SAGA

[SAGA] Petani Teluk Jambe, Enjam Narya: Tuntutan Petani Harus Punya Tanah Lagi

[SAGA] Petani Teluk Jambe, Enjam Narya: Tuntutan Petani Harus Punya Tanah Lagi



KBR, Jakarta - "Kerasa bak buk bak buk begitu saya jatuh. Pada mukul kepala, pinggang, berapanya nggak kebilang. Di kepala, badan, pinggang, sampai  betis. Nggak tahu berapa orang di belakang saya, pas jatuh dipukul lagi pakai sendal. Lalu saya jatuh dan dipukul pakai kayu. Pinggang saya terasa sakit. Terus saya dibawa ke rumah sakit untuk berobat," ungkap Enjam Narya pada kejadian yang menimpa desanya 11 Oktober lalu.

Badan Enjam babak belur dihajar preman perusahaan PT Pertiwi Lestari. Lelaki berusia 46 tahun ini mengalami luka paling parah di antara lima warga yang terlibat bentrok itu hari.


Baku hantam itu pecah dipicu aksi perusahaan yang seenaknya merusak lahan garapan warga di Desa Cisadang, Wanajaya, Kecamatan Teluk Jambe Barat, Karawang.


Asmur –warga setempat, menyaksikan sendiri bagaimana bulldozer merangsek masuk ke kebun dan menggilas satu persatu tanaman mereka.


“Waktu hari Minggu tanggal 9, masuk bulldozer dan backhoe. Lalu sama sekuriti-sekuriti diobrak abrik lahannya pak Ulung, kayu segede-gede ini langsung dihajar,” ujar Asmur.


“Hari Senin tanggal 10, ngehajar lahan garapan kebun-kebun yang punya pak Ideng, kebon singkong, dihajar habis, terus kebun mangga yang punya pak Irsyad kira satu hektaran dihajar. Saat itu agak ditahan sama ibu RT kita yang di Cisadang, ibu RT kita malah dipukul, ditendang,” lanjutnya.


“Pas hari Selasa tanggal 11, datang lagi bawa security-security-nya lebih banyak, di belakangnya ada Brimob. Langsung ada lagi yang ngehajar garapan kebon jeruk, kornis, kayu, tanaman masyarakat, langsung dihajar. Lalu di situ bentrok nggak bisa dikendali lagi,” sambung Asmur.


Tak pelak, lahan Enjam Narya, ikut jadi sasaran amuk bulldozer. Tak terima melihat hasil kerja kerasnya diobrak-abik begitu saja, Enjam dan warga lainnya berusaha menghalangi. Tapi, yang terjadi justru bentrok.


Seteru sengketa lahan di Teluk Jambe, sudah 26 tahun tak kunjung tuntas. Beragam aksi warga demi mempertahankan lahannya, sudah pernah dilakoni. Mulai dari memblokir ruas jalan tol Jakarta- Cikampek pada 2013 lalu, hingga mengajukan gugatan hukum ke Mahkamah Agung dan menang.


Aksi blokir sengaja dilakukan agar mendapat perhatian pemerintah. Hingga kejadian kekerasan kesekian kalinya itu, terjadi. Dan ratusan warga Teluk Jambe, memilih mengungsi ke Jakarta; menyelamatkan diri.


Di kantor Serikat Tani Nasional, Jakarta Selatan, Asmur dan 200-an warga tiga desa di Teluk Jambe Barat, tak membawa apapun. Saat KBR kesana, Asmur tengah duduk-duduk santai berbincang dengan sesama warga. Melepas lelah sehabis kerja bakti.


“Tadi nyapu-nyapu di pinggir-pinggir jalan, banyak rumput. Tangan sudah nggak kerja, jadi pegel-pegel. Kan biasanya kerja tani, kerja keras. Kalau orang tani cuma makan tidur, makan tidur, kayaknya badan nggak enak. Sudah biasa kerja keras, banting tulang, mikul ini, mikul itu, kayu bakar,” ujar Asmur.


Sementara di dapur kantor, para ibu sibuk memasak menu makan siang; nasi, sayur, dengan lauk pauk berupa tahu-tempe. Sedang anak-anak, sebagian bermain di luar, tapi ada juga yang selonjoran bersama orangtua mereka.


Di sini, mereka berencana menyambangi Komnas HAM, Kementerian Agraria dan Istana Negara. Sebab, mengandalkan pemerintah daerah, sudah mustahil. Pemda, kata Asmur, berpihak pada perusahaan. Warga pun –yang telah puluhan tahun hidup di sana, menolak mentah-mentah tawaran uang kerohiman 30 juta dari perusahaan.


“Ditawari 30 juta, kalau cuma 30 juta ngebongkar rumah saya aja, kayaknya nyampai berdiri lagi, kayaknya nggak cukup. Apalagi nggak punya tanah. Sementara sekarang tanah paling murah di daerah Karawang, di pinggirian ini 500 ribu. Ibaratnya kalau 100 meter aja sudah 50 juta. Daripada saya dikasih 30 juta, mending ditembak di tempat,” ungkap Asmur.


Asmur dan Enjam serta ratusan petani lainnya hanya mau pindah jika diberi pengganti yang setimpal; tanah!


“Tuntutan warga ya mintanya tanah sertifikat buat masyarakat. Nggak digusur, tempat yang layak lah. Ada buat nanam padi atau pisang. Orang tani kan, harus punya tanah lagi,” harap Enjam.


Mati Suri Desa Wanajaya


Desa Wanajaya, Kecamatan Teluk Jambe Barat, Karawang, seperti mati suri. Ketika saya ke sana, yang terlihat hanya puing-puing bangunan, rumah-rumah tak berpenghuni dengan perabot yang masih tertata rapi nan terkunci. Kabel listrik dibiarkan terjuntai, sebagian lagi putus dan terserak di jalanan.

Seperti namanya; Wanajaya yang berarti hutan yang jaya, desa itu terletak di dataran tinggi sebelah barat Karawang. Untuk sampai ke sini tak mudah. Jalanannya menukik dan berbatu.


Di desa ini pula, mayoritas penduduknya adalah petani. Tapi, kondisi porak-poranda yang ada di depan mata saya, mengamini aksi kekerasan yang menimpa para warganya pada 11 Oktober lalu.


Pagi itu, warga bentrok dengan preman PT Pertiwi Lestari lantaran perusahaan seenaknya merusak lahan garapan warga. Dimana bulldozer merangsek masuk ke kebun dan menggilas satu persatu tanaman mereka.


Suasana mencekam itu, masih terasa kala saya ke Desa Wanajaya, Rabu pekan lalu. Sekuriti PT Pertiwi Lestari –berbadan besar, berkaos hitam dengan membawa kayu dan bambu berjaga di sana. Mereka menatap garang orang luar yang masuk. Bahkan, tenda brimob tegak berdiri. Sekira sepuluh anggota tengah beristirahat.


Dari sekitar 20 lebih keluarga, hanya tinggal lima keluarga yang masih bertahan di desa itu. Rata-rata mereka adalah orang tua, salah satunya Mbah Sahim. Dengan wajah ketakutan, pria sepuh ini, bercerita tentang keresahannya.


Sepasang suami istri Jaiman dan Saiah, juga diliputi ketakutan. “Tapi nggak kenapa-kenapa kan? Nggak dibawa emak? Takut, saya menangis, kepala saya sakit,” ucap Saiah sambil merintih kesakitan.


Jaiman mengaku, dahulu ia membeli lahan di Teluk Jambe seluas satu hektar dari seseorang bernama Robby. Bukti transaksi jual-beli itu hanya berupa kuitansi.


Tapi kini, tanahnya diserobot perusahaan. Tak cukup di situ, menantunya kini mendekam di bui karena tuduhan penganiayaan.


"Dulu saya di Ciptagalih, kaya gini juga diusir. Tapi kemarin menantu saya ribut-ribut, padahal dia tidak ikut," kata Jaiman.


Jaiman sekeluarga, bersedia menyingkir, asal menantunya dibebaskan dan mendapat ganti rugi yang setimpal. Sementara itu, PT Pertiwi Lestari melalui juru bicaranya, Maryadi, menyanggah adanya intimidasi dan pengusiran pada warga setempat.


Perusahaan, kata dia, memberikan uang tali kasih sebesar Rp30 juta dan juga rumah semi permanen sebagai pengganti di Desa Wanajaya. Namun dia mengakui, lokasinya jauh.


“Kita kasih uang ganti rugi per rumah 30 juta. Kalau mau diantar dan rumah dibongkar kita sediakan jasa bongkar dan jasa antar. Kalau mau rumah relokasi juga kita kasih. Kita persilakan warga kalau malam mau masuk lihat ternaknya atau rumahnya,” tutur Maryadi.


PT Pertiwi Lestari juga, ia klaim berhak atas lahan seluas 791 hektar tersebut –yang mana Desa Wanajaya, Margamulya dan Margakaya, masuk di dalamnya.


Bukti kepemilikan itu, berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang diperoleh sejak tahun 1998.


Lahan itu, kata Maryadi, nantinya diperuntukkan untuk kawasan industri. Dia mengklaim 43 persen di tiga desa sudah menerima uang tali kasih tersebut.


“Untuk hari ini kerohiman masih jalan, saya sarankan masyarakat yang ingin keluar dengan cara baik ikut cara kami atau bisa menempati tempat yang sudah kami siapkan,” sambungnya.


Tapi Sekretaris Jenderal Serikat Petani Karawang (SEPETAK), Engkos Koswara, membantah klaim perusahaan. Petani yang menerima uang itu, adalah mereka yang dibina perusahaan, bukan yang termasuk dalam SEPETAK.


“Jadi yang dihadirkan itu petani bukan atas nama organisasinya, petani ini adalah petani yang dibina oleh Pertiwi Lestari. Tapi itu pun cuma beberapa gelintir orang, mereka memang difasilitasi betul. Inikan dijadikan klaim mereka,” klaim Engkos.





Editor: Quinawaty Pasaribu

 

  • desa wanajaya
  • teluk jambe barat
  • karawang
  • PT Pertiwi Lestari
  • SEPETAK

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!