BERITA

Sidang Dugaan Korupsi E-KTP, Saksi Bantah Terima Uang

""Saya diancam Pak. (Diancam seperti apa?) Itu yang terjadi. (Diancam seperti apa?) Sama penyidik tiga orang. Pakai kata-kata Pak.""

Ade Irmansyah

Sidang Dugaan Korupsi E-KTP, Saksi Bantah Terima Uang
Ilustrasi: Aksi di depan kantor KPK menuntut penuntasan kasus dugaan korupsi KTP elektronik. (Foto: Antara)


KBR, Jakarta- Politisi Partai Hanura, Miryam S Haryani ditegur oleh Ketua Majelis Hakim Jhon Halasan Butarbutar  saat menjadi saksi dugaan korupsi KTP elektronik.  Miryam dianggap berbohong karena tidak mengakui seluruh keterangan berita acara pemeriksaan (BAP) yang   sudah dia tanda tangani.

Miryam mengatakan keterangan pada BAP tersebut semua tidak benar. Dia hendak mencabut keterangannya di BAP tersebut. Kata Miryam, saat pembuatan dia ditekan dan diintimidasi oleh tiga orang penyidik KPK. Karena merasa takut dan terancam, akhirnya dia mengiyakan semua pertanyaan penyidik tersebut.


Namun majelis hakim tidak begitu saja memercayai keterangan Politisi Partai Hanura tersebut.  Secara bergantian, Majelis Hakim menegaskan kembali soal siapa yang menyusun isi dalam BAP tersebut yang dianggapnya sangat sistematis dan detil. Namun dia hanya bilang tidak tahu sambil menangis.


Majelis Hakim bahkan sempat mengancam bakal mengonfrontir Miryam dengan penyidik yang memeriksanya saat itu.


"Saya diancam Pak. (Diancam seperti apa?) Itu yang terjadi. (Diancam seperti apa?) Sama penyidik tiga orang. Pakai kata-kata Pak. Yang satu namanya Pak novel, yang dua lagi saya lupa. Waktu saya baru duduk dia sudah bilang begini Pak, ibu tahun 2010 sebenarnya sudah mau saya tangkap. Saya tertekan sekali Pak. (Tapi ini keterangan runtun sekali, ini jawaban siapa?) Saya tertekan pak," ujarnya  saat menjadi saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (23/03).


Miryam juga membantah telah menerima sejumlah uang terkait proyek pengadaan e-KTP. Menurut diia tidak ada praktek bagi-bagi uang kepada sejumlah anggota dewan dalam proses penganggaran proyek tersebut.


Sebelumnya, didalam dakwaan, Miryam diduga menerima uang sebesar 23 ribu dolar Amerika Serikat dalam proyek tersebut.

Miryam juga disebut-sebut memiliki peran sentral dalam praktik bagi-bagi uang dari proyek senilai 5,9 triliun rupiah tersebut.


Pada  Mei   2011, misalnya, politisi Partai Hanura yang kini duduk di kursi komisi V DPR itu disebut-sebut menerima uang dari terdakwa Sugiharto. Transaksi tersebut dilakukan setelah komisi II dan Kemendagri menggelar rapat dengar pendapat (RDP). Saat itu, Miryam mewakili Chaeruman Harahap (ketua Komisi II saat itu) meminta uang sebesar 100 ribu dolar Amerika Serikat kepada terdakwa Irman.


Uang itu untuk membiayai kunjungan kerja (kunker) komisi II ke beberapa daerah. Irman saat itu menyuruh Sugiharto meminta uang ke Achmad Fauzi, Direktur PT Quadra Solution yang merupakan satu di antara lima anggota konsorsium Percetakan Negara RI (PNRI).


Bantahan juga disampaikan 2 orang bekas pemimpin Komisi Dalam Negeri DPR, Teguh Juwarno dan Taufik Effendi.  Keduanya  membantah menerima uang   dalam proses penganggaran Proyek Pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis Elektronik (e-KTP) di DPR.


Politisi Partai Amanat Nasional (PAN), Teguh Juwarno mengatakan, dirinya sudah tidak lagi menjadi anggota Komisi II saat proses itu berlangsung. Dia mengaku hanya sekitar 11 bulan menjadi anggota Komisi II dari November 2009 hingga September 2010. Dalam kurun waktu itu dia mengaku tidak pernah ikut rapat pembahasan proyek tersebut dengan alasan tengah menjalani perawatan usai operasi dibagian kaki.


Sebelumnya dalam dakwaan, politisi Partai Hanura, Miryam S Haryani menyebut pada Agustus 2012 telah memberikan sejumlah uang kepadanya dalam kapasitasnya sebagai pemimpin  Komisi II.


"(Ini pertanyaan pahit, tapi harus saya sampaikan, apakah anda pernah menerima uang terkait proyek e-KTP ?) Tidak pernah yang mulia. (Pernah dengar ada bagi-bagi uang di Komisi II?) Tidak tahu yang mulia," Ujarnya usai menjadi saksi dalam persidangan ketiga Kasus Korupsi E-KTP, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.


Tak jauh berbeda dengan Teguh, bekas Wakil Ketua Komisi Dalam Negeri dari Partai Demokrat, Taufik Effendi juga membantah telah menerima alira dana suap dari kasus korupsi yang diduga merugikan keuangan negara sebesar 2,3 trilliun rupiah tersebut.


Alasannya saat itu   lebih fokus mengurusi Undang-undang Aparatur Sipil Negara mengingat posisinya  merupakan ketua Panja. Meski demikian, dia sempat beberapa kali menghadiri rapat-rapat komisi saat membicarakan rencana penganggaran proyek e-KTP.


"Saya lebih banyak membahas masalah Aparatur Sipil Negara (ASN) karena saya Ketua Panja-nya," ucapnya.


Dalam persidangan pembacaan dakwaan dua pekan lalu, Jaksa Penuntut Umum KPK Iriane Putrie menyebut nama Teguh Juwarno. Kata dia, teguh diduga menerima aliran dana 167 ribu dolar Amerika Serikat. Uang tersebut diberikan kepadanya secara bertahap dalam beberapa waktu.


Begitu juga dengan Taufik, dia dalam dakwaan telah menerima uang sebesar 103 ribu dolar Amerika Serikat.


Pada September hingga Oktober 2010, pelaksana proyek e-KTP, Andi Agustinus alias Andi Narogong memberikan sejumlah uang kepada anggota DPR RI agar Komisi II dan Badan Anggaran DPR RI menyetujui anggaran untuk proyek pengadaan dan penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional. DPR RI akhirnya menyepakati anggaran proyek e-KTP sesuai rencana 2010, yaitu 5,9 triliun rupiah.


Dari anggaran itu, sebesar 51 persen atau sebesar 2,6 triliun rupiah lebih digunakan untuk belanja modal atau belanja riil pembiayaan proyek e-KTP. Sedangkan 49 persen atau sebesar 2,5 triliun rupiah lebih dibagi-bagi ke sejumlah pihak, termasuk anggota Komisi II DPR RI dan Badan Anggaran DPR RI.


Editor: Rony Sitanggang

  • Politisi Partai Hanura
  • Miryam S Haryani
  • korupsi ktp elektronik
  • Ketua Komisi BUMN DPR Teguh Juwarno
  • bekas Wakil Ketua Komisi Dalam Negeri dari Partai Demokrat
  • Taufik Effendi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!