SAGA

[SAGA] Menengok Kampung Warna Warni Tanpa Rokok Penas Tanggul

"“Kalau hanya warna-warni sudah banyak, tapi KTR baru di sini saja. Di Jogjakarta, Umbulharjo, enggak warna-warni tapi KTR. Di Kali Code, warna-warni saja, tapi enggak KTR. Nah kami ambil keduanya.""

[SAGA] Menengok Kampung Warna Warni Tanpa Rokok Penas Tanggul
Sumiati, penggagas Kampung Warna-Warni Tanpa Rokok. Foto: Facebook Sumiati.

KBR, Jakarta - Berada di bibir Sungai Cipinang, Kampung Penas Tanggul tampil dengan rupa baru. Tak ada lagi jejak kumuh, bau busuk, atau jorok. Ketika menginjakkan kaki ke kampung yang berada di Kelurahan Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur ini, mata akan disambut dengan rumah-rumah bercat aneka warna.

Tak hanya warna yang menarik perhatian, tapi juga kebersihan kampung ini. Hampir tak ada sampah berserakan di sepanjang jalan, pun sungai yang berhadapan muka. Pepohonan rindang justru berjejer di tepi sungai.


Ini adalah Kampung Warna-Warni Tanpa Rokok Penas Tanggul. Digagas enam warga –salah satunya Sumiati, mereka mencoba mengubah citra kampung jadi lebih baik.


“Kami pengen merapikan kampung ini supaya tidak kumuh. Karena pemprov melihat warga bantaran kali, kumuh. Tiap kali banjir, warga bantaran yang jadi sasaran pemda sebagai penyebab banjir,” ujar Sumiati.


Untuk mewujudkan mimpi itu, Sumiati dan enam warga, melakukan studi banding ke dua lokasi di Jogjakarta untuk melihat konsep kampung warna-warni dan tanpa rokok.


“Lalu 6 orang diajak ke Jogjakarta untuk studi banding kampung warna-warni. Lalu ke Umbulharjo studi banding tentang kampung tanpa rokok. Itu mulai 2-7 Maret 2017.”


Dari situ, Sumiati terpikir untuk menggabungkan dua konsep itu sekaligus. Pasalnya belum ada satupun kampung yang menggunakannya.


“Kalau hanya warna-warni sudah banyak, tapi KTR baru di sini saja. Di Jogjakarta, Umbulharjo, enggak warna-warni tapi KTR. Di Kali Code, warna-warni saja, tapi enggak KTR. Nah kami ambil keduanya warna-warni dan KTR.”


Beranjak dari ide tersebut, Sumiati menyusun strategi. Mulai dari menyebar angket hingga akhirnya deklarasi sebagai Kampung Warna-Warni Tanpa Rokok pada 10 Juni 2017.


Nobby Sail Andi Supu (23), Ketua Karang Taruna Kampung Penas Tanggul, bercerita pemuda setempat ditugaskan membagi-bagikan angket ke seluruh rumah.


“Isi angketnya; mau enggak bebas rokok? Itu intinya. Beberapa hari kemudian angket kami ambil. Hasilnya 100 persen bahwa mereka mau rumahnya bebas rokok. Tidak ada yang enggak setuju,” tutur Nobby.


Menjadikan kampung ini bebas rokok, juga didasari pengalaman warganya sendiri. Sumiati misalnya, karena terpapar asap rokok dari suami dan anaknya, ia harus mengalami sakit paru-paru. Selama sembila bulan, ia harus berobat.


“Di rumah, suami dan anak pertama merokok. Sedangkan rumah di sini ukurannya kecil 3x7 meter. Penghuninya banyak. Saya satu keluarga 7 kepala. Jadi kalau merokok di  dalam rumah, asap ngepul,” kenang Sumiati.  

red


Rumah di kampung ini memang berukuran sederhana dan mayoritas bertingkat dua. Lantai bawah untuk berdagang atau dapur. Sedang lantai atas, digunakan sebagai kamar. Antara satu rumah dengan rumah lain, saling berdempetan. Sementara jarak rumah ke bibir sungai kira-kira 2,5 meter.


Dan semenjak deklarasi 10 Juni lalu, sejumlah aturan diterapkan.


“Perubahan yang paling terasa bapak-bapak tidak merokok di dalam rumah. Yang berhenti juga sudah lumayan, enam orang.”


Kalaupun ada yang membandel merokok di dalam rumah, maka yang berhak menegur adalah anak. Cara ini, menurut Sumiati, lebih ampuh lantaran membuat perokok disanksi secara sosial.


“Sanksinya pun, sanksi sosial. Jadi anak yang menegur; kebakaran… kebakaran… ada asap…” ujar Sumiati sembari tertawa.


Kini, tiap rumah menempel stiker bertuliskan: Kawasan tanpa rokok. Ketua RT Kampung Penas Tanggul, Fathudin, juga mengatakan larangan menyediakan rokok kala pertemuan warga, sudah diberlakukan.


“Warga sudah sepakat untuk tidak membawa rokok ataupun menyediakan rokok. Secara ekonomi, ibu-ibu pasti mendukung. Karena secara keuangan bisa mengurangi lumayan besar. Kalau sebungkus 25 ribu, kalau beli 3 bungkus lumayan besar hematnya,” terang Fathudin.


Pria berusia 46 tahun ini termasuk perokok aktif. Tapi sejak awal tahun, memutuskan berhenti. Begitu pula dengan Harisun. Kuli harian ini bercerita, sudah merokok sejak Sekolah Dasar (SD). Tapi akhirnya insaf.


Ia pun merasakan perbedaan drastis sejak berhenti mengisap tembakau.


“Kalau saya kan kerja kasar, kuli. Jadi napas lebih fresh. Yang jelas buat napas lebih enak ketimbang merokok. Waktu masih merokok, lari pun ngos-ngosan.”


Kembali ke Sumiati. Ia masih punya harapan menjadikan kampungnya betul-betul bebas rokok. Sebab kesehatan warganya lebih mahal ketimbang sebungkus rokok.


“Rencana untuk ke depannya ada. Kami mau buat tempat khusus untuk merokok. Kami ingin benar-benar menerapkan KTR,” kata Sumiati berharap.





Editor: Quinawaty

 

  • kampung tanpa rokok
  • Cipinang
  • kampung KTR
  • Rokok
  • penas tanggul

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!