ASIACALLING

Tiga Tahun Pemerintahan Militer Thailand

Jenderal Prayuth Chantra-Ocha, pemimpin junta militer Thailand. (Foto: Government of Thailand)

Tiga tahun lalu, pemerintah Thailand yang dipilih secara demokratis digulingkan dalam sebuah kudeta tak berdarah.

Tiga tahun berlalu rakyat Thailand masih hidup di bawah junta militer yang represif.

Meski waktu itu ada janji pemerintahan militer akan berlangsung singkat dan akan segera kembali ke demokrasi. 

Saat ini ada ratusan orang yang ditahan karena pembatasan kebebasan berbicara dan berpendapat.

Koresponden Asia Calling di Thailand, Kannikar Petchkaew, bertanya pada warga Thailand bagaimana mereka melihat negara itu setelah tiga tahun diperintah militer dan bagaimana masa depan mereka.

Ini Jenderal Prayuth Chantra-Ocha, pemimpin junta militer, saat mengumumkan kudeta menggulingkan pemerintah  Thailand yang terpilih secara demokratis.

Tiga tahun yang lalu, pada 22 Mei 2014, anggota Parlemen berkumpul mencari solusi atas krisis politik Thailand. Tapi tak lama berselang para politisi itu ditangkap tentara dan dikirim ke kamp militer.

Jenderal Prayuth Chantra-Ocha menyatakan pemerintahan militer diperlukan untuk meredam kemungkinan kekacauan politik sebelum meletus. Tapi dia mengatakan ini akan singkat, cukup untuk memastikan stabilitas dan ketertiban. 

"Kami akan mengembalikan kebahagian Anda," katanya dan rakyat bisa melanjutkan hidup mereka seperti biasa.

Tiga tahun berlalu dan junta militer masih memerintah di Thailand.

Pipop Udomittipong adalah seorang kritikus sosial dan aktivis prodemokrasi. Baginya, hidup tidak pernah kembali normal. 

Saya bertanya padanya bagaimana kehidupan pribadinya dalam tiga tahun terakhir. “Hidup dalam bahaya sepanjang waktu. Apa pun yang saya katakan, atau tulis, bisa membuat saya masuk penjara dengan sangat mudah. Jadi saya harus menyensor diri sendiri. Saya harus menahan diri,” akunya.

Sebagai aktivis prodemokrasi, kegiatannya dipantau secara ketat. Dia masuk daftar orang yang diawasi dan dikunjungi oleh petugas keamanan seperti polisi dan militer. Tapi ini bukan keprihatinan terbesarnya.

“Investasi Langsung Asing telah berkurang selama bertahun-tahun. Secara politik, selama pemilu terus ditunda, tidak ada harapan kalau demokrasi ini bisa dipulihkan.”

Pemilu telah berulang kali ditunda sejak militer mengambilalih pemerintahan. Dan ketidakpastian politik ini berdampak besar pada ekonomi negara itu.

Bank of Thailand melaporkan investasi asing langsung turun lebih dari 90 persen pada paruh pertama 2016. Angka ini mencapai tingkat terendah dalam lebih dari satu dekade yaitu 347 juta dolar.

Awalnya beberapa warga Thailand menyambut kudeta itu. Mereka percaya politisi korup menyebabkan kekacauan dan harus dikeluarkan dari pemerintahan.

Veera Somkwamkid, pejuang antikorupsi, salah satunya. Tapi sekarang para pemimpin Junta menghadapi tuduhan serupa, katanya. “Masyarakat melihat banyak tuduhan korupsi ditujukan pada orang-orang yang dekat dengan Perdana Menteri Jenderal Prayuth. Dan mereka belum tersentuh hukum,” kata Veera.

Setelah tiga tahun, Veera belum melihat pergeseran menuju pemerintahan bersih seperti yang diharapkannya. Sebagai gantinya, aktivitasnya sebagai whistleblower dan pengacara antikorupsi dilarang. 

Dan seperti ratusan orang lain, dia ditahan dari waktu ke waktu. Rumahnya diawasi dan perwira militer berjaga di lingkungannya.

Ratusan kritikus seperti Veera dipenjara. Banyak yang menerima surat perintah untuk menghadiri sesi ‘penyesuaian sikap’ di kamp-kamp militer. Kritikus hidup dalam ketakutan.

“Siapa saja yang mengkritik pemerintah bisa dikenai tuduhan penghasutan. Undang-undang ini seharusnya digunakan untuk melindungi keamanan negara bukan melawan individu,” jelas Noppol Atchamart dari kelompok Pengacara HAM Thailand. 

Munculnya undang-undang baru memberi Junta kekuatan yang makin luas. Undang-undang Tindak Pidana Terkait Komputer Thailand yang baru membatasi kebebasan berbicara, mengizinkan pengawasan dan penyensoran dan bisa menghukum para aktivis.

Negara ini juga punya undang-undang lese-majeste yang paling ketat di dunia. Dengan ancaman 15 tahun penjara bagi siapa pun yang menghina keluarga kerajaan.

“Sebelum kudeta, hanya ada enam atau tujuh orang yang dipenjara karena undang-undang lese majeste. Tapi sekarang ada lebih dari 100 orang, sejauh yang saya tahu. Bisa jadi lebih banyak. Aturan itu dipakai secara luas dan untuk pelanggaran apa pun,” kata Noppol.

Ketika mencuri kekuasaan, para pemimpin junta berjanji akan mengembalikan demokrasi dalam tiga tahap. Pertama, rekonsiliasi nasional, lalu reformasi hukum yang komprehensif, dan terakhir memperkuat institusi demokrasi. Tapi sejauh ini hanya ada sedikit bukti tentang itu.

Sementara pemimpin Junta, Prayuth, dengan tegas membantah tuduhan yang dilemparkan kelompok HAM internasional dan kritikus dalam negeri.

“Anda bilang saya membatasi kebebasan pers. Apakah saya melakukan itu? Jawab saya! Apakah saya melanggar hak asasi manusia? Menahan dan mengumpulkan orang? Dimana kita mengumpulkan mereka? Apakah mereka berada di tempat mereka atau di barak militer? Di penjara atau di tempat lain? Apakah mereka masih ditahan? Tidak! Mereka diadili dan beberapa dapat jaminan, di mana mereka? Saya bertanya pada Anda. Tidak ada penyiksaan atau penganiayaan,” kata Prayuth.

Pemilu jidwalkan akan berlangsung tahun depan meski banyak yang merasa ini tidak akan terjadi. Hanya sedikit harapan bahwa ada perubahan dalam waktu dekat.

 

  • Kannikar Petchkaew
  • Junta militer Thailand
  • Kudeta Thailand
  • Kebebasan bicara di Thailand

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!