Article Image

SAGA

Setengah Abad Melacak Pusara Christian Soumokil

Senin 18 Jun 2018, 21.01 WIB

Eksekusi Christian Soumokil oleh pemerintah Indonesia. Foto: istimewa.

KBR, Jakarta - Hendry Reinhard Apituley memulai pidatonya dengan menyebut Mena Muria. Dalam bahasa Bangsa Alifuru di Maluku, artinya "Depan Siap – Belakang Siap". Kalimat keramat itu digunakan kali pertama oleh Alexander Jacob Patty--orang Maluku yang dibuang Belanda ke Flores pada 1931 gara-gara mengkampanyekan perlawanan terhadap kolonial. Tapi belakangan, Mena Muria selalu saja dihubung-hubungkan dengan Republik Maluku Selatan--negara Bangsa Alifuru yang dicap sebagai separatis. Impaknya, setiap orang Maluku yang memakai frasa itu sudah pasti ditangkap polisi. 

Ungkapan itu diucapkan Hendry dalam pertemuan ke-17 Forum Tetap PBB tentang Masyarakat Adat. Gelaran yang berlangsung pada 24 April di New York tersebut ingin mengupas persoalan masyarakat adat di seluruh dunia. Beruntungnya, perwakilan negara Pasifik sudi memberi kesempatan kepada Hendry bicara soal masalah yang dihadapi penduduk asli Maluku, orang-orang Alifuru. 

Kata pengajar di Politeknik Negeri Ambon ini, warga Maluku punya ritual setiap 12 April. Mereka menerbangkan lampion yang telah ditulis nama-nama tahanan politik dan yang telah meninggal. Dua belas April merupakan hari eksekusi mati seorang pejuang kemerdekaan RMS, Christian Roberth Steven Soumokil oleh pemerintah Indonesia karena dituding sebagai pemberontak pada 1966.

"Mereka hanya berdoa dan makan. Terus di lampion tertulis nama-nama orang yang sudah meninggal dan yang dipenjara. Harapannya bagi yang masih hidup tetap sehat dan terus berjuang," jelasnya ketika dihubungi KBR.

Bagi rakyat Maluku, perayaan kecil itu simbol penghormatan terhadap para martir. Sebut saja Christian Soumokil, Harun Lestaluhu, Rudolof Syahailatua, Jusuf Sopakoly, Frank Sinmiasa, Simon Saija, dan Johannes Balubun. Tujuh nama itu, katanya, rela memberikan nyawa demi negaranya; Republik Maluku Selatan.

"Harun Lestaluhu adalah sersan mayor yang berjaga di Pulau Buru. Dia bertahan di sana selama tiga bulan untuk menghalau tentara Indonesia masuk ke Buru pada 1950," sambungnya.

Tak sampai sepuluh menit, Hendry mengakhir pidatonya. Tapi sebelumnya, ia sempat meminta seorang perempuan renta mengenakan pakaian putih berdiri. Ia adalah Josina Soumokil-Taniwal --istri Christian Soumokil, yang sedang mencari informasi kuburan suaminya. Pasalnya, pemerintah Indonesia dituding menyembunyikan kabar itu meski sudah beberapa kali diajukan. 

"Dia (Josina-red) beberapa kali meminta, tapi ditolak," pungkas Hendry. 

"Karena itu, dengan rendah hati kami meminta forum ini mendesak pemerintah Indonesia agar memberi akses terhadap tubuh atau sisa-sisa tubuh Soumokil. Agar dikembalikan ke keluarga dan diperlakukan dengan hormat dan bermartabat," katanya menutup pidato.  

red

(Dari kiri: Hendry Reinhard Apituley, Josina Soumokil, Christien Sohilait, dan George Latumairissa. Foto: istimewa)


Christian Soumokil, Martir RMS

Menyebut Republik Maluku Selatan (RMS) mustahil lepas dari sosok Christian Roberth Steven Soumokil. Pria berdarah campuran Jawa-Ambon ini pernah menyicip pendidikan hukum di Universitas Leiden, Belanda pada rentang 1925-1934. Hingga meraih gelar Doktor.

Pada awal 1950-an, ia kembali ke tanah airnya, Maluku --saat itu Kepulauan Maluku, Bali, Sulawesi, dan seluruh kepulauan Sunda Kecil masuk dalam Negara Indonesia Timur (NIT). NIT sendiri adalah negara dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan ibukota Republik Indonesia kala itu Jogjakarta. Sedangkan NIT ibukotanya Makassar. 

Waktu Soumokil pulang itulah, ia menjabat sebagai Jaksa Agung di Negara Indonesia Timur. Lantas menduduki kursi Menteri Kehakiman.

Tapi pada awal 1950, gelagat Sukarno mengirim tentara ke Makassar dilihat sebagai upaya membubarkan NIT. Sebabnya, tepat 17 Agustus 1950, Sukarno terbukti membubarkan negara-negara dalam RIS dan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia --dengan mencakup seluruh wilayah termasuk Jakarta. Namun tanpa membubarkan RIS.

Soumokil menganggap apa yang dilakukan Sukarno itu, melawan konstitusi RIS dan perjanjian Konferensi Meja Bundar. Dimana, pembubaran suatu negara harus melalui plebisit atau pemungutan suara. Bukan agresi. 

Setelah Makassar diduduki tentara Indonesia, Soumokil merasa Negara Indonesia Timur tak lagi bisa dipertahankan. Ia lalu pulang ke Maluku dan mengumpulkan seluruh rakyat Maluku dan menggelar rapat besar di Tulehu pada 23 April 1950. Di situ, ia melontarkan pertanyaan; apakah mau bersatu dengan Republik Indonesia Serikat atau membentuk negara sendiri? Saat itu Raja Tulehu, Ibrahim Ohorela, menyatakan rakyat Maluku harus merdeka. Hanya saja, rakyat Maluku menyerahkan keputusan kepada Dewan Maluku Selatan --dewan ini pula yang pada 1947, memutuskan Maluku tergabung dalam Negara Indonesia Timur. 

red

(Eksekusi Christian Soumokil oleh pemerintah Indonesia di Pulau Obi. Foto: Istimewa)

Setelah rakyat Maluku menyerahkan nasib mereka pada dewan, esoknya 24 April 1950 diputuskan membentuk negara sendiri yakni Republik Maluku Selatan. Sebuah rancangan teks proklamasi pun dibacakan pada 25 April 1950:

"Memenuhi kemauan jang sungguh, tuntutan dan desakan rakjat Maluku Selatan, maka dengan ini kami proklamir KEMERDEKAAN MALUKU SELATAN; de facto de jure, yang berbentuk Republik, lepas dari pada segala perhubungan ketatanegaraan Negara Indonesia Timur dan R.I.S., beralasan N.I.T. sudah tidak sanggup mempertahankan kedudukannja sebagai Negara Bahagian selaras dengan peraturan Muktamar Denpasar jang masih sjah berlaku, djuga sesuai dengan keputusan Dewan Maluku Selatan tertanggal 11 Maret 1947, sedang R.I.S. sudah bertindak bertentangan dengan keputusan K.M.B. dan Undang-Undang Dasarnja sendiri."

Pengumuman kemerdekaan itu dinyatakan oleh Johanes Hermanus Manuhutu, Ketua Dewan Maluku Selatan di Ambon. Ia kemudian menjadi Presiden pertama berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar Sementara Negara RMS sampai adanya pemilihan berikutnya. Sementara Soumokil menjabat Menteri Luar Negeri, Ibrahim Ohorela sebagai Menteri Kemakmuran Rakyat, dan Dubasir Latuconsina menjadi Menteri Sosial. 

Namun serangan tentara Indonesia ke Maluku tak kenal henti. Soumokil pun ikut bergerilya selama 13 tahun. Sementara presiden pertama RMS ditangkap, maka Soumokil memutuskan mengambil alih kepemimpinan sebagai presiden ke-2 pada 17 Oktober 1952. 

Pada 3 Desember 1963 Soumokil ditangkap. Di Nusa Ina, Pulau Seram, ia menyerahkan diri karena tak sampai hati melihat rakyat Maluku terus berjatuhan melawan tentara Indonesia. Setahun setelahnya, ia diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa dan dijatuhi hukuman mati. Hingga 12 April 1966, Soumokil dieksekusi regu tembak di Pulau Obi, Kepulauan Seribu. 

Sampai kematiannya, Soumokil disebut tak mengalihkan kedaulatan Republik Maluku Selatan ke tangan Indonesia. Pemerintahan RMS pun hingga detik ini masih di pengasingan di Belanda yang dipimpin Johannes Alvares Manusama pada 1966-1992. Kemudian digantikan Frans Tutuhatunewa hingga 2010 dan diteruskan oleh Johannes Gerardus Wattilete.  

(Josina Soumokil bersama sang anak, Thommy Soumokil. Foto: istimewa)

Sementara bagi Hendry --yang bicara di tengah forum sebagai warga Maluku, menyuarakan nasib Soumokil merupakan wujud penghormatan terhadap pahlawan tanah kelahirannya.

"Perjuangan ini membutuhkan pahlawan. Dan karena seorang pahlawan akan mati untuk tujuan atau bangsanya," tukasnya.

"Bulan April, kami memperingati para pahlawan yang memberikan nyawa mereka untuk negara kami, Republik Maluku Selatan," katanya lagi.

Berpijak pada dua hal itulah, Josina dan Hendry menantang pemerintah Indonesia agar mengungkap lokasi jenazah Christian Roberth Steven Soumokil. Toh, menurutnya permintaan tersebut bukan persoalan besar.

"Ini masalah kecil yang tinggal ditunjuk tempatnya oleh pemerintah," ujar Hendry.

Jurnalis KBR, Quinawaty Pasaribu sempat berbincang dengan istri Soumokil, Josina, yang kini telah menjadi warga negara Belanda. Ibu satu anak ini meluapkan kesal, dan sekaligus rindunya pada tanah kelahirannya, Maluku.


Bagaimana Anda bisa hadir di PBB?

Sudah ada rencana pergi dan bicara mengenai kuburan beta punya suami yang sudah 52 tahun sampai sekarang belum tahu kuburnya di mana. Beta sama anak rindu, kalau bisa kita orang mau tahu dimana kuburnya. 


Apa yang Anda sampaikan?

Beta sampaikan mau cari kubur.


Pernah minta ke pemerintah Indonesia dan Belanda? Dan apa hasilnya?

Tidak ada hasil, karena pemerintah Belanda bilang ini persoalan keluarga, bukan negara. Sebab Indonesia takut kalau sudah dapat informasi lokasi pemakamannya maka nanti akan menjadi tempat ziarah bagi orang Maluku.


Itu tahun berapa?

2014.


Permintaan itu disampaikan sekali saja, atau beberapa kali?

Banyak sekali, kita orang bertemu menteri luar negeri Belanda. Dan jawabannya selalu sama.


Tahun 1966 itu, kondisi di Maluku seperti apa?

Iya banyak penembakan, orang-orang dibunuh tentara. Karena tentara begitu kuat. Sedangkan RMS begitu kecil, dihantam tentara Indonesia.


Kapan terakhir kali Anda melihat suami?

Tahun 1966, bulan April. Dia dibawa ke Pulau Obi untuk dipasang (dieksekusi) di situ.


Anda lihat suami ditangkap?

Iya. Karena beta sama suami, selama 13 tahun di pedalaman Nusa Ina di Pulau Seram.


Saat penangkapan, berapa banyak tentara?

Tentara Siliwangi yang menangkap kita orang. Ada 12 tentara sekitar jam 3 pagi.


Di mana Soumokil ditangkap?

Iya, di Seram Utara. Beta juga bersama anak dan adik perempuan.


Apakah Soumokil sempat diadili?

Diadili di Jakarta. Beta ada ditaruh di Sirnagalih. Beta ditempatkan pemerintah Indonesia bersama anak dan saudara perempuan. Kita orang mesti tinggal di satu famili orang Maluku, Tuan Putuhena.


Saat Soumokil dieksekusi Anda dimana?

Beta masih di Jakarta saat itu. Tapi pemerintah Indonesia tidak beri kesempatan buat beta lihat suami untuk terakhir kalinya setelah beta punya suami ‘dipasang’ (dieksekusi).


Informasi kuburan Soumokil ketika itu, tak sampai ke Anda?

Iya benar, beta tidak tahu di mana kubur suamiku. Keluarga di Maluku juga tidak tahu kuburnya di mana.


Apa pesan Soumokil?

Terakhir, suruh beta ke Belanda teruskan perjuangan Republik Maluku Selatan. Sebab situasi di tanah air (Maluku-red) pada saat itu sangat berbahaya buat beta sebagai perempuan. Sehingga tidak memungkinkan untuk teruskan perjuangan RMS dari Maluku yang telah diduduki Indonesia.


Dari pesan itu, di Belanda apa yang Anda lakukan?

Ya kita orang memperjuangkan RMS sampai dapat kemerdekaan. Karena tiap-tiap bangsa ada hak menentukan nasib sendiri.


Ada rencana kembali ke Maluku?

Sampai merdeka, baru beta bisa pulang ke Maluku. Sekarang beta tidak mau berada di bawah pemerintah Indonesia. Mereka sudah bunuh suami beta.


Ada dukungan dari negara lain atas keinginan Anda?

Negara di kawasan Pasifik mendukung rencana untuk mencari kuburan suami beta.


Sering komunikasi dengan negara Pasifik?

Belum, itu baru pertama kali. Karena kita orang bicara soal kuburan suamiku sudah 52 tahun, sampai sekarang tidak tahu sehingga akan menarik kawasan Pasifik. Foto-foto Soumokil ditaruh di surat kabar Karibia.


Apa yang diharapkan ketika kuburan diungkap?

Itu memperkuat bangsa Alifuru di Maluku, tahanan politik, hak asasi manusia. Karena dunia internasional tahu ada kejahatan Indonesia di Maluku.

(Semuel Waileruny saat di Belanda. Foto: istimewa)

Penangkapan terbesar orang-orang Maluku terjadi saat kunjungan Presiden SBY tahun 2007. Bertepatan dengan Hari Keluarga Nasional (Harganas) di Ambon. Sebanyak 68 penari Cakalele diringkus polisi dan dikenakan pasal makar dengan hukuman penjara 15-20 tahun. Peristiwa itu, menurut Andreas, noda hitam bagi Indonesia.

"Tidak ada satupun alasan yang bisa membenarkan tindakan pemerintah, hanya karena menari Cakalele tanpa ada senjata," tandasnya. 

Karenanya, ia meminta pemerintah tak berlebihan menanggapi aksi orang-orang Maluku yang mengibarkan bendera RMS selama tak bertindak kekerasan. "Itu kebebasan berekspresi dan berpendapat," tukas Andreas.

red

(Peneliti dari HRW, Andreas Harsono. Foto: istimewa)

Semuel Waileruny adalah salah satu yang mengalami perlakuan itu. Tiap jelang 25 April, ia selalu kedatangan tamu tak diundang. Pagi sehari sebelumnya pada April lalu misalnya, tiga polisi dari Polda Maluku sudah muncul di depan rumahnya. Maksud aparat itu hendak "menjaga" Semuel dari aksi pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) yang terdiri dari empat warna; biru, putih, hijau, dan merah. 

"Saya menyambut mereka (polisi-red) dan bilang, 'Mari merayakan hari ulang tahun RMS'," tukas Semuel sambil tertawa.

Penjagaan selama seharian penuh itu sudah menjadi ritual Semuel sejak ditangkap kali pertama pada 2001 silam. Kala itu, ia bersama kawan-kawannya di Front Kedaulatan Maluku (FKM) mengibarkan bendera RMS sembari membacakan teks proklamasi di Kudamati-Ambon. FKM adalah lembaga yang ia bentuk pada Juli tahun 2000 untuk mengkaji kesahihan RMS lewat penelitian dan tulisan. 

"Kami saat itu upacara resmi. Saya dipercaya sebagai pembaca teks proklamasi RMS yang dibacakan persis saat proklamasi 1950," katanya mengenang. 

Setelahnya, Semuel dan beberapa rekannya di Front Kedaulatan Maluku ditangkap dan dijebloskan ke penjara atas tuduhan makar. Pengadilan lantas memutus hukuman penjara 3,5 tahun dan dibui di Lapas Tangerang. Penangkapan kali kedua, terjadi pada 2005. Saat itu, ia sudah bebas dan ingin pulang ke rumahnya di Ambon. Tapi begitu menapakkan kaki di Bandar Udara Internasional Pattimura, langsung dicokok polisi. 

"Saya dibawa ke Polres Lease dan dituduh makar," pungkasnya. Kata dia, hukuman penjara selama delapan bulan harus kembali ditanggung. 

Semuel termasuk kawakan dalam memperjuangkan kemerdekaan Maluku. Meski ayahnya pernah menerima penghargaan dari Sukarno karena ikut menumpas RMS, namun ia tak mengikuti jejak keluarganya yang membenci RMS. Apalagi, ia kerap dicekoki pengetahuan bahwa RMS penyebab konflik di Tanah Maluku dan jika RMS merupakan gerakan separatis.

Semy --begitu ia bisa disapa, dulunya pegawai negeri berlatar belakang sarjana hukum. Ketika konflik agama pecah di Ambon, ia bergabung dalam tim pengacara bentukan Gereja Protestan Maluku. Dari situ, ia menggeluti sejarah Republik Maluku Selatan. Pencarian akhirnya menuju pada satu titik; RMS sah sebagai negara pada 25 April 1950.

"Saya punya prinsip, yang benar tak boleh disembunyikan. Harus diungkap," ujarnya. Mulai dari itulah, Semuel rajin berkirim surat ke Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjabat sebagai Menkopolhukam. Isinya sederhana saja, bahwa RMS bukanlah penyebab konflik dan absah sebagai negeri. Maka ia berpikir, tak jadi soal kalau mengibarkan bendera RMS. 

"Jadi sebelum mengibarkan (bendera-red), kami bersurat dan tidak sembunyi-sembunyi. Rencana itu disampaikan ke Polda dan pemerintah," katanya yakin.

<tr>

	<td class="">Reporter:&nbsp;</td>


	<td>Quinawaty Pasaribu&nbsp;</td>

</tr>


<tr>

	<td class="current">Editor:</td>


	<td>&nbsp;Nurika</td>

</tr>