Article Image

SAGA

Harianto Albarr: 'Mantri Listrik dari Desa Bacu-Bacu'

Jumat 25 Mei 2018, 13.00 WIB

Harianto Albarr, pencipta listrik mikrohidro dari Desa Bacu-Bacu, Kabupaten Barru. Foto: KBR.

KBR, Jakarta - Liburan pergantian semester adalah jeda panjang bagi mahasiswa manapun. Juga dengan Harianto Albarr yang pada 2008 silam masih menjadi mahasiswa semester tiga Jurusan Kimia di Universitas Negeri Makasar. Alih-alih ngaso dari perkuliahan, pulang ke kampungnya di Ampiri, Desa Bacu-Bacu, Kabupaten Barru, ia malah ditagih “oleh-oleh” untuk warga.

“Sebagian orang punya ekspektasi yang tinggi, bahwa mahasiswa adalah orang yang serba bisa. Apa yang bisa diberikan buat kampung?” cerita Harianto.

Dorongan itu kian kuat, ketika Hari menjadi pemuda pertama di kampungnya yang melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi.

Kampung Harianto, Ampiri, letaknya di perbukitan Coppo Tile, Sulawesi Selatan. Untuk mencapainya, harus melewati jalan menanjak dan berliku. Trek yang hanya cukup dilewati satu mobil itu bersisian langsung dengan jurang. Belum lagi, jalanannya tak beraspal. Kalau pengemudi tak cakap, roda kendaraan rawan selip atau terpeleset batuan.

Tak hanya sulit diakses, hingga kini pun, desa ini susah sinyal telekomunikasi. Listrik dari PLN menurut Kepala Desa Bacu-bacu, Jumardin, baru masuk pada 2016. Itu saja masih nyala-mati. 

“Biasanya PLN itu tidak setiap hari nyala, banyak kendalanya. Kalau kemarau angin kencang maka kabel kan rusak. Lalu hujan, juga meletus-meletus (kabelnya),” terang Jumardin.

“Jadi harus berdampingan dengan mikrohidro. Kalau PLN padam, mikrohidro tetap mengalirkan listrik,” sambungnya lagi.

Itu mengapa bocah-bocah di sini termasuk Harianto, boro-boro pernah mencicipi kartun di televisi, diterangi listrik saja tidak. Maka terbesitlah keinginan menghadirkan listrik.

“Waktu itu saya berpikir apa yang bisa kami buat dan apa potensinya di sini. Listrik itu yang memungkinkan,” kata Hari mengingat-ingat awal mula ia membikin energi listrik tenaga air.

Angan yang kedengaran tetangga itu buru-buru mendapat penyangkalan. Ada saja yang sangsi. Tekad mengalirkan listrik pun disebut bak mimpi di siang bolong, tak mungkin kelakon. 

Bagus, Hari tak menggubrisnya. Sikap sesekali tak peduli pada ocehan orang itu, lantas diikuti rasa ingin tahu.

Karena tak ada latar pendidikan soal listrik, ia pun belajar otodidak melalui laman berbagi video YouTube. Hari berselancar menggali informasi; bagaimana cara paling sederhana membikin energi listrik. Mikrohidro akhirnya menjadi jawaban. Ia pun memulai, saat itu masih menggunakan kincir angin sebagai penghasil daya listrik.

“Jadi kami gunakan barang-barang yang ada, paling beli kabel dan pipa. Kurang lebih 3-4 juta Rupiah dari patungan,” kenangnya.

Hasilnya kecil, tak sampai 1.000 watt. Dan hanya berhasil menyalakan lampu-lampu merah berkekuatan 5 watt. Tapi sepuluh tahun silam itulah, jadi kali pertama Kampung Ampiri diterangi listrik.

Dari 2008 melompat ke 2012, instalasi listrik tak lagi menggunakan kincir angin. Energi dari Sungai Ampiri diubah menjadi listrik menggunakan turbin. Ada sebuah ruang khusus di dekat sungai yang, digunakan sebagai ruang kontrol.

“Listrik pembangkit tenaga mikrohidro ini sederhana, intinya energi atau kekuatan air itu diubah menjadi listrik dengan perantara turbin."

"Pertama air dibendung lalu, dari turbin itulah menggerakkan dinamo sehingga menjadi energi listrik. Itulah yang dialirkan ke rumah melalui kabel-kabel, sederhana sekali.”

Hari menjelaskan seluruh sistem kerja turbin itu ke perwakilan warga. Sebab selanjutnya, pengelolaan pembangkit listrik tenaga mikro hidro akan diserahkan ke masyarakat.

Kini, bukan hanya kampungnya yang terang. Setidaknya ada 30an desa yang tersebar di berbagai daerah menggunakan tenaga mikrohidro buatan Hari. Selain di Sulawesi Selatan, ada pula desa-desa di Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara.

“Ada yang satu desa itu bisa satu, dua, atau tiga turbin. Atau malah satu mikrohidro bisa dua atau tiga desa. Tergantung besaran mikrohidro dan banyak warganya,” tutur lelaki yang kini menempuh pendidikan pasca-sarjana di Universitas Negeri Makassar ini. 

red

Dari puluhan desa itu, menurut Hari, setidaknya ada 1.000 hingga 2.000 rumah yang bisa dialiri listrik.

Untuk perawatan mesin turbin dan petugas jaga, paling tidak butuh Rp500 ribu per bulan. Di Kampung Ampiri, warga patungan sukarela sebesar Rp15 ribu atau dengan tiga liter beras per rumah per bulan. 

Meski sudah ada puluhan desa yang sudah diterangi listrik bikinan Hari, namun tak ada kriteria pasti mengenai desa yang akan dia dampingi. Prosesnya acak, kadang karena ada kenalan di desa itu, kadang juga karena warga dari desa tertentu bertandang ke rumahnya untuk meminta dibikinkan pembangkit listrik.

“Jadi kalau kami mau buat (mikrohidro) di sebuah desa, saya buatkan kelompok dulu. Kelompok ini yang nanti berperan, bagaimana komunikasi ke masyarakat setempat juga mereka jadi pengelola pasca pembangunan dan saat digunakan di masyarakat,” terangnya.

Mulai dari survei awal sebelum pembuatan turbin dan instalasi, hingga pengelolaan akan dikerjakan masyarakat setempat dengan pendampingan Hari. Selain swadana masing-masing desa, kadang Hari mencarikan duit tambahan dari program CSR pelbagai perusahaan.

Karena kegiatan yang nyaris semuanya sukarela itu, pernah juga Hari dianggap mau mencalonkan diri sebagai kepala desa. 

Laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) menyebut, peta ketenagalistrikan 2016 menunjukkan 12.659 desa belum teraliri listrik. Hari berharap, kelak yang dilakukan di Ampiri bisa juga diterapkan di puluhan ribu desa lain di Indonesia.

“Saya percaya masih banyak Ampiri-ampiri lain yang membutuhkan listrik hanya saja belum menemukan cara atau sudah menemukan tapi belum pas.”

Saat kami bertemu akhir tahun lalu, ia baru saja dipanggil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan untuk menerima penghargaan Subroto Bidang Inovasi Energi Kategori Prakarsa Perorangan. Raihan itu atas upayanya menghadirkan tenaga listrik dari mikro hidro.

Keberhasilan Hari lebih dari sekadar membawa listrik dengan energi alternatif. Dengan listrik, pada akhirnya ia juga membuka akses informasi juga hiburan melalui televisi. Anak-anak pun tak lagi kesulitan belajar malam hari dan, petani pun leluasa mengolah hasil panennya. 

“Sekarang melihat dinding kamar sudah terang. Bisa melihat kejadian di ibukota atau di provinsi lain. Mudah-mudahan ini sampai ujung dusun sana,” harap Kepala Desa Bacu-bacu, Jumardin. 

	<td>Ika Manan&nbsp;</td>
</tr>

<tr>
	<td class="current">Editor:&nbsp;</td>

	<td>Quinawaty&nbsp;</td>
</tr>
Reporter: