OPINI

Boikot

Ilustrasi Starbucks

Awal 2016 lalu media internasional dan media sosial sempat ramai menyoroti gerai kopi Starbucks. Di Riyadh Arab Saudi, kedai kopi ini dianggap mendiskriminasi perempuan lantaran ada tanda larangan masuk bagi perempuan. Yang boleh masuk hanya laki-laki. Akhirnya ada klarifikasi dari pengelola, kalau larangan itu keluar karena ambruknya dinding pembatas antara konsumen pria dan wanita di sana. Kasus pun selesai. Tak ada protes lanjutan. 

Di Indonesia, lain lagi ceritanya. Sebagian orang sempat menyerukan boikot Starbucks. Bos perusahaan dianggap terang-terangan mendukung kelompok Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT). Ormas Muhammadiyah sampai minta pemerintah mencabut izin Starbucks di Indonesia. Mereka yang mendukung boikot mengutip media yang menyebut kalau bos Starbucks tidak mau mempekerjakan orang yang anti-LGBT. Sumber berita sumir, tapi tak ada yang mengecek kebenarannya.

Kampanye boikot produk merupakan hal jamak. Biasanya, boikot dilakukan dengan alasan politik, sosial, etik arau lingkungan. Tapi jika suatu perusahaan diboikot lantaran mendukung kesetaraan kelompok LGBT, ini justru aneh. Ini bukan soal setuju atau tidak dengan kelompok LGBT, tapi soal menolak diskriminasi terhadap mereka.

Saat ini ada ratusan perusahaan di dunia yang menolak diskriminasi terhadap LGBT. Puluhan diantaranya ada di Indonesia. Produk mereka mulai dari kopi sampai mobil, dari shampo hingga handphone. Jika Starbucks diboikot, apakah yang lain mesti ikut diboikot? Kita justru tak semestinya memboikot perusahaan yang menjunjung tinggi keberagaman dan menolak diskriminasi terhadap mereka yang dianggap berbeda. 

  • LGBT
  • boikot starbucks
  • diskriminasi LGBT
  • muhamadiyah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!