SAGA

[SAGA] Anak Patmi: Ibu Pamit untuk Berjuang, Membela Tanah Air Sendiri

"“Kemarin itu ibu berangkat tidak ada paksaan, sudah pamit pada keluarga. Keluarga juga mengizinkan, karena katanya pamit untuk berjuang, membela anak-cucu, membela tanah air sendiri.""

Widia Primastika

[SAGA] Anak Patmi: Ibu Pamit untuk Berjuang, Membela Tanah Air Sendiri
Sejumlah kerabat menggotong peti jenazah petani, Patmi, saat akan dimakamkan di Desa Larangan, Tambakromo, Pati, Jawa Tengah, Selasa (21/3). Foto: ANTARA

KBR, Jakarta - Selasa pagi, gedung LBH Jakarta tiba-tiba kosong melompong. Tak ada lagi jejeran tubuh para petani Kendeng yang berbaring di atas matras –dengan sepasang kaki terpasung semen.

Tak beberapa lama, kabar duka itu datang; seorang petani perempuan, Patmi, meninggal karena serangan jantung. Padahal sehari sebelumnya, perempuan berusia 48 tahun itu, baru saja merampungkan aksinya yang ke-8 di depan Istana Negara.


Patmi, meninggal di RS St. Carolus Jakarta dan jenazahnya langsung diboyong ke rumahnya di Desa Larangan, Kecamatan Tambakromo, Pati –diantar para dulur petani.


Jurnalis KBR, Widia Primastika, yang dalam perjalanan ke rumah Patmi, tak banyak menemui orang. Rupanya, sebagian besar dari mereka sudah berkumpul di sana –menunggu jenazah sampai, sembari merapal doa.


Malamnya, tubuh kaku Patmi yang diantar ambulans tiba, dan tangis pun pecah. Nampak wajah ke-dua saudara kandung Patmi, lesu. Jasmo, Ketua RT setempat, mengaku masih ingat dengan wasiat Patmi sebelum berangkat ke Jakarta.


“Kenangan terakhirnya pas mau berangkat itu yang saya ingat, ya merasa jadi ganjalan pikiran saya. Saya boncengkan dari sini sampai Sukolilo, sebelumnya itu saya tanya, 'kamu sudah siap untuk menuntut keadilan?' Siap Mo. 'Kalau siap apakah anda sudah ngomong sama suami?' Sudah. Tapi habis ngomong itu kan langsung berpesan sama saya. ‘Gini ya Wo, kalau jagung itu mau merabuk, itu nanti rabuknya sudah ada, tolong dibantuin dirabuk dicukupi kalau saya pulangnya lama’.”


Pria berusia 45 tahun ini juga bercerita, sepanjang hidupnya Patmi tak pernah absen membantu sesama warga.


“Kalau di desa sehari-harinya termasuk orang baik. Kalau di desa ada kegiatan apa, dia cepat membantu. Kalau sedihnya sedih, tapi merasa bangga. Bangganya tekat ibu Patmi membela lingkungan sampai mati-matian merelakan jiwa raganya biar menurun anak cucu, bisa menafkahi anak cucu sampai turun temurun.”


Semakin malam, tamu berdatangan. Salah satunya, Budi Wahyuni, Wakil Ketua Komnas Perempuan. Dia mengatakan, meninggalnya Patmi menunjukan betapa gigihnya seorang perempuan ketika memperjuangkan haknya.


“Yang menarik disini sampai harus mempertaruhkan nyawanya. Karena memang sulit lagi meyakinkan pemerintah harus berbuat seperti apa,” ucap Budi Wahyuni.


Namun, kepergian Patmi tidak lantas membuat para petani Kendeng menyerah. Ngadinah, salah seorang petani yang mengikuti aksi pasung kaki jilid 1, mengatakan meskipun berduka tapi peristiwa ini menambah semangat mereka untuk terus berjuang.


“Kita sebagai dulurnya ya kita berduka, tapi kita berpikir harus seperti apa kita harus selalu semangat, jangan mundur. Harus maju terus sampai pabrik semen pun tidak ada masuk di sini,” tukas Ngadinah.


Hingga tepat pukul 22.00 wib, jenazah Patmi dikuburkan.


Sementara di Jakarta, kantor LBH, seratusan orang yang terdiri dari aktivis, buruh, dan petani Telukjambe Kawarang, juga menggelar doa, tahlilan, dan tabur bunga atas meninggalnya Patmi. Dimana fotonya, dikelilingi kotak-kotak bekas aksi cor semen. Bunga pun ditebar.


Anggota Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), Koko, mengatakan Patmi merupakan padma atau bunga bagi para petani Kendeng.


"Kita semua pasti akan mati. Cuma, kita yang bisa memilih jalan mana yang akan dipilih, jalan mencintai ibu pertiwi atau mendurhakai bumi pertiwi. Semoga dengan pulangnya ibu Patmi, seorang penjuang perempuan yang tangguh dan berani dari Pegunungan Kendeng adalah awal momentum muncul dan tumbuhnya bunga perlawanan dari seluruh penjuru nusantara," kata Koko di kantor LBH Jakarta, Selasa (21/03/17).


Sementara anak sulung Patmi, Sri Utami, mengatakan sebelum ke Jakarta ibunya sudah berpamitan pada keluarga. Dan keluarga, merestui dan menyokong perjuangannya. Kalau pun, kini, nyawa ibunya tiada, keluarga iklas.


“Kemarin itu ibu berangkat tidak ada paksaan, sudah pamit pada keluarga. Keluarga juga mengizinkan, karena katanya pamit untuk berjuang, membela anak-cucu, membela tanah air sendiri. Seandainya ada apa-apa, itu pasti karena yang membuat hidup, Gusti Allah, saya Insyaallah bisa menerima. Bagaimana lagi, digarisnya begitu," kata Sri, Selasa (21/03/17).


Petani penolak tambang semen, masih berduka. Dan, kesedihan itu ditambah dengan pernyataan Presiden Joko Widodo kemarin saat berbincang sebentar dengan perwakilan petani Kendeng, Gunarti, di sela-sela acara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).


"Pak Jokowi, ya itu kalau mengenai izin ya harus tanyanya sama gubernur. 'Selama ini sudah komunikasi sama gubernur apa belum?' Bukan hanya komunikasi, kami itu sampai melakukan apapun, jangan sampai pak Ganjar itu mengeluarkan izin dulu. Kalau melihat apa yang dikatakan beliau pak Jokowi, rasanya saya sudah kehilangan bapak, itu yang kami rasakan," kata Gunarti di kompleks Istana, Rabu (22/3/2017).


Gunarti tampak sedih usai bertemu dengan Presiden. Gunarti tak kuasa menitikkan air mata di dekat pilar Istana, jauh dari keriuhan puluhan masyarakat adat yang mengerubungi Presiden Jokowi dan berfoto bersama. Gunarti sembari sesegukan memeluk adiknya Gunarto. Mereka meninggalkan Istana tanpa bersalaman dengan Presiden Jokowi.


Gunarti menuturkan akan menyampaikan tanggapan Presiden tersebut kepada warga Kendeng. Usai mendengar langsung, Gunarti mengaku menjadi yakin bahwa Presiden tidak turun tangan memihak kepentingan warga.






Editor: Quinawaty

 

  • petani Kendeng
  • patmi
  • pabrik semen
  • PT Semen Indonesia
  • Presiden Jokowi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!