang dulu merasa bosan belajar PKn.


“Selama sekolah, PPKN itu jadi pelajaran yang membosankan. Apalagi kalau guru-gurunya bengis-bengis. Padahal tanggungjawab besar moral, sikap, tingkah laku, ada di PPKN.”


Beruntung karena anak didiknya di kelas X SMA Negeri 5 Depok, tak lagi ‘memalingkan wajah’ kalau berhadapan dengan PKn.


“Semakin peraturan itu dimainkan dan terlanggar makin seru. Terus mereka lebih menggali sendiri tentang HAM. Itu yang bikin saya senang jadi guru.”




Kartu Peristiwa


Yang unik, di SMA Madania Bogor, Ari Winarko –yang merupakan guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) memperkenalkan Kartu Peristiwa.


Kepada saya, Ari menunjukkan 12 lembar yang menyerupai kartu pos. Di satu sisi tergambar wajah almarhum Munir Said Thalib, lalu gereja disegel, serta 12 potret orang-orang yang menjadi korban penghilangan paksa.


Sementara di sisi lain kartu, ada penjelasan singkat tentang tokoh ataupun peristiwa tersebut. Kemudian disambung dengan pertanyaan; Apa, Siapa, dan Apakah. Misal, Apa yang menyebabkan terjadinya peristiwa ini? Siapa pihak-pihak yang terlibat? Apakah peristiwa ini telah diselesaikan secara hukum?


“Idenya tadi itu sebenarnya kita kekurangan media untuk PKn. Dan kalau ngomong HAM sejarahnya banyak dan di buku sedikit sekali. Palingan Munir. Nah gimana anak-anak ini tahu dan belajar kasus-kasus itu. Saya membuat kartu belajar ada gambar peristiwa dan di belakangnya ada ceritanya,” jelas Ari.


Dari situlah, murid-murid di kelas X SMA Madania Bogor disorongkan beragam kasus setiap harinya dan dibebaskan menganalisa peristiwa tersebut.


“Bagaimana mereka menggarap isu dengan kerangka berpikir kritis? Oh sudah ada instrumennya, tapi masih begini-begini aja. Jadi ada semacam berpikir untuk bebas beragumentasi. Dan ini diharapkan dalam PKn. Jadi nggak normatif pasal berapa, kalau itu sih mengalami dulu yaa...” sambungnya sambil tertawa.


Hanya saja, khusus untuk G30S, Ari mengaku, belum berani membawanya ke ruang kelas. “Kalau 1965, saya belum berani mengarah ke sana. Apalagi saya guru PKn, jadi kental sekali ideologinya.”


     red

(Komik karta siswa SMA Diponegoro 1 Jakarta, Rita Fauzia)


Komik ‘Di Bawah Bendera Reformasi 1998’


Sementara SMA Diponegoro 1 Jakarta, punya komik berukuran A4 berjudul ‘Di Bawah Bendera Reformasi 1998’.


Komik ini bercerita tentang peristiwa kerusuhan Mei 98, disusul kemudian aksi mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR, hingga berhentinya Soeharto dari kursi presiden. Adalah Rita Fauzia yang menulis narasi komik.


“(1998 itu peristiwanya panjang, bagaimana menarasikan itu?) Saya sebelumnya nonton film dari situ saya coba walalu nggak tahu detailnya karena belum lahir. Saya nggak urutin, kalau sudah jadi, baru diurutkan dari awal sampai akhirnya,” jawab Rita.


“(Tapi kenapa 98 yang dipilih? Dari film yang saya lihat, saya pling suka 98 karena ada kematian kakak-kakak saya yang belum jelas, belum diadili sampai sekarang.”


Remaja tanggung ini, berharap dengan komik, pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) tak lagi membosankan.


“Bisa dibilang yang di kelas tuh, pada bosan pelajaran kayak gini, nggak ada yang nyampe ke otak. Jadi guru mengajarkan terori? Ya Pak Dodo hanya power point, nggak ada video. Jadi kalau PKn nggak ada yang mau.”


Bermacam alat bantu pelajaran Hak Asasi Manusia (HAM) ini digawangi Pamflet –sebuah organisasi anak muda yang bertujuan untuk mengajak lebih banyak anak muda terlibat terlibat dalam aktivisme dan perubahan sosial berdasar nilai-nilai HAM.


Muhammad Hisbullah Amrie dari Pamflet bercerita, proses pemilihan sekolah sudah dimulai sejak  Maret lalu. Dan total ada enam sekolah yang terlibat.


Selain Kartu Peristiwa, Komik, dan Permainan Taplak Gunung, ada juga yang membuat film dokumenter dan film fiksi pendek tentang Rawagede serta Jejak Panjang Budak Belanda Depok.


“Kita sih berharapnya ya itu dipakai meski kita nggak harus. Karena mereka menyesuaikan dengan kurikulum. Kayak soal HAM dipakai pada saat semester genap. Tapi kita juga ingin ada inisiatif bikin dan kita pamerkan. Kalau nanti ada kesempatkan dipamerkan, ya kita pamerkan. Kayak Rekoleksi Memori. Ini disimpan kalau bisa nambah ide baru, ya kita bisa tambah dan masukin website. Diskursusnya tetap jalan,” tutup Amrie.


Lewat kegiatan ini, Pamflet, kata Amrie, hanya ingin anak muda dekat dengan sejarah peristiwa pelanggaran HAM. Dengan begitu, perjuangan para penyintas tak putus meski berbeda generasi.






Editor: Quinawaty 

  • hak asasi manusia
  • pendidikan kewarganegaraan
  • PKn
  • pamflet

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!