HEADLINE

Pledoi Setnov, Mulai dari Penyangkalan hingga Minta Harta & Hak Politik Tak Dirampas

Pledoi Setnov, Mulai dari Penyangkalan hingga Minta Harta & Hak Politik Tak Dirampas

KBR, Jakarta - Setya Novanto, terdakwa perkara korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) berkeras menyangkal pelbagai fakta hukum yang dibeberkan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam berkas tuntutan. Hal itu ia sampaikan dalam nota pembelaan atau pledoi yang dibacakan pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (13/4/2018).

Novanto membantah mengintervensi proses penganggaran proyek atau usulan pembiayaan penerapan e-KTP secara nasional. Menurutnya, proyek senilai total hampir Rp5,9 triliun itu telah direncanakan secara matang oleh pejabat Kementerian Dalam Negeri yakni Irman, Sugiharto dan Diah Anggraeni bersama Ketua Komisi II DPR Burhanuddin Napitupulu serta pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong.

"Program e-KTP sudah sangat matang dibicarakan. Sudah ada pertemuan antara Kementerian Dalam Negeri, Komisi II DPR RI melalui ketua komisi II saat itu dan Andi Agustinus selaku pengusaha yang akan mengurus anggaran untuk Komisi II DPR RI," ucap Novanto saat membacakan pledoi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (13/4/2018).

Dia mengklaim, pembahasan-pembahasan dilakukan sebelum pertemuan pertamanya dengan Andi Narogong, Irman, Sugiharto, Diah Anggraeni di Hotel Gran Melia Jakarta pada Februari 2010 silam.

"Dengan demikian, sangat jelas bahwa kesepakatan pemberian fee kepada sejumlah anggota Komisi II terjadi tanpa sepengetahuan saya."

red

Setya Novanto saat membacakan nota pembelaan, Jumat (13/4). (Foto: ANTARA)

Novanto menambahkan, menyesali telah hadir dalam pertemuan dengan Irman, Sugiharto, Diah dan Andi Narogong di Hotel Gran Melia Jakarta. Sebab kata dia, andai saja tak bersedia ditemui maka dirinya takkan terlibat dalam kasus korupsi ini.

"Mungkin saya tak akan terlibat jauh hingga menyerat saya di kursi pesakitan ini. Apalagi Johanes Marliem telah menjebak dengan merekam setiap pertemuan dengan saya," ujar Novanto.

Bukan saja menganggap dirinya sebagai korban dalam megakorupsi e-KTP ini, Novanto juga membantah tuntutan Jaksa KPK soal aliran uang dari Johanes Marliem melalui pengusaha Made Oka Masagung. Ia mengatakan, uang sebesar 3,8 juta dolar Amerika Serikat itu tak ia terima melainkan berpindah tangan ke orang lain.

"Tidak ada fakta atau bukti menunjukkan saya memerintahkan mengirimkan uang kepada Made Oka Masagung."

Baca juga:

Berdasar berkas tuntutan, Jaksa KPK menyebut Novanto menerima uang 3,8 juta USD dari Made Oka Masagung melalui rekening OCBC Center atas nama OEM Investment sebesar 1,8 juta USD dan, rekening Delta Energy sejumlah 2 juta USD.

Bantahan serupa juga disampaikannya terkait penerimaan uang sebesar 3,5 juta USD melalui keponakannya, Irvanto Hendra Pambudi. Bekas Ketua DPR itu mengatakan, hasil konfrontir pada persidangan, Irvanto mengakui menerima uang tersebut dari Iwan Barala namun peruntukkannya untuk orang lain.

"Fakta persidangan membuktikan bahwa saya tidak pernah memerintahkan Irvanto untuk menerima dan membagi uang tersebut," sangkalnya.

Dalam berkas tuntutan Setya Novanto, jaksa menyatakan berdasarkan persidangan telah dibuktikan bahwa pengiriman kepada Made Oka dan Irvanto merupakan perintah Novanto. Sehingga, menurut Jaksa KPK, tak jadi soal apakah secara fisik uang tersebut diterima atau tidak. Apalagi, lanjut uraian itu, hasil fakta persidangan menunjukkan sejak awal niat Setnov hendak mengaburkan tindak kejahatannya.

Keringanan Hukuman

Politikus Golkar itu dalam pledoinya juga memohon agar hakim meringankan hukuman. Novanto menganggap tuntutan penjara 16 tahun dari Jaksa KPK itu kelewat berat. Ia bilang, tuntutannya lebih berat dibanding terdakwa korupsi e-KTP lainnya.

"Saya bersikap kooperatif, saya masih memiliki tanggungan istri dan anak terutama yang masih bersekolah," ujar Setya Novanto.

Ia juga meminta majelis hakim untuk membuka blokir rekening dan harta keluarganya. Novanto mengklaim, harta benda yang diblokir KPK tak ada hubungannya dengan perkara korupsi e-KTP.

"Terhadap seluruh aset-aset, tabungan, giro, deposito, kendaraan, properti yang diblokir baik atas nama saya sendiri, istri saya, atas nama anak-anak saya yakni Reza Herwindo, Dwina Michaela, Gavriel Putranto, dan Giovanno Farrel agar dapat dicabut pemblokirannya karena berdasarkan fakta persidangan tidak ada kaitan langsung dengan perkara ini," katanya.

Di hadapan majelis hakim, ia juga meminta agar pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dikesampingkan. Ia mengklaim telah berkontribusi bagi negara selama 20 tahun dalam karir politiknya hingga menjadi Ketua DPR RI.

"Besar harapan saya agar pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama lima tahun terhitung sejak selesai menjalani hukuman supaya dapat dipertimbangkan lagi."

Baca juga:

Dalam kasus korupsi yang diperkirakan merugikan negara Rp2,3 triliun itu, Jaksa KPK menuntut Setya Novanto 16 tahun penjara. Jaksa meyakinkan bekas Ketua DPR itu meloloskan anggaran proyek e-KTP di Senayan pada 2010-2011. Atas perannya, Setya menerima imbalan 7,3 juta USD, sekaligus menerima jam tangan mewah seharga 135 ribu USD.

Jaksa KPK juga menuntut pidana tambahan terhadap Novanto untuk membayar uang pengganti sejumlah 7.435.000 USD. Dengan dikurangi uang yang telah dikembalikan Novanto sebesar Rp5 miliar. Selain itu, jaksa juga menuntut agar hak politik Novanto dicabut selama 5 tahun setelah menjalani hukuman penjara.

Usai sidang tuntutan pada pengujung Maret 2018, Juru Bicara KPK Febri Diansyah meyakinkan bahwa penyidikkan korupsi e-KTP tidak berhenti pada Novanto. KPK masih membidik sejumlah tersangka baru, serta kemungkinan adanya tindak pidana lain, seperti pencucian uang.

Baca juga:




Editor: Nurika Manan

  • Setya Novanto
  • KPK
  • korupsi e-KTP
  • e-KTP
  • Pledoi Setya Novanto

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!