OPINI ANDA

Panama Papers, Harapan Baru Sebuah Gerakan Sosial

Panama Papers, Harapan Baru Sebuah Gerakan Sosial

Dosen saya Natalie Fenton bilang, gerakan sosial itu butuh momentum. Lalu Manuel Castell menyambung, untuk berhasil, sebuah gerakan sosial harus bisa menempatkan isu pada konteksnya, seperti isu lokasi dan kepentingan masyarakat. Banyak yang diamini oleh Fenton sebagai alasan untuk marah, gemas dan cemas yang kemudian mendesak terjadinya sebuah perubahan bersama.

Ketika Julian Assange membongkar dokumen rahasia milik militer Amerika dan publikasi di Wikileaks, dia diserang habis-habisan secara pribadi, sampai harus bersembunyi di kantor Kedutaan Besar Ekuador di London, Inggris. Wikileaksnya tetap jalan, meski terus dipertanyakan soal kebenarannya. Lalu Edward Snowden, NSA Wistleblower muncul, dia menyertakan satu wartawan, satu surat kabar. Dia percaya media bisa menimbang mana kepentingan umum dan bukan, mana yang bisa membahayakan orang banyak dan bukan. Hasilnya, tetap persona yang diserang. Snowden dianggap pengkhianat, Greenwald (jurnalis Guardian) dijatuhkan reputasinya dianggap bukan jurnalis dan lebih activis, Guardian dikecam pemerintah Inggris bahkan semua dokumen dihancurkan. Silakan lihat di film dokumenter Citizen Four bagian terakhir.

Apakah status quo berubah? Tidak. Mass surveillance terus terjadi, kita tanpa sadar menyerahkan diri untuk diawasi lewat aktivitas yang menyangkut digital, dari gesekan kartu kredit, ATM, telepon, email. Dunia tidak banyak berubah sejak Michael Foucault (1979) menggunakan istilah Panapticon, penjara bundar untuk mengawasi narapidana dengan harapan bahwa narapidana berubah kelakuannya menuruti aturan dan norma yang berlaku. 

Mark Poster, yang banyak mempelajari pemikiran Foucault, lalu membawa gagasan Panapticon ke dalam dunia digital; bahwa kita sedang diawasi baik disadari mau pun tidak, meski tidak dalam sebuah ruangan bersama mereka yang mengamati kita. Istilah yang dia gunakan adalah Superpanapticon, pada situasi kita memiliki banyak identitas yang melekat dan dibagi dalam bentuk code database, mulai data pribadi sampai minat belanja. Data ini disebarkan kembali kepada pengiklan dan tentu saja pemerintah/militer. Baik induk ide Panapticon maupun Superpanapticon, tujuannya sama: mengendalikan massa, mengawasi mereka untuk kepentingan negara dan pemilik modal.

Ketika bicara tentang surveillance maka yang ditantang adalah hak privasi kita sebagai hak paling dasar sebagai manusia. Kita mestinya berhak menolak untuk memberikan semua data yang berkaitan dengan internet, kita bisa minta data pribadi dihapus. Tapi bisakah? Tentu tidak. Sebagai warga biasa kita ‘dipaksa’ pasrah untuk ini. Penulis George Orwell bilang, "Big Brother is watching you" alias ada yang selalu mengawasi. Snowden dalam konferensi di Silicon Valley mengatakan, ini salah kita yang dibesarkan dengan buaian keTuhanan dan tidak pernah ada yang salah dengan itu. Ketika "Big Brother" dianggap sebagai kekuatan absolut seperti ‘Tuhan’, kita dibuat pasrah tanpa bertanya. Tapi itu sudah tidak berlaku lagi.

Foucault bilang kekuatan atau power harus terus dipertanyakan, ditantang untuk selalu berevolusi menjadi lebih baik. Para hacker dan whistleblower bersatu untuk menentang kekuatan Big Brother, terus berusaha membocorkannya untuk kepentingan umum. Untuk memberitahu bahwa privacy dan surveillance itu bermata dua, tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Bahwa 1% populasi di dunia yang bernama elit penguasa dan pengusaha itu berhak menyembunyikan uangnya dari pajak yang mestinya bisa digunakan untuk pembangunan di negara masing-masing. Bahwa betapa tidak adilnya mereka pada kita yang terlahir dengan segala beban pajak, mulai biaya lahir, sampai mati.

Miccah White, co-founder Occupy mengatakan, ketika gerakan Occupy distrik finansial di 82 negara tahun 2011 saja belum mampu mengubah keadaan dunia (barangkali hanya mengguncang media). Tapi apa kita putus asa lalu berhenti mempertanyakan keadilan di tangan para pemegang kekuasaan? Tentu tidak.

Mari lihat Panama Papers, dokumen yang tersimpan rapi 40 tahun, berjumlah 11,5 juta files, 2,6 terrabytes data dari perusahaan jasa firma hukum keempat terbesar di dunia, Mossack Fonseca tersebar. Ini adalah yang terbesar dalam sejarah manusia, sejarah hackactivsm. Yang paling membuat saya kagum adalah bagaimana Panama Papers bisa melibatkan para jurnalis yang punya reputasi internasional untuk melakukan investigasi terhadap data di dalamnya secara rahasia selama satu tahun! 'Ini global Leaktivism' menurut Miccah White.

Karena isunya langsung menyentuh negara-negara dimana para klien mereka berasal, perubahan terasa besar. Sepuluh ribu orang turun ke jalan di Islandia, memaksa Perdana Menteri Sigmundur Gunnlaugsson mundur. Perdana Menteri Inggris, David Cameron di halaman depan surat kabar akhirnya mengakui menggunakan dana yang disimpan ayahnya di perusahaan tersebut. Meski mengaku dan juga mengklaim diri sebagai pembayar pajak yang baik, itu tidak menurunkan desakan publik untuknya mundur. Tagar #resigncameron pun jadi trending trend di Twitter sejak kemarin. Di Indonesia, nama-nama penguasa dan penguasaha mulai bikin gerah publik. Media seperti Tempo yang ikut serta dalam investigasi Panama Papers tentu sebaiknya terus mempublikasi hasil temuannya.

Kali ini "Big Brother" akan kerepotan menghentikan gerakan ini - karena tak hanya satu media, tapi ratusan media seluruh dunia memantau isu ini. Semangat baru, harapan baru bagi gerakan sosial, yang ada di lapangan maupun di layar 14 inchi, bahwa kita sama-sama punya tanggungjawab untuk memantau isu ini, untuk kepentingan bersama.

Sebagai penutup, Edward Snowden dalam balasan twitternya kepada saya mengatakan, "Sekalipun kita sadar diawasi, jangan pernah berhenti menyampaikan pesan."

Penulis adalah mahasiswa peraih beasiswa Chevening 2015/2016 yang sedang menyelesaikan studi MA Political Communication di Goldsmiths, University of London.

  • Panama Papers

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!