BERITA

Takjil, BPOM: Pemakaian Kandungan Bahan Berbahaya Menurun

""Ini yang kami senang, dinas terkait di kabupaten/kota mulai proaktif. Dulu, kita main sendirian, capek deh.""

Takjil, BPOM: Pemakaian  Kandungan Bahan Berbahaya   Menurun
Petugas Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Padang memeriksa kandungan makanan pabukoan (takjil) yang dijual di Pasar Takjil Lubukbuaya, Padang, Sumatera Barat, Selasa (7/6). (Foto: Antara)

KBR, Jakarta- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan temuan kandungan bahan berbahaya pada sajian berbuka puasa atau takjil menunjukkan tren penurunan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Suratmono mengatakan, tren penurunan itu bisa diamati sejak 2011 hingga 2015.

Suratmono berujar, hal itu berkat partisipasi pemerintah daerah dalam menjaga kualitas produk takjil yang dijual di daerahnya.

"Kalau kita lihat trennya, dari tahun 2011 ke 2015, memang ada penurunan, ya walaupun tidak terlalu signifikan. Yang jelas ada penurunan. Ini yang kami senang, dinas terkait di kabupaten/kota mulai proaktif.  Dulu, kita main sendirian, capek deh. Sekarang kita melihat kementerian/lembaga maupun kabupaten/kota sudah ikut melakukan pengawasan terhadap takjil," kata Suratmono di kantornya, Kamis (09/06/16).

Suratmono berujar, bahan kimia berbahaya yang biasanya dicampur dalam takjil adalah Rhodamin B, boraks, pewarna tekstil, dan formalin. Suratmono mengatakan, tren penurunan temuan kandungan bahan berbahaya pada takjil dapat dilihat dari tahun 2011 yang pada saat itu persentasenya 21,27 persen. Nilai itu terus menurun menjadi 18,29 persen pada 2012, 13,16 persen pada 2013, 12,28 persen pada 2014, dan 9,42 persen pada 2015. 

Suratmono berujar, ada tiga alasan kandungan bahan berbahaya pada takjil, yakni kesengajaan, ketidaktahuan, dan ketidakpedulian pedagang. Kata dia, pedagang yang tidak tahu atau tidak peduli bisa dengan mudah diberi pengertian melalui penyuluhan. Namun, untuk pedagang yang membandel mencampurkan produknya dengan bahan berbahaya, jika tidak bisa diingatkan, akan mendapatkan sanksi, misalnya penyitaan barang dagangan yang mengandung bahan berbahaya.

Oleh karena itu, kata Suratmono, keterlibatan pemda akan sangat berpengaruh untuk menekan penggunaan bahan berbahaya dalam makanan seperti takjil. Suratmono mencontohkan kerja sama antara BPOM dengan Pemda DKI Jakarta.

Dia berujar, tahun ini, secara rutin Pemda akan berkeliling memeriksa dan merazia takjil di pusat penjualan takjil di Jakarta, seperti di Bendungan hilir, Rawamangun, Senen, dan Tebet yang mengandung bahan berbahaya. Dengan demikian, penggunaan bahan berbahaya bisa terus berkurang.

Selain itu, kata dia, Pemda Padang, Sumatra Barat, mengumpulkan semua pedagang takjil di satu tempat, sehingga produk yang dijual bisa  mudah diawasi. Bahkan, kata Suratmono, syarat berjualan di lokasi itu juga harus lolos pemeriksaan BPOM dan Dinas Kesehatan Padang terlebih dahulu.

Sejak 23 Mei sampai 7 Juni 2016, BPOM mengintensifkan pengawasan jelang Ramadan dan Lebaran. BPOM memeriksa produk makanan yang tanpa izin edar, kedaluwarsa, rusak, dan takjil mengandung bahan kimia berbahaya. Dari dua pekan pengawasan itu, BPOM menyita makanan ilegal senilai Rp 2,49 miliar. Nilai itu terdiri dari makanan kedaluwarsa senilai Rp 965,6 juta, rusak senilai Rp 896,3 juta, dan tidak memiliki izin edar senilai Rp 637,2 juta.

Produk ilegal itu terdiri dari 506 makanan kadarluarsa, 492 makanan rusak, dan 393 makanan tanpa izin edar. Jika dilihat berdasarkan asal negaranya, makanan ilegal itu 41 persen diimpor dari Singapura, 21 persen dari Italia, dan 15 persen dari Malaysia.  


Editor: Rony Sitanggang

  • makanan berbahaya
  • Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Suratmono
  • Ramadan 2016

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!