Yoga Andika, Koordinator Posyandu Remaja. Foto: KBR.

SAGA

Yoga Andika: 'Cegah Perkawinan Dini di Posyandu Remaja'

Jumat 25 Mei 2018, 16.00 WIB

KBR, Jakarta - Satu per satu remaja berusia 14 hingga 17 tahun, merapat ke aula balai desa. Begitu melangkah ke bibir pintu, mereka dihadang agar mendekat ke meja sebelah kanan.

Di situ, mereka diarahkan untuk mengukur tinggi badan, menghitung berat badan, dan mengecek tensi darah. 

Setelah semua tercatat, muda-mudi itu duduk di barisan kursi yang telah ditata sebelumnya. Sebuah proyektor yang memantulkan informasi seputar perkawinan, terpampang. Yoga Andika, Ketua Tim Laskar Pencerah lantas menjelaskan dampak kawin muda. 

Sore itu adalah pertemuan rutin Posyandu Remaja yang digelar di Desa Kandangan, Dusun Kalitejo, Kelurahan Tosari. Kampung ini berada di kaki Gunung Bromo dan menjadi kediaman Suku Tengger. 

Kata Yoga, kegiatan posyandu remaja di desa ini sudah dimulai sejak Januari 2017 dan dijadikan wadah memberantas fenomena kawin muda. Pasalnya, pada 2012 silam kasus perkawinan dini di Kecamatan Tosari cukup tinggi, ada 22. Penyebabnya, hamil di luar nikah. 

“Kasus yang pernah saya lihat, ada teman daerah sini kawin saat SMP, melahirkan dengan bayi beratnya kurang 1 kilogram dan akhirnya meninggal. Kami takut kejadian lagi,” ujar Yoga mengenang. 

Hamil di luar nikah, kata Yoga, terjadi karena minimnya pemahaman tentang organ reproduksi dan pendidikan seksual. Tak hanya itu, stigma perawan tua masih dilekatkan pada perempuan yang tak kunjung kawin di atas usia 20 tahun. Itu mengapa para remajanya begitu menggebu-gebu untuk bisa kawin muda.  

Melihat persoalan itu, lahirlah ide program Posyandu Remaja. Mula-mula, kegiatan hanya dilakukan di Desa Wonokitri lalu merembet ke enam desa lainnya. 

Secara rutin, Tim Laskar Pencerah –yang juga berusia muda, membagikan pengetahuan tentang sistem reproduksi, alat kelamin, bahaya perkawinan usia muda beserta dampak buruknya ke tiap-tiap desa sebulan sekali. 

“Posyandu remaja ini misalnya di suatu desa, sudah terjadwal untuk penyuluhan. Jadi sebulan sekali rutin. Ada tujuh desa.”

red

Selain ke pemuda-pemudi desa, Tim Laskar Pencerah juga mendatangi delapan sekolah; SMP dan SMA. Salah satunya di SMP 1 Tosari. Kata Yoga, sekolah disasar karena massa-nya lebih banyak dan materi yang disampaikan bisa lebih spesifik. Untuk anak-anak SMP misalnya, fokus mengenai kesehatan reproduksi. Sementara SMA, ditekankan pada usia perkawinan yang matang. 

“Kalau di SMA ditekankan soal pendewasaan usia perkawinan. Artinya untuk kawin usia yang baik untuk laki-laki 25 tahun, perempuan 20.”

Dan tak hanya soal perkawinan dini saja yang disampaikan Tim Laskar Pencerah, akan tetapi termasuk bahaya narkoba dan minuman alkohol.  

Lima tahun bergerak, Posyandu Remaja mampu mengikis tingginya jumlah perkawinan usia muda. Dari yang tadinya 22 kasus, tahun 2016 ada 12 kasus. Namun Yoga mengaku kewalahan merangkul enam desa dan delapan sekolah itu. Selain karena jumlah anggota hanya 16 orang, juga disebabkan aktivitas pengurus yang masih kuliah dan kerja.

“Kalau kami, kendalanya waktu. Karena kami juga masih kuliah dan beberapa masih SMA, dan kerja. Jadi membagi waktu sulit. Kalau mau penyuluhan, bertanya ke yang lain siapa yang waktunya kosong.”

Persoalan lain, ada beberapa desa yang ogah-ogahan menerima kegiatan Posyandu Remaja.  

red

Padahal, selama menjalankan aksinya Yoga dan teman-temannya menggunakan ongkos sendiri. Tak ada sepeserpun dana dari desa. 

Tantri Wia Kartina (17) bercerita sudah tiga kali mengikuti kegiatan Posyandu Remaja di Desa Kandangan. Ia pun paham risiko kawin muda. Semisal kehilangan masa remaja, kanker rahim, hingga bayi meninggal.

“Saya akan menikah di usia 20 tahun. Karena untuk mempersiapkan diri lebih dewasa,” tukas Tantri.

Sementara Angga Ardiansah (22) mengaku sejak adanya Posyandu Remaja, muda-mudi desanya tak lagi keranjingan kawin muda. Keinginan untuk melanjutkan sekolah, justru lebih besar. 

“Setelah terbentuk Posyandu banyak perubahan, keinginan sekolah dan berkarir remaja putri, tinggi. Meskipun, ada dorongan dari orangtua (supaya kawin) tetap ingin lanjutan sekolah,” pungkas Angga. 

Kembali ke Yoga. Ia dan kawan-kawannya di Tim Laskar Pencerah, patut bangga karena perlahan para remaja di Tosari mulai mengerti negatifnya perkawinan usia dini. 

“Sejauh ini, mereka mulai paham ternyata kawin muda itu tak enak. Karena sudah jadi orangtua harus mikir biaya. Dan mereka tahu usia yang matang kawin berapa, sudah paham,” ucap Yoga bangga. 

<tr>

	<td class="">Reporter:&nbsp;</td>


	<td>Quinawaty&nbsp;</td>

</tr>


<tr>

	<td class="current">Editor:&nbsp;</td>


	<td>&nbsp;Nurika</td>

</tr>