BERITA

[Obituarium] Ahmad Taufik, Jurnalis Tempo: Dari Rumah Susun Tanah Abang

"Dari balik jeruji, ia tunjukkan keberanian dan ketabahan tak berbatas. Penjara bukan tempat yang menyurutkan langkahnya. "

Rony Sitanggang

[Obituarium] Ahmad Taufik, Jurnalis Tempo: Dari Rumah Susun Tanah Abang
Ahmad Taufik Jufri (tengah), pendiri Aliansi Jurnalis Independen . (Sumber: FB Ahmad Taufik)

KBR, Jakarta - Wartawan senior Tempo Ahmad Taufik Jufri meninggal pada Rabu (23/03) petang, pukul 18:50 WIB di rumah sakit Medistra, Jakarta Selatan. Ahmad Taufik yang kerap disapa Opik juga AT itu meninggal karena kanker paru pada usia 52 tahun.


Mendiang dikenal sebagai pejuang kebebasan pers. Pada 1995, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukumnya 2 tahun 8 bulan penjara. Opik dianggap menyebarkan  kebencian dan permusuhan kepada pemerintahan Orde Baru Soeharto.  Dia bersama sejumlah jurnalis dianggap memusuhi rezim lantaran mendirikan organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan menerbitkan media tanpa surat izin.


Berikut  kenangan, Sekjen AJI pertama Tosca Santoso yang pada saat rezim orde baru berkuasa, bersama Ahmad Taufik menjadi salah satu buruan aparat. 




Kamar kontrakan di lantai dua itu,  tempat kami bekerja.  Sejak Deklarasi Sirnagalih, pernyataan menolak pemasungan kebebasan pers dan kehendak untuk berserikat independen itu diteken pada 8 Agustus 1994, kami jadi sering ketemu.  Ahmad Taufik memimpin presidium  AJI yang pertama, saya sekjennya.  Di kantor sempit itu, tiap kali ketemu, yang pertama ditanya Taufik, selalu : “Ada pernyataan pers yang harus saya tanda tangani?”


Konsep pernyataan, juga surat keputusan, biasanya saya siapkan. Dia hampir tak pernah mengoreksi. Taufik percaya dan meneken dengan cepat.  Meskipun sebetulnya, waktu itu kami belum lama berkawan.  Kesamaan niat, untuk pers bebas dan melayani warga, menyatukan kami tanpa banyak perdebatan.


Hari-hari di Rumah Susun Tanah Abang (RS TA) itu, berjalan dengan riang, tak terasa heroik meski kami dipandang melawan rezim Soeharto.  Pernyataan sikap, pengelolaan Independen – terbitan tanpa SIUPP yang waktu itu menohok jantung kekuasaan Deppen,  rapat-rapat AJI berjalan menyenangkan pada periode Agustus 1994- Maret  1995.  Tujuh bulan saja.


Lalu 16 Maret 1995, acara lebaran yang digelar AJI di Hotel Wisata Jakarta, digrebek polisi. Sasaran mereka adalah Independen.  Terbitan tanpa SIUPP itu dianggap melecehkan kekuasaan  Orde Baru. Apalagi edisi sebelumnya, mengungkap saham-saham Menteri Penerangan Harmoko di media massa  (cerita yang sekarang pasti dianggap biasa sekali, dulu tergolong wilayah tabu.  Media ber-SIUPP tak  berani mengungkitnya).


Ahmad Taufik ditangkap di lokasi, bersama Danang Kukuh Wardoyo.  Saya lolos dari penggrebekan, diantar Eko Maryadi (Item) ke losmen kecil di Jalan Jaksa.  Item, setelah merasa saya aman, meninggalkan saya di losmen itu, untuk kembali mengambil dokumen di kantor di RSTA. Dia ditangkap di sana menjelang subuh.


Malam panjang. Kacau balau.  Dan setelah pusaran mereda, kami jalani peran masing-masing, untuk kelanjutan AJI. Taufik adalah  wajah perlawanan. Dari balik jeruji, ia tunjukkan keberanian dan ketabahan tak berbatas.  Penjara bukan tempat yang menyurutkan langkahnya.  Dalam pelarian, saya ingin agar Independen kembali terbit, pada hari pertama kawan-kawan itu duduk di bangku terdakwa. Itu semacam  pernyataan sikap: kami tidak menyerah pada ancaman penjara.


Jadi, selama Taufik, Danang, dan Item diproses di kepolisian, kami siapkan edisi baru Independen.  Pada saat yang sama, Tri Agus dari Pijar juga menghadapi pengadilan karena membela kebebasan pers. Maka edisi pertama Independen setelah penggrebekan, kami beri sampul foto mereka. Namanya dimodifikasi menjadi Suara Independen. Alamat redaksi tak lagi di RSTA,  tetapi pakai P.O Box di Amsterdam.  Joss Wibisono dan Aboepriyadi Santoso (Tossi) berbaik hati mengurus kotak pos itu.  Dan membuat Suara Independen, tetap dapat berkomunikasi dengan pembaca. Meski dikelola secara bergerilya.


Suara Independen itu, diedarkan diam-diam pada hari pertama pengadilan Taufik di PN Jakarta Pusat.  Selain foto mereka,  di cover depan itu, ditulis  “Pengadilan Pers Alternatif”. Saya terharu tiap melongok dinding FB Taufik, yang memajang cover Suara Independen edisi setelah penggrebekan itu, sebagai bannernya.  Dua dekade lebih berlalu sejak hari-hari di RSTA, pilihan foto itu seperti mengingatkan : Taufik tidak berubah.  Ia batu karang  perlawanan pada kezaliman Orde Baru.


Dua pekan lalu, saya menengok Taufik yang  dirawat di RS Dharmais karena kanker paru-paru. Ia menolak dikemo, dan ingin pulang.  Wajahnya seperti biasa, banyak senyum.  Kami banyak bercanda.


“Hari ini tidak ada pernyataan yang harus diteken,” kata saya mengingat hari-hari di RSTA.  Dia tertawa lebar.  Taufik malah tanya soal kopi.  Kami sudah jarang  bertemu,  dan hanya saling mengikuti kegiatan lewat Facebook. Dia rupanya tahu saya sedang berkebun  kopi di Cianjur.


“Kopi yang rasa nangka dari mana?”


“Ada Yellow Caturra dari Flores. Mau?


“Boleh nyobain.”


“Besok saya kirim”


Itu ternyata percakapan  kami terakhir.  Saya belum sempat mengecek apakah kiriman Yellow Caturra sudah sampai ke rumahnya di Kebon Pala.  Dan apakah Taufik sempat mencicipnya atau tidak.


Hari ini kami mengantarnya ke Karet Kebembem.  Tempatku (y.a.d), tulis Chairil Anwar.  Tempat di mana Taufik tak perlu lagi merisaukan bangkitnya Orde Baru. 



  • Ahmad Taufik Jufri pendiri AJI
  • Tosca Santoso
  • obituari

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!