SAGA

[SAGA] Ketika Pelajaran Penghayat Kepercayaan Terganjal Anggaran

"Anak-anak penghayat di Cilacap, Jawa Tengah, kini tak lagi merasa ditelantarkan. Sebab sekarang, beberapa sekolah sudah menyiapkan seorang pengajar"

[SAGA] Ketika Pelajaran Penghayat Kepercayaan Terganjal Anggaran
Samino, guru penghayat kepercayaan mengajar satu siswanya dari kelas VII SMP Negeri 03 Gandrungmangu, Syahsabila Azzahra. Foto: Muhammad Ridlo/KBR



KBR, Cilacap - Samino bergegas memacu sepeda motornya dari SD Negeri 04 Karanganyar menuju SMP Negeri 03 Gandrungmangu. Pasalnya, Jumat siang itu, ia mesti mengisi pelajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di sekolah menengah pertama yang berada di pelosok Cilacap bagian barat tersebut. Pelajaran itu ditujukan pada empat siswa penghayat kepercayaan.

Tapi begitu sampai, Samino hanya menemukan satu siswanya dari kelas VII; Syahsabila Azzahra. Sementara tiga lainnya, keburu pulang. Keduanya lalu berjalan menuju ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS). Ini karena pihak sekolah tak menyediakan kelas untuk pelajaran penghayat.


Samino membuka pertemuan itu dengan mengemukakan pelajaran dasar Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Semisal pengenalan ucapan ‘salam’ dan rumah ibadah penghayat kepercayaan –seperti sanggar, pasemuan, dan padepokan.


Syahsabila Azzahra --biasa disapa Dela juga diajari mengenal rumah ibadah agama lain; masjid, gereja, dan klenteng. Hingga 45 menit berlalu, pelajaran penghayat kepercayaan pun selesai.


Dela –pelajar berusia 13 tahun ini berkerudung. Ketika disambangi KBR, ia bercerita tentang kesehariannya di sekolah. Beruntung, karena ia tak pernah diperlakukan berbeda. “Nggak ada yang mencibir. Keseharian ya biasa. Bermain. Tidak ada yang malu-maluin atau mencibir,” ujar Dela.


Dengan malu-malu, ia juga mengatakan, inilah kali pertama mengikuti pelajaran penghayat kepercayaan. “Kepingin sendiri karena belum pernah mendapat pendidikan kepercayaan. Baru kali ini ikut pendidikan kepercayaan.”


Sementara sang guru, Samino mengaku, mengajar jadi pengalaman pertamanya. Sehari-hari, pria lulusan sekolah kesenian ini berkegiatan di sanggarnya di Desa Kubangkangkung, Kecamatan Kawunganten, Cilacap. Dengan begitu, saban Jumat, Samino harus bolak-balik sanggar-sekolah sejauh 30 kilometer.


Ia pun dipercaya mengajar di dua sekolah; SDN 4 Karanganyar dan SMPN 3 Gandrungmangu. Sayang karena di sebuah sekolah dasar, satu siswanya yang duduk di kelas 3 tak mau mengikuti pelajaran penghayat. Bagi Samino, penolakan itu adalah hal biasa. “Kemarin saya ketemu langsung dengan orangtuanya. Jumat minggu depan saya sudah bisa memberi kepastian jawaban, memberi berita terkait Dony Ardiansyah,” kata Samino.


Mulanya, hampir semua sekolah menolak pelajaran penghayat kepercayaan, termasuk SMPN 3 Gandrungmangu. Penolakan itu diakui Wakil Kepala Sekolahnya, Sudiyanto. Kata dia, awalnya pihak sekolah tak tahu kalau pelajaran kepercayaan telah disahkan Kementerian Pendidikan agar masuk kurikulum, Juli lalu itu.


“Nah itu, kami belum tahu. Cuma bapak kepala sekolah sepertinya sudah sampai ke Dinas Pendidikan Kabupaten. Sedangkan dari dinas belum pernah mengundang membicarakan ini ataupun mengkoordinasikan ke sekolah. Makanya kemarin sewaktu saya bikin KTSP, belum masuk ini,” kata Sudiyanto.


Sudiyanto juga masih bingung soal perlu tidaknya perubahan di Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), lantaran pelajaran penghayat jadi salah satu mata pelajaran. Tapi, persoalan lain keburu muncul; tak adanya honor untuk pengajar penghayat kepercayaan.


Ia bercerita, honor untuk guru tak sepaket dengan amanat yang menunjuk Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) untuk mengajar pendidikan kepercayaan pada anak-anak penghayat.


Namun begitu, tak lantas Samino menuntut honor atas jasanya. Dia mengaku pasrah jika memang tak ada bayaran.


“Kalau bicara honor, ‘ngapunten’ ini. Saya belum pernah berfikir soal honor. Kalau honor, saya ‘sumeleh’. Saya percayakan bahwa rejeki itu Gustu Kang Moho Kuoso yang mengatur. Meskipun saya sudah bekerja sebagai pengampu, guru, saya tidak pernah memikirkan honor,” tutur Samino.


red

  (Samino mengajar Syahsabila Azzahra, satu siswanya dari kelas VII SMP Negeri 03 Gandrungmangu) 


Anak-anak penghayat di Cilacap, Jawa Tengah, kini tak lagi merasa ditelantarkan. Sebab sekarang, beberapa sekolah sudah menyiapkan seorang pengajar. Salah satu orangtua siswa penghayat, Sukamto Haryanto mengaku bahagia akhirnya pelajaran kepercayaan masuk kurikulum.


“Apa yang orangtua yakini dan apa yang keluarga yakini kayak gitu. Kembali lagi saya sebagai kodrat orang Jawa, anakku ya otomatis ikut Jawa tidak bisa berubah menjadi kodrat lainnya,” ujar Sukamto.


Sebelum adanya kebijakan baru ini, Sukamto sesungguhnya tak keberatan jika sang anak diajarkan lima agama yang diakui pemerintah. Sebab agama apapun mengajarkan kebaikan.


Toh, kata dia, anaknya Syahsabila Azzahra yang bersekolah di SMPN 3 Gandrungmangu, kerap ke mushola atau masjid. Dan ia pun tak pernah melarang. Itu mengapa, Sukamto tak marah kalau anaknya mengenakan kerudung.


“Saya sebenarnya sejak kecil (penganut atau penghayat kepercayaan). Tetapi, saya sewaktu kecil juga suka ke mushola, ke masjid. Itu betul. Tetapi adat kebiasaan sebagai orang Jawa itu sendiri tidak pernah ditinggalkan sejak kecil. Menurut saya, semua agama, baik itu Hindu, Budha, Kristen, semuanya bagus. Manakala ada ketidakbagusan itu bukan agamanya, melainkan orangnya. Tetapi kembali lagi sebagai kodrat sebagai orang jawa, saya juga punya budaya spiritual sendiri. Kalau bahasa politiknya, sebagai penghayat kepercayaan,” bebernya.


Hanya saja, ia menyayangkan tak disiapkannya anggaran untuk membayar honor untuk para pengajar penghayat. Seperti yang dialami Samino –guru penghayat di SDN 4 Karanganyar dan SMPN 3 Gandrungmangu. Meski tak mendapat upah, ia ikhlas.


“Jadi semata-mata, saya adalah berjuang. Ikhlas, lahir dan batin. Sekian lama ini anak-anak penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa itu selalu mengayom, ditumpangkan, atau ditunutkan dalam bahasa jawanya, kek kurikulum agama lain,” tegas Samino.


Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) –menjadi pihak yang dipercaya untuk mengajar pendidikan kepercayaan pada anak-anak penghayat di sekolah.


Sekretaris MLKI Kabupaten Cilacap, Muslam Hadiwiguna Putra mengatakan, rencana awalnya, MLKI membidik enam sekolah agar bakal diajari pelajaran penghayat. Nyatanya di luar perkiraan, ada 13 sekolah dengan 25 siswa yang menjadi tanggungjawab MLKI. Karenanya, MLKI menyiapkan 10 pengajar penghayat.


“Tahun ajaran baru, mulai Juli kemarin sudah ada 13 sekolah yang resmi (membuka kelas pelajaran kepercayaan), yang tersebar di beberapa kecamatan. Siswanya masing-masing ada yang satu anak, dua anak, ada yang lima anak. Kebetulan yang terbanyak (siswanya) ada di Kecamatan Adipala, yakni SMPN 1 dan SMPN 2,” papar Muslam Hadiwiguna.


Sementara mengenai anggaran membayar upah pengajar, Muslam bercerita, tengah dalam tahap negosiasi dengan Kementerian Pendidikan.Pasalnya, pada semester ini tak ada anggaran khusus untuk membayar honor guru-guru penghayat.


Ia optimistis, pemerintah bakal menggelontorkan dana tersebut lantaran aturan yang memayungi kurikulum pelajaran penghayat sudah dikeluarkan berupa Peraturan Menteri Pendidikan.

 

“Sampai sekarang anggaran untuk honor pengajar memang tidak ada. Karena ini merupakan kewajiban Majelis Luhur, sesuai dengan bunyi Permendiknas-nya. Dan Negara belum bisa memberikan berapa honornya. Karena, kita memang tidak membicarakan honor,” tutur Muslam.

 

Kembali ke Syahsabila Azzahra –siswa penghayat kelas VII di SMP Negeri 03 Gandrungmangu. Ini adalah kali pertama diajari pelajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa oleh sang guru Samino. Dan ia merasa senang. Itu hari, dia diajari ‘salam’ dan bermacam rumah ibadah.

 

“Tadi belajar tentang salam penghayat. Materi yang lain, tentang tempat ibadah penghayat,” ucap Dela.


Sementara Sekretaris MLKI Kabupaten Cilacap, Muslam Hadiwiguna Putra berharap, pihak sekolah konsisten menerapkan kurikulum penghayat. Sehingga tak ada lagi kasus seperti Zulfa Nur Rahman, seorang siswa penghayat di Semarang –yang tak lulus sekolah hanya karena tak mau mengikuti pelajaran agama Islam.






Editor: Quinawaty 

  • mata pelajaran penghayat kepercayaan
  • tersandung anggaran
  • Sekretaris Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Cilacap

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!