HEADLINE

Presiden Jokowi Bicara Inpres 'Obligor BLBI' era Megawati

Presiden Jokowi Bicara Inpres 'Obligor BLBI' era Megawati


KBR, Jakarta - Presiden Joko Widodo membela langkah Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri yang menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 pada 2002. Perpres itu memberikan jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya serta tindakan hukum bagi debitur yang tidak menyelesaikan kewajiban membayarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada negara.

Inpres 8/2002 itu memberi wewenang kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengeluarkan keterangan lunas atau bukti penyelesaian bagi para obligor yang sudah memenuhi kewajibannya.


Presiden Joko Widodo mengatakan Inpres merupakan bentuk kebijakan yang harus dibedakan dengan pelaksanaannya. Jokowi mengatakan penerbitan Inpres oleh Presiden Megawati saat itu untuk menyelesaikan persoalan kredit macet BLBI.


"Yang paling penting, bedakan mana kebijakan dan mana pelaksanaan. Keputusan Presiden, Peraturan Presiden atau Instruksi Presiden itu adalah kebijakan. Kebijakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Pelaksanaan dari aturan itu masuk wilayah yang berbeda lagi. Tapi silakan detil tanyakan ke KPK," kata Jokowi usai membuka Inacraft di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (26/4/2017).


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memulai babak baru pengusutan dugaan kasus korupsi BLBI dengan menetapkan tersangka baru yakni bekas Kepala BPPN Syafruddin Arsjad Temenggung.


Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menjelaskan, Syafruddin Temenggung dianggap bertanggungjawab karena menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim. Namun KPK mencurigai ada kongkalikong di balik keluarnya SKL itu.


"KPK menemukan bukti permulaan atau dua alat bukti yang diduga tindak pidana korupsi dan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham, dalam hal ini surat keterangan lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada tahun 2004," kata Basaria.


Dalam perkara ini, BDNI selaku obligor (pemegang kewajiban pembayaran) BLBI berkewajiban menyerahkan aset kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun. Namun, ternyata Syafruddin mengeluarkan keterangan lunas, meski dari hasil restrukturisasi aset BDNI hanya senilai Rp1,1 triliun.


Basaria melanjutkan, penerbitan SKL untuk BDNI terindikasi merugikan keuangan negara senilai Rp3,7 triliun rupiah.


Pemerintah dan Bank Indonesia mengucurkan BLBI sebesar Rp144 triliun pada 1998 untuk menyelamatkan 48 bank yang terancam bangkrut akibat krisis ekonomi. Namun kredit itu diselewengkan para pemilik bank. Audit BPK pada 2000 menyebut dana BLBI yang diselewengkan dan merugikan negara mencapai Rp138 triliun.  


Baca juga:


Usut SKL lain

LSM Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mendesak KPK agar mengembangkan penyelidikan dugaan mega korupsi dana BLBI, untuk mengusut para obligor besar BLBI yang sudah mendapat surat keterangan lunas dari BLBI.


Sekjen FITRA Yenny Sucipto mengatakan pengembangan kasus tersebut bisa mengacu hasil audit BPK dimana disebutkan ada lima obligor yang dianggap layak menerima SKL. Obligor itu antara lain Salim Group (pemilik BCA), Sjamsul Nursalim (pemilik BDNI), M Hasan (BUN), Sudwikatmono (Bank Surya) dan Ibrahim Risjad (Bank RSI).


"Ada beberapa obligor yang menurut kami bisa ditersangkakan lagi. Ada lima obligor yang rata-rata belum menyelesaikan atau belum melunasi utangnya dari akumulasi total utang yang pernah diberikan kepada lima obligor ini," kata Yenny Sucipto di kantor FITRA Jakarta, Rabu (26/4/2017).


Menurut Yenny, KPK patut menetapkan tersangka kepada obligor-obligor itu, termasuk Salim Group yang jumlah utangnya sebesar Rp52,7 triliun. Selain itu, kata Yenny, KPK juga harus menjerat para tersangka dengan pelanggaran pidana pencucian uang dan koorporasi, mengingat kasus dugaan korupsi ini masuk dalam kategori luar biasa.


Yenny Sucipto juga mendesak Presiden Joko Widodo memastikan keamanan penyelidikan kasus itu agar tidak ada lagi kriminalisasi dan pengembosan kepada KPK maupun para penyidiknya.


"Kami optimis KPK bisa menyelesaikan masalah ini, meski ini akan membutuhkan waktu cukup lama. Tetapi tentu tidak serta-merta KPK harus bekerja sendiri. Penegak hukum lain yang berwenang memberantas korupsi juga harus duduk bersama. Ini bagian tanggung jawab presiden," kata Yenny.


LSM FITRA juga mendesak pemerintah agar mengelola sisa aset yang pernah ditangani BPPN supaya tidak lagi jatuh ke tangan penjahat ekonomi. Berdasarkan audit BPK, sisa aset BPPN yang kemudian diserahkan ke PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) senilai hampir Rp66 triliun rupiah.


Sebagian aset sudah dijual BPPN untuk dikembalikan ke kas negara.


Baca juga:


Editor: Agus Luqman 

  • blbi
  • kasus BLBI
  • Jokowi
  • Presiden Jokowi
  • KPK
  • korupsi
  • dana BLBI
  • Syafruddin A Temenggung
  • Sjamsul Nursalim
  • LSM Fitra

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!