BERITA

Uji Publik KLHS Pantai Utara Jakarta, Ahli: Birokrat Jadi Pejuang Pengembang

""Ngga ada, ngga akan, ngapain capek-capek. Ngapain protes-protes. Kita kan hanya mengingatkan saja. Birokratnya ngotot untuk jadi pejuang pengembang, ya sudah,""

Uji Publik KLHS Pantai Utara Jakarta, Ahli: Birokrat Jadi Pejuang Pengembang
Pulau hasil reklamasi di teluk Jakarta. (Foto: Antara)


KBR, Jakarta- Ahli hidrologi ITB   menilai percuma memberikan masukan tertulis soal reklamasi Teluk Jakarta. Ahli hidrologi ITB Muslim Muin   menyebut tidak akan memberikan masukan tertulis soal itu. Meskipun dalam uji publik KLHS Pantura Jumat lalu, dirinya tidak bisa hadir.

Muslim merupakan salah satu ahli yang dimintai masukannya soal proyek reklamasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenkomaritim), Bappenas dan Kementerian kelautan dan Perikanan (KKP).

Menurutnya, semua masukan sudah disampaikan, termasuk soal urgensi pembangunan 17 pulau di Teluk Jakarta yang banyak merugikan lingkungan.


"Ngga ada, ngga akan, ngapain capek-capek. Ngapain protes-protes. Kita kan hanya mengingatkan saja. Birokratnya ngotot untuk jadi pejuang pengembang, ya sudah," ujarnya.


Muslim mengaku kecewa dengan prosedur undangan yang dilakukan Pemprov DKI. Selain waktu undangan yang mepet, undangan via email itu juga tidak ada pemberitahuan dan jadwal acara. Dalam undangan juga tak diselipkan rangkuman KLHS pantura tersebut. Dia pun menuding Pemprov sengaja melakukan hal tersebut.


"Gimana mau datang, undangan jam 7 malam, acaranya jam 8 pagi. Itu mah ngga niat ngundang. Saya juga tidak menerima draf  apapun. Biasanya beberapa hari sebelumnya dikasih tahu. Biasanya juga TOR, ini mau yang didiskusikan. Ini mah udah main politik," ujarnya.


Surat undangan uji publik tersebut mencantumkan nama beberapa pakar yang sebelumnya mengkritisi pelaksanaan proyek reklamasi Jakarta. Ada beberapa nama selain Muslim Muin, yakni pendiri RUJAK Center for Urban Studies Marco Kusumawijaya dan ahli oseanografi IPB Alan Koropitan. Namun, keduanya juga urung hadir karena tengah berada di luar kota.


Jumat kemarin, Pemprov DKI Jakarta menggelar uji publik KLHS Pantura. Pemprov memamparkan sejumlah kajian. Salah satunya soal kontribusi perusahaan untuk pantai publik.


Pemerintah mewajibkan perusahaan memberikan 10 persen dari tiap luasan pulau reklamasi, dan lima persen dari luas total reklamasi untuk sarana publik. Terkait itu, Muslim berujar reklamasi yang lahannya gratis dari pemerintah, kemudian diminta lagi pemerintah, akan percuma, jika tidak memperhatikan dampak dari reklamasi. Yang dirugikan, ujar dia adalah warga Jakarta. Sementara yang diuntungkan adalah pengusaha.


"Reklamasi itu buat apa? Untuk DKI? Nelayan apa? Tidak jelas. Malahan menyebabkan banjir atau apa, reklamasi 17 pulau. Ngga pengaruh ada kontribusinya juga," ujarnya


Dalam kajiannya, Ketua Kelompok Keahlian Teknik Pantai Institut Teknologi Bandung itu menyebut reklamasi 17 pulau hanya akan memperparah ancaman banjir. Reklamasi juga bukan solusi penurunan tanah di Jakarta.  Reklamasi, kata Muslim, akan menghambat aliran 13 Sungai ke Teluk Jakarta. Sungai akan makin panjang dan arus sungai melambat.


Jika reklamasi diteruskan, maka Jakarta harus membangun Tanggul Laut Raksasa (Giant Sea Wall). Sementara GWS punya dampak besar bagi lingkungan sekitar. Semisal PLTU harus pindah, Jakarta juga akan kehilangan sumber daya laut, pelabuhan harus tutup dan nelayan harus pindah. Belum lagi biaya operasi yang sangat besar.


Sementara itu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jakarta mengklaim kehadiran uji publik Kajian Lingkungan Hidup Strategis Raperda  Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis (RTR KS) Pantura mencapai lebih dari 90 persen. Kepala Bappeda Tuty Kusumawati  pun menjelaskan semua pihak yang selama ini memberikan suara-suaranya baik melalui media maupun berbagai forum, telah diberikan undangan supaya dapat memberikan masukannya.

 

“Ya kalau kemarin lihat ruangan sampai penuh ya dan dari absensi yang ada kan ini menandakan mayoritas itu hadir dan keterwakilan-keterwakilan itu sudah memadai jadi artinya banyak yang hadir ya. Yang kami undang itu banyak sekali sampai di ruang itu cukup penuh dan dari daftar hadir yang kami miliki itu dari berbagai stakeholders yang kita undang mayoritas hadir diprosentasekan di atas 90 ya di atas 95 persen bahkan itu hadir,” tegas Tuty kepada KBR, Minggu (12/5/2017).

 

Meski beberapa pakar mengaku tak dapat menghadiri uji publik yang digelar Bappeda Jakarta, namun Tuty mempersilakan mereka untuk memberi masukan tertulisnya hingga batas waktu Senin (13/3/2017) ini.

 

"Kita masih buka waktu sampai Senin silakan kalau mau memberikan tanggapan tertulis dan setelah itu kan saya juga harus terus memproses lanjut dengan memintakan validasi dari Kementerian LHK. Jadi proses KLHS ini masih panjang habis ini saya minta validasi dari Menteri LHK jadi kalau memang masih mau memberikan masukan-masukan tertulisnya silahkan saya tunggu sampai Hari Senin,” ujarnya.

 

Ia mengklaim rancangan KLHS   telah mengakomodir kebutuhan para nelayan tradisional Teluk Jakarta.

 

“Jadi rancangan-rancangan komprehensif  kita ke depan untuk menyejahterakan warga ini tidak kita beda-bedakan mana warga pesisir mana di daratan lainnya ya sebenarnya semuanya sudah masuk dalam rancangan kami. Bahkan untuk rumah tinggal mereka itu 36 meter persegi sudah kita rancang di Muara Angke itu misalnya kita akan bangun rumah susun 6 blok yang kurang lebih 680 KK bisa tertampung di sana. Sisanya dimana ya kita coba cari lagi lahan-lahan yang bisa segera kita bangun juga di sekitar-sekitar situ,” pungkasnya.   


Dampak Sosial


Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meminta penyusunan KLHS Pantai Utara  yang dilakukan pemerintah provinsi DKI Jakarta memprioritaskan dampak sosial ekonomi nelayan. Menurut Direktur  pencegahan dampak lingkungan kebijakan wilayah dan sektor KLHK Laksmi Wijayanti mengatakan, masalah nelayan menjadi hal utama yang wajib masuk dalam pengkajian KLHS reklamasi pantai utara Jakarta. Termasuk mengantisipasi dampak sosial ekonomi nelayan yang terancam dirugikan apabila reklamasi dilakukan.

"Terutama KLHK menggaris bawahi betul persoalan nelayan. Itu selalu jadi persyaratan dasar, bahwa semua tidak akan visible kalau persoalan dampak sosial nelayan tidak diselesaikan dulu baru itu bisa dilanjutkan. Seharusnya itu yang menjadi kajian dalam KLHS-nya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, persoalan nelayan, sorotan kami tidak semata-mata soal tempat tinggal. Tetapi juga kepastian sosial ekonomi. Kami selalu menganggap, ketika membuat kebijakan kuncinya adalah dialog atau kesepakatan," ujar Direktur pencegahan dampak lingkungan kebijakan wilayah dan sektor KLHK Laksmi Wijayanti kepada KBR, Minggu (12/3/2017).

Dia juga meminta seluruh pihak untuk konsisten dalam hal penyusunan KLHS dan implementasi. Karena kata dia, implementasi dari KLHS seringkali berbeda dalam pelaksanaanya.

"Misalnya secara gambar bagus nelayan dipindahkan, tetapi dalam implementasinya  tidak dilaksanakan dengan baik. Maka tetap saja nelayan tidak diperhatikan dan tidak didengarkan, saya kira itu yang menjadi catatan kami," ujarnya.

Lebih lanjut Laksmi menambahkan, persoalan Teluk Jakarta adalah proses penyelamatan Teluk Jakarta itu sendiri, ada potensi banjir dari darat dan Robb karena pemukaan daratan Jakarta yang turun. Sehingga, program reklamasi teluk Jakarta harus terintegrasi dengan proyek NCICD yang sedang digagas pemerintah pusat.

"Sejak bulan Juni, Menteri LHK sudah menyatakan bahwa harus kerangkanya penyelamatan Jakarta, berarti diintegrasikan dengan NCICD. Jadi ini ada dua hal yang pararel sedang diselesaikan, satu lagi adalah kebijakan NCICD yang baru kemarin 4 menteri disepakati untuk dilanjutkan visibilitynya," katanya.

Editor: Rony Sitanggang 

  • Kepala Bappeda Tuty Kusumawati
  • Direktur pencegahan dampak lingkungan kebijakan wilayah dan sektor KLHK Laksmi Wijayanti
  • reklamasi teluk jakarta

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!