BERITA

Lantik Pemimpin DPD, Ini Penjelasan MA

""Jadi konteksnya memang beda. Pelantikan Ketua DPD merupakan diskresi dari Pemimpin atau Ketua Mahkamah Agung," "

Lantik Pemimpin DPD, Ini Penjelasan MA
Ketua DPD terpilih Oesman Sapta Odang (kedua kiri) bersama Wakil Ketua I Nono Sampono (kiri) dan Wakil Ketua II Darmayanti (ketiga kiri) diambil sumpah jabatan oleh Wakil Ketua MA Bidang Yudisial M. S


KBR, Jakarta- Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi Sujono mengklaim, keputusan melantik Pemimpin Dewan Perwakilan Daerah (DPD)  idasari pertimbangan yang matang. Ia menolak berkomentar mengenai anggapan sejumlah pihak yang menyebut MA melanggar aturannya sendiri terkait pelantikan itu.

Kata Suhadi, sesuai amanat Undang-undang, melantik atau mengambil sumpah jabatan pemimpin DPD merupakan diskresi dari Ketua MA.

"Yang diatur di situ Ketua Mahkamah Agung melantik atau mengambil sumpah pejabat yang dilantik. Sedangkan Judicial Review itu merupakan tugas dari Mahkamah Agung untuk mengadili perkara yang bersangkutan. Jadi konteksnya memang beda. Pelantikan Ketua DPD merupakan diskresi dari Pemimpin atau Ketua Mahkamah Agung," kata Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi Sujono, Rabu (05/04).


Sebelumnya  sejumlah anggota DPD menggugat Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tatib, yang salah satu poinnya adalah pemotongan masa jabatan pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun ke MA.


Peraturan DPD ini digugat oleh 10 anggota DPD, di antaranya Emma Yohana, Eni Khairani, Denty Eka Widi Pratiwi, Haafidh Asrom, Ahmad Subadri, Marhany, Anna Latuconsina, dan Djasermen Purba. Mereka merasa dirugikan oleh peraturan tersebut. Atas hal itu, mereka mengajukan judicial review ke MA dan dikabulkan. Meski memenangkan gugatan, MA melantik Oesman Sapta sebagai Ketua DPD.

Menanggapi kontroversi pelantikan itu, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menyatakan seharusnya Mahkamah Agung tidak   melantik Oesman Sapta Odang (OSO). Ketua PSHK Bivitri Susanti menyatakan MA sebelumnya sudah mencabut Tatib DPD tentang masa jabatan ketua 2,5 tahun. Sehingga ketua baru bisa dipilih usai 5 tahun yakni pada 2019.


Kata dia, sikap MA harus konsisten dengan putusannya sendiri.


"Seharusnya MA tidak bertentangan dengan putusan yang sudah diputuskannya sendiri," terangnya kepada KBR, Rabu (5/4/2017) siang.


"Saya kira harusnya dia menolak undangan untuk melantik ini, karena tidak sesuai dengan putusan MA sendiri," tambahnya lagi.


Bivitri menambahkan, fungsi pelantikan dan putusan MA tidak bisa dipisahkan.


"Sebuah lembaga harus dilihat secara utuh dalam konteks hukum," jelasnya lagi.


Dia melihat ada kemungkinan lobi OSO yang kuat dalam pelantikan ini. Dia melihat waktu pelantikan sangat cepat dan susunan argumentasinya mirip.

 

 

Sementara itu bekas pemimpin DPD Mohammad Farouk menyatakan tengah menyiapkan tim untuk mengajukan gugatan hukum. Menurut Farouk, tim yang terdiri dari ahli hukum dan tata negara itu sedang mempelajari celah hukum terkait pengangkatan Oesman Sapta.

"Kita sedang disiapkan oleh tim, ada tim untuk melakukan langkah hukum. Nanti mereka akan pelajari, langkah hukum apa yang bisa dilakukan. Walau pun kita sebenarnya kalau sekadar langkah hukum, kalau begini saja itu bisa dikerjain oleh Mahkamah Agung apalagi kita mau bikin lagi. Apa yang bisa kita percayai lagi pada lembaga itu," ujar bekas Pemimpin DPD Mohammad Farouk kepada KBR, Rabu (5/4/2017).

Mohammad Farouk menambahkan, pasca pelantikan Oesman Sapta sebagai Ketua DPD yang melanggar aturan membuat internal DPD pecah. Kata dia, ada anggota yang menolak keras dan ada juga yang tidak peduli dengan nasib lembaga DPD.

"Jelaslah pecah, ada sebagian anggota yang cari nyaman dan aman, dari pada repot, ikut. Apalagi seperti yang dijanjikan oleh pendukung-pendukung, nanti kalau pilih itu dapat keuangan yang lebih baik lagi," ujarnya. 

Editor: Rony Sitanggang

  • Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi Sujono

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!