SAGA

[SAGA] Akhmad Sobirin: 'Manisnya Gula Semut dari Semedo'

"Kini, Gula Semedo 98 persen diekspor, dua persen masuk ke pasar retail, toko online, dan toko oleh-oleh. Para petani dan perajin pun kebanjiran pesanan dari Amerika dan Eropa"

[SAGA]  Akhmad Sobirin: 'Manisnya Gula Semut dari Semedo'
Akhmad Sobirin, pemberdaya gula semut dari Desa Semedo di Banyumas. Foto: KBR.

KBR, Banyumas - Desa Semedo di Kecamatan Pekuncen, Banyumas, Jawa Tengah, sempat menyandang status desa terpencil dan tertinggal pada kisaran 1990-an. Selain karena lokasinya yang berada di dataran tinggi, akses ke sini sangat sulit. Dulu, sebelum dilakukan pengaspalan pada 2003-2004, jalan dibuat seadanya –ditimbun dengan batu gunung yang dipecah-pecah.

Karena itulah, anak-anak Desa Semedo sempat merasakan bagaimana sedihnya dirundung teman-teman sekolahnya dengan perkataan, ‘iihh… dasar anak gunung’. Tapi perlahan, status sebagai desa terpencil dan tertinggal itu dicabut. Kini, jalan menuju desa sudah bisa dilalui semua kendaraan dengan mulus.


Masyarakat Desa Semedo mayoritas bekerja sebagai petani, perajin kelapa nira, dan peternak. Tapi perajin kelapa nira jadi yang paling banyak jumlahnya. Dimana hampir tiap keluarga, pasti punya kebun kelapa. Tapi, selama puluhan tahun, masyarakat setempat hanya tahu memproduksi gula merah batangan. Harga jualnya Rp5 ribu perkilogram ke tengkulak dengan sistem ijon.


Melihat desanya tak berkembang, Akhmad Sobirin, pemuda kelahiran Semedo –yang sempat merantau, pulang ke tanah kelahirannya. “Saya memutuskan untuk pulang ke desa, dengan harapan bisa membangun desa. Tapi dengan konsep yang belum matang, jadi nekat aja,” ucap Sobirin.  


Saat itulah, Sobirin –begitu ia disapa, mencoba mengenalkan gula semut ke petani dan perajin kelapa nira. Tapi, tak gampang. Sebab banyak persoalan yang membelit para petani dan perajin.


“Setiap pulang pasti saya dengar orang meninggal karena jatuh, ada juga gulanya tak laku dan dijual murah. Terbelit utang oleh tengkulak,” jelasnya.


Hingga pada 2011, sedang booming yang namanya gula semut atau gula kristal dengan pasar ekspor. Sejak itu, dia gencar mengajak para petani dan perajin bergabung dengannya. Sobirin lantas membentuk Kelompok Tani Manggar Jaya pada Juni 2012. Lewat kelompok ini, para petani dan perajin menuangkan segala keluh kesahnya. Sementara Sobirin, perlahan memaparkan gagasan dan mimpi-mimpinya.


“Sat itu belum ada konsep, karena petani masih ragu. Akhirnya saya mau bicara konsep pun susah.”


Akan tetapi sandungan lain datang dari tengkulak. Dia diancam agar berhenti memengaruhi para petani beralih ke gula semut. “Saya tidak boleh bikin kelompok, tak usah pemberdayaan. Pokoknya sistem lama tak perlu dihilangkan. Karena itu akan mengancam mereka.”


Hanya saja, tak ada yang bisa menghentikan langkah Sobirin. Dia berangkat ke Semarang dengan difasilitasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) setempat –untuk bertemu berbagai pengusaha UKM. Dan, satu mimpinya terwujud.


“Waktu itu saya difasilitasi Bappeda berangkat ke Semarang untuk komunitas UKM. Kemudian ada yang menelpon. Saat bertemu, saya bawa contoh dan langsung cocok dengan klien," paparnya sembari tertawa.


Kini, Gula Semedo 98 persen diekspor, dua persen masuk ke pasar retail, toko online, dan toko oleh-oleh. Para petani dan perajin pun kebanjiran pesanan dari Amerika dan Eropa. Produksi gula semut pun dimulai. Mula-mula hanya setengah ton, kemudian pada 2013 memproduksi enam ton perbulan. Setahun setelahnya, mencapai 15 ton –angka terbanyak. Kini, tiap bulan setidaknya produksi gula semut di kisaran 10 ton.


Untuk perkilogramnya, gula semut dari petani dihargai Rp14 ribu. Harga yang sangat jauh jika dibanding dengan harga gula merah batangan. Sedang, harga jual gula semut ke konsumen perkilogramnya Rp50 ribu.


Sementara, jumlah anggota Kelompok Tani Manggar Jaya juga membludak dari yang tadinya hanya 25 orang jadi 115.


Rohyati –petani kelapa nira, bercerita paling tidak dia memproduksi enam kilogram gula semut saban hari. Dan jika dihitung, maka sebulan dia bisa mengantongi Rp 2,5 juta. “Uangnya untuk bayar sekolah cucu atau bangun rumah,” kata nenek satu cucu ini.


Sakrun pun demikian. Kakek satu cucu ini, malah sangat terbantu dengan kehadiran Kelompok Manggar Jaya. Sebab kala ia jatuh saat memanen, biaya pengobatan diambil dari BPJS. “Saya sudah pakai BPJS Ketenagakerjaan tahun lalu. Karena saya pernah jatuh empat kali saat manjat,” keluhnya.


Melihat sebagian besar petani gula kelapa berusia sepuh, Akhmad Sobirin, terpikir untuk mendaftarkan anggota Kelompok Manggar Jaya ke BPJS Ketenagakerjaan, pada 2013 lalu. Preminya Rp13 ribu perbulan.


Sobirin pun mulai memikirkan masa tua para petani dengan menggagas peternakan sapi.


“Karena penderes mayoritas tak lulus SD. Kalau pensiun bingung mau ngapain? Makanya solusinya ternak. Kami ada ternak kambing dan sapi. Dengan ternak bisa jadi modal,” jelas Sobirin.


Sobirin juga berharap anak-anak muda Desa Semedo yang merantau mau pulang untuk mengembangkan tanah kelahirannya. “Kami dekati mereka sehingga apa yang bisa dilakukan untuk desanya.”


Simak video kisah anak-anak muda inspiratif lainnya di kbr.id/anakmuda  



Editor: Quinawaty

Baca juga:

Sabrina Bensawan: 'Berbagi Tak Perlu Menunggu Kaya'

Putry Yuliastutik: 'Mengawinkan Konfeksi dengan Teknologi'

Iki Yosan: 'Mendongeng Demi Menghapus Trauma'

Dwi Puspita: 'Mendobrak Stereotip Dalang'

Hajad Guna: 'Melantangkan Suara dari Kampung ke Dunia'

Safprada Rizma: 'Tularkan Virus Literasi Lewat Pondok Inspirasi

Merry Andalas: 'Menjaga Rinjani dengan Gaharu'

Lukman Hakim: 'Berhenti Merokok di Bank Sehat'

Akhmad Sobirin: 'Manisnya Gula Semut dari Semedo'  

  • akhmad sobirin
  • gula semut
  • gula semedo
  • semedo manise
  • anak muda
  • Banyumas

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!