BERITA

Lawan Penggusuran Luwuk, 4 Nelayan Jadi Tersangka Penyerangan

Lawan Penggusuran Luwuk, 4 Nelayan Jadi Tersangka Penyerangan

KBR, Jakarta - Polisi menahan dan menetapkan empat tersangka pasca penggusuran lahan di Tanjung Sari, Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah berakhir ricuh. Antara lain Laisen (22), La Usu (53), Firman (23) dan Hamza Kadir (26).

Juru bicara Polda Sulawesi Tengah Herry Murwono mengatakan keempatnya diduga menyerang petugas, merakit dan menggunakan bom molotov ketika penggusuran terjadi.

"Dalam situasi eksekusi kemarin yang bersangkutan melempar. Jadi kalau ada yang bilang kena tembak (polisi), enggak ada itu. Itu kena batu sendiri, kena lempar temannya," ujar Herry saat dihubungi KBR, Kamis (22/3/2018).

Polisi menggunakan Undang-undang Darurat No 12 tahun 1951 pasal 1 tentang kepemilikan bahan peledak. Selain itu, dua nelayan juga dijerat dengan Undang-undang KUHP pasal 212 tentang perbuatan melawan aparat penegak hukum kekerasan terhadap petugas serta pasal 213 tentang paksaan dan perlawanan.

Menurut Herry, barang bukti yang disita petugas adalah bom molotov, bom ikan, batu, bambu runcing, serta bola tenis yang diisi kawat. Empat orang itu masih diperiksa di markas polisi Banggai. Sementara 22 orang lainnya yang juga sempat diperiksa masih berstatus wajib lapor.

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/terkini/03-2018/eksekusi_sengketa_lahan_luwuk__seribuan_warga_telantar/95453.html">Eksekusi Lahan di Luwuk, 1000an Warga Telantar</a>&nbsp;<br>
    
    <li><b><a href="http://kbr.id/03-2018/sengketa_lahan_di_banggai__dituding_hambat_warga_ini_penjelasan_polda_sulteng/95440.html">Polisi Bantah Batasi Akses Warga Luwuk Peroleh Makanan</a>&nbsp;</b><br>
    

Penggusuran lahan di Tanjung Sari, Luwuk, Sulawesi Tengah Senin (19/3/2018) lalu berujung rusuh. Warga menolak eksekusi karena mengantongi sertifikat hak milik. Sementara kepolisian dan pengadilan berkeras tetap menjalankan penggusuran berdasar putusan Mahkamah Agung yang, memenangkan pihak keluarga Salim Albakar atas tanah di Luwuk.

Juru bicara Polda Herry Murwono mengatakan polisi belum ditarik dari tempat kejadian. Dia berdalih hal tersebut dilakukan guna menjaga lokasi penggusuran karena masih ada alat berat yang membersihkan puing-puing bangunan.

"Petugas mengamankan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Nanti kalau lihat kondisi situasi aman, bisa kembali seperti semula. Sambil memonitor situasi."

Dikutip dari laman Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), penggusuran terhadap Warga Tanjung Sari yang diwarnai tindakan represif aparat sudah berkali terjadi. Mulanya, pada pertengahan Mei 2017 lalu setelah Pengadilan Negeri (PN) Luwuk memutuskan untuk mengeksekusi rumah-rumah warga.

Baca juga:

Pada eksekusi kedua yakni 24 Januari 2018, menurut Koordinator KPA Wilayah Sulteng Noval Apek, ratusan warga dihadapkan dengan aparat gabungan polisi dan TNI. Penggusuran ini buntut dari gugatan panjang sengketa lahan antara dua pihak ahli waris. Namun, pelaksanaan eksekusi di lapangan mengalami perluasan objek perkara. Sehingga, menurut KPA, penggusuran meluas turut mengenai lahan warga lain yang telah memiliki setifikat.

Cacat hukum penggusuran itu juga ditunjukkan adanya Surat BPN RI Kantor Wilayah Sulteng nomor 899/72/VI/2017 perihal penjelasan eksekusi tanah di Kelurahan SImpong, Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia perwakilan Sulawesi Tengah juga turun menyelidiki masalah ini. Sejumlah pelanggaran proses hukum dan administrasi pun ditemukan. Di antaranya keputusan Ketua PN Luwuk Nanang Zulkarnain yang dinilai mengesampingkan putusan sebelumnya. Selain itu, Komnas HAM juga mencatat bahwa aparat bersikap represif dan melampaui kewenangan pengadilan.




Editor: Nurika Manan

  • tanjung sari
  • luwuk
  • sengketa Luwuk
  • konflik lahan
  • konflik agraria
  • konflik Luwuk
  • kriminalisasi
  • Polda Sulawesi Tengah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!