BERITA

Tanggapan Beragam Penyintas 1965 atas Putusan IPT

""Yang kami tunggu selaku korban adalah pemerintah menetapkan Soeharto bersalah," kata salah seorang penyintas tragedi 1965."

Tanggapan Beragam Penyintas 1965 atas Putusan IPT
Ilustrasi para korban dan keluarga korban menuntut penyelesaian kasus tragedi kemanusiaan 1965-1966. (Foto: komnasham.go.id)



KBR, Jakarta - Putusan sidang Pengadilan Rakyat Internasional (Internasional People's Tribunal/IPT) tragedi 1965 pada pekan ini ditanggapi beragam oleh para korban.

Putusan hakim IPT 1965 menyatakan Indonesia harus bertanggung jawab atas tragedi 1965, dan Indonesia harus meminta maaf kepada korban, penyintas maupun keluarganya.


Putusan IPT: Indonesia Bersalah Atas Genosida di Tragedi 65 

Salah satu korban 1965, Sri mengatakan jika pemerintah masih enggan minta maaf maka pemerintah bertindak biadab.


"Buat saya, pemerintah minta maaf kepada korban itu penting. Kalau bersalah divonis. Kalau pemerintah tidak mau meminta maaf, itu biadab. Pembunuhan itu biadab. Itu mengikuti kebiadaban Ken Arok," kata Sri kepada KBR, Rabu (20/7/2016).


Sri adalah loyalis Soekarno. Pemerintah Orde Baru memenjarakan Sri selama 11 tahun karena dianggap terlibat organisasi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang disebut berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).


Baca: Sidang Rakyat IPT Beberkan 10 Kejahatan Kemanusiaan Peristiwa 1965

Tanggapan berbeda disampaikan Legimin, yang pernah ditahan selama 14 tahun di Jakarta, Nusakambangan hingga Pulau Buru. Legiman menilai permintaan maaf tidak menjadi penting, jika pemerintah tidak menetapkan Soeharto bersalah atas kejahatan kemanusiaan masa lalu.


"Yang kami tunggu selaku korban adalah pemerintah menetapkan Soeharto bersalah. Sebaiknya yang pas adalah Orde Baru bersalah," kata Legimin.


Temuan dan rekomendasi yang diajukan IPT 1965, setelah persidangan juga meminta Indonesia memberikan kompensasi, reparasi dan rehabiltasi kepada para korban.


"Menurut saya Jokowi tidak perlu minta maaf, karena (yang salah) itu Soeharto. yang diperlukan dari Jokowi adalah rehabilitasi umum," kata Endang Darsa, salah satu korban hidup dalam tragedi 1965 lainnya.


Persoalan siapa yang bersalah dan apakah harus meminta maaf, juga disinggung Bisri. Bisri adalah korban 1965, yang ditahan di Pulau Buru.


Bisri adalah tahanan terakhir yang keluar dari pulau Buru. Pekan ini ia ikut hadir dalam pertemuan mengikuti pembacaan vonis hakim IPT. Kepada para aktivis dan penyelenggara IPT 65, dia mengaku hanya mendapatkan selembar kertas yang bertuliskan "Tidak Bersalah" dalam kasus 1965.


"Saya ditahan paling awal, tapi pulang dari Pulau Buru paling akhir. Pulang dari sana saya diberikan selembar kertas yang tulisannya saya tidak bersalah. Kami banyak menuntut karena kami tidak bersalah," tutur Bisri.


Dia pun berharap, Jokowi mau dengan tegas menepati janji Nawacita-nya menyelesaikan pelanggaran HAM berat tragedi 1965, yang dikategorikan genosida atau pemusnahan.


Baca: Luhut Bantah Ada Genosida Kasus 1965

Bisri juga mengaku ingin sekali duduk satu meja dengan para pelaku yang memfitnah dia dan teman-temannya.


"Kalau bisa korban ini bisa berdiskusi dengan pelaku. Kalau mereka bicara (kasus pemberontakan) 1948 atau (tragedi) 1965 di atas meja, kita diskusi. Jangan kami tidak ditanya," ujarnya.


Editor: Agus Luqman

 

  • IPT 1965
  • International People's Tribunal
  • pengadilan rakyat internasional tragedi 1965
  • Gerakan 30 September
  • tragedi 1965
  • PKI
  • komunisme
  • Soeharto
  • tragedi65

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!