BERITA

Negosiasi dengan Freeport, Luhut Syaratkan 3 Hal ini Tak Ditawar

""Saya bikin analogi kepemilikan daripada Freeport itu kan 2021 selesai. Kau kan menyewa rumah kita, dan kau sudah menyewa dan kita nggak mau lagi disewa, boleh kan?""

Negosiasi dengan Freeport,  Luhut Syaratkan 3 Hal ini Tak Ditawar
Ilustrasi: Aksi menolak Freeport di kantor perwakilan PBB di Jakarta. (Foto: KBR/Ade I.)


KBR, Jakarta- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan menyatakan ada tiga hal yang tak boleh ditawar PT. Freeport Indonesia saat negosiasi. Luhut menyebut   divestasi saham, pembangunan smelter, dan ketentuan perpajakannya.

Luhut mengatakan, dalam negosiasi itu Freeport harus tunduk pada ketentuan yang dibuat pemerintah. Meski begitu, kata Luhut, sejauh ini negosiasi pemerintah dengan Freeport berjalan mulus.

"Negosiasi Freeport, saya kira cukup maju perundingan. Saya bikin analogi kepemilikan daripada Freeport itu kan 2021 selesai. Kau kan menyewa rumah kita, dan kau sudah menyewa dan kita nggak mau lagi disewa, boleh kan. Opsi, opsi kan boleh saja. Tetapi sekarang kita lakukan, kita enggak. Kita negosiasi ini. Tetapi negosiasi jangan kamu dong yang mengatur kami. Kami dong yang mengatur," kata Luhut di kantornya, Jumat (24/03/17).


Luhut mengatakan, saat ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tengah memfinalisasi urusan legal dengan Freeport. Kata dia, dalam negosiasi itu, pemerintah memastikan tiga hal yang tak boleh dinego oleh Freeport. Pertama, soal kewajiban divestasi saham 51 persen untuk pemerintah. Kata Luhut, dengan komposisi kepemilikan saham 51:49, nantinya Freeport akan dikelola secara joint management, dengan pucuk pemimpin dari Indonesia.


Kedua, soal kewajiban membangun lokasi pemurnian atau smelter. Kata Luhut, pemerintah tak akan mundur dalam mendesak perusahaan pertambangan membangun smelter. Adapun yang ketiga, mengenai kewajiban pajak Freeport yang akan berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing).

Kata Luhut, ketentuan pajak itu sebetulnya menguntungkan Freeport, karena kecenderungan tarif pajak saat ini yang menurun. Menurut Luhut, itu lebih menguntungkan ketimbang skema pajak tetap.

Bagi Hasil

Lembaga Musyawarah Adat Amungme (Lemasa) mengusulkan pemerintah tidak memberikan Papua 5% saham Freeport, melainkan menerapkan bagi keuntungan. Ketua Lemasa Odizeus Beanal mengatakan   pembagian saham tidak masuk akal. Karena saham tersebut harus dibeli dengan uang yang besar.

Kata dia pemerintah belum menjelaskan dari mana uang tersebut akan diambil.

“Kita pikir itu haknya pemerintah kalau pemerintah mampu membeli saham itu lewat APBN atau APBD. Tapi sebenarnya bagi kami itu tidak masuk akal,” terangnya kepada KBR, Jumat (24/3/2017) sore.

“Bagaimana kalau kita sharing profit saja? Karena kita kan warga miskin tidak mampu beli saham. Dari pada masyarakat harus setiap hari lihat bursa efek naik-turun emas, lebih baik profitnya yang itu kita share,” tambahnya.


Odizeus menambahkan, besaran bagi keuntungan itu bisa disepakati kemudian. Yang jelas, kata dia, masyarakat adat harus mendapatkan bagian yang pantas karena merekalah pemilik tanah Papua.

Kata dia, pemerintah juga perlu memperhatikan masyarakat adat sebagaimana diatur dalam UU Otonomi Khusus Papua dan UU Minerba.

“Kedua UU itu mengakomodir kepentingan masyarakat adat pemilik hak ulayat yang harus dihargai oleh negara dan siapa pun,” tandasnya.


Pihaknya meminta bertemu tripartit dengan pemerintah dan Freeport. Kata dia, hanya dengan pertemuan langsung, win-win solution bisa dicapai. 


Editor: Rony Sitanggang

  • Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan
  • PT Freeport Indonesia

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!