HEADLINE

Siapa Berhak Sita Buku?

Siapa Berhak Sita Buku?

KBR, Jakarta - Tentara Nasional Indonesia (TNI) tak berwenang menyita berbagai buku sejarah mengenai tragedi pasca 1965. Menurut praktisi hukum, Taufik Basari, penegakan hukum atau penyitaan hanya bisa dilakukan Kepolisian dan Kejaksaan. "Institusi lain dalam hukum pidana tidak punya, baik Korem, Kodim, Kodam," ujar Taufik saat dihubungi KBR, Jumat, 13 Mei 2016.

Sebelumnya di berbagai daerah, prajurit TNI menggelar aksi sweeping buku-buku yang dianggap menyebarkan ajaran komunis. Salah satunya, di Ternate. Kodim 1501 Ternate menyita buku dan kaus bergambar palu-arit dari aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Ternate, Maluku Utara.   

Atas kasus penyitaan buku belakangan tersebut, Taufik yang pernah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang PNPS No.4 Tahun 1963 dan dikabulkan ini menganggap buku tak lagi bisa dilarang sejak 2010.

"Kita harus bisa menangkap semangat putusan MK. Pada prinsipnya tidak boleh ada pelarangan buku. Harus ada jaminan berpikir dan berpendapat melalui tulisan. Tetapi jikapun ada hal yang dapat menimbulkan pernyataan kebencian, makan bisa diteliti dan dibawa ke pengadilan. Jika saat ini terjadi pelarangan, atau penyitaan, buku dijual diambil itu sudah masuk perampasan sewenang-wenang. Tanpa alasan yang cukup, tanpa izin pengadilan misalnya. Itu sudah satu pelanggaran hukum," tegasnya.

Bukan (Lagi) Rezim Larang Buku

Pada 2010, Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) melalui Direkturnya, Hilmar Farid mengajukan uji materi terhadap PNPS No.4 Tahun 1963 dan salah satu pasal di Undang-Undang Kejaksaan yang menyebutkan kewenangan pengawasan terhadap barang cetakan ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan ini tak lepas dari pelarangan buku John Roosa berjudul "Dalih Pembunuhan Massal – Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto," pada Desember 2009 silam. Buku sejarah yang berkisah tentang peran perwira tinggi TNI, Brigjen Supardjo dalam gerakan 30 September itu diterbitkan ISSI.

"(Saat itu) Kami menganggap berpotensi melanggar HAM, utamanya adalah kebebasan untuk menyatakan pendapat, pikiran dan ekspresi yang dilindungi Konstitusi. Dan memberikan ketidakpastian hukum karena memberikan kewenangan yang besar kepada institusi negara, tanpa mekanisme yang cukup untuk menguji apakah kewenangan itu dilakukan secara benar, berdasar hukum atau tidak," cerita Taufik mengenai alasan mengajukan gugatan terhadap PNPS/1963.

Lalu pada 13 Oktober 2010, Hakim Konstitusi yang dipimpin Mahfud MD mengabulkan sebagian permohonan uji materi tersebut. MK mencabut PNPS/1963 yang mengizinkan Kejaksaan melarang buku. Dengan dicabutnya kewenangan tersebut maka Kejaksaan tak lagi bisa semena-mena melarang peredaran buku. Sedangkan, gugatan terhadap pasal kewenangan pengawasan di UU Kejaksaan ditolak.

"Dalam pertimbangan MK karena PNPS sudah dicabut. Maka tidak lagi kekhawatiran kewenangan pengawasan itu berlebih. Sepanjang pengawasan diartikan sebagai pengawasan, yakni melakukan penyelidikan, penyidikan, pemantauan untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Tetap jelas kewenangannya hanya pengawasan. Jadi Jaksa tak berhak lagi melarang buku. Tetapi boleh melakukan penelitian, penyelidikan terhadap tulisan atau buku yang ada di tengah masyarakat," ungkapnya.

Menurut MK, kewenangan Jaksa Agung melarang peredaran barang cetakan, termasuk buku tanpa proses peradilan merupakan salah satu pendekatan negara kekuasaan, bukan negara hukum. Padahal dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum. Apa yang dilakukan Kejaksaan saat itu dianggap bertentangan dengan Pasal 38 KUHAP.

"Jadi setelah putusan MK tersebut, maka apabila ingin melarang terhadap buku harus melalui putusan pengadilan. Jadi pengadilan yang berhak untuk menentukan apakah buku ini terlarang atau tidak. Tidak boleh secara pihak langsung ditetapkan dilarang," ujarnya.

Namun hari ini (Jumat, 13/5), Kepolisian Ternate menetapkan dua aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Adlun Fikri dan Yunus Al Fajri sebagai tersangka. Mereka dianggap menyebarkan Komunisme, Marxisme dan Leninisme di muka publik lantaran mengunggah foto kaus bertulis PKI (Pecinta Kopi Indonesia) yang mana terdapat gambar palu-arit dalam cangkir. Setelah itu, Kodim setempat menggeledah kamar Adlun dan merampas buku-buku sejarah tragedi 1965. TNI, berdalih di balik Undang-Undang No.27 Tahun 1999 tentang perubahaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.

"(Ini hanya dalih?) Iya betul. Kalaupun mau ada penegakan hukum dalam KUHP, maka prosesnya sama seperti proses hukum tindak pidana lain dalam KUHP. Penyelidikan, ada bukti cukup, naik penyidikan, pemeriksaan saksi, lalu penuntutan. Dan terhadap orang bukan objek atau buku. Kita tidak bisa mengadili benar atau salah pikiran seseorang, tidak bisa diadili oleh intitusi negara. Ini berlaku universal. Jangan sampai kita mengulang pengalaman di negara otoriter yang semua tafsir kebenaran berasal dari negara. Kita negara demokratis, jadi tidak bisa memonopoli tafsir kebenaran," tegasnya.

Taufik pun mengaku heran dengan sangkaan Kepolisian. "Ketika seseorang disangkakan delik harus rigid apakah termasuk kejahatan. Tentu sangat tidak masuk akal, apabila seseorang yang mengenakan kaus, memiliki buku, punya simbol-simbol tertentu punya kehendak jahat. Hukum pidana dibuat untuk mneghukum si jahat. Tidak tetap. Oleh karena itu, ini tugas negara jangan biarkan phobia tyerhadap simbol komunis, palu-arit, buku-buku sejarah itu dibiarkan begitu saja, bahkan dilegitimasi seolah phobia itu harus dilanjutkan. Kita harus rasional, jangan memelihara ketakutan dan disebarkan padahal itu tidak berdasar," pungkasnya.

Editor : Nurika Manan

  • tragedi65
  • pelarangan buku
  • palu arit

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!